Jika Benar-benar Cinta, Ayo ke Hotel!

1267 Kata
Tatapannya terarah padaku saat berkata, "Kakak iparmu." Aku mengernyit, memandangnya sangsi. "Kakak iparku? Kak Rama?" Ulangku seolah salah dengar. "Iya," sahutnya datar. "Kenapa Kak Rama nyuruh Om buat ngawasin aku?" Tatapanku tertuju ke wajahnya. Aneh saja rasanya Kak Rama nyuruh orang buat ngawasin aku. Apa dia melakukannya karena peduli? Tapi, rasanya gak mungkin. Dia sama sekali gak peduli padaku. Aku hanya mantan adik ipar bagi Kak Rama, gak lebih. Mbak Lina sudah meninggal, otomatis aku dan Kak Rama jadi orang asing. Aku masih ingat jelas Kak Rama yang sibuk menenangkan Mbak Yana bukannya ngejar aku yang berlari keluar dari rumah karena gak terima pada perkataan Mbak Yana. Mungkin Kak Rama gak mengejarku karena berpikir aku banyak teman di sekitar sini makannya tega membiarkanku pergi padahal waktu itu sudah jam 10 an malam. Sungguh kejam sekali. Aku terkadang masih jengkel jika ingat hal itu. Ya walau keesokan paginya Kak Rama menemuiku bersama Mbak Yana di gerbang kampusku, tapi tetap saja aku jengkel tiap mengingatnya. Walau Mbak Yana adalah istrinya, tapi seharusnya Kak Rama punya rasa kasihan padaku. "Ngapain Kak Rama nyuruh Om ngawasin aku?" tanyaku lagi karena lelaki di hadapanku hanya diam. Om Reyhan mengedikkan bahu. "Mana saya tahu alasan dia? Kamu pikir, saya peramal?" tanyanya dengan pandangan seolah-olah, aku itu orang yang aneh. Padahal, wajar sekali aku bertanya begini karena penasaran. Sungguh, aku gak suka cara Om Reyhan memandangku. Dia itu hanya orang suruhan, tapi bisa-bisanya menatapku sedemikian merendahkan. Padahal kalau dipikir-pikir, pekerjaannya dan pekerjaanku sama buruknya. Aku menggoda suami orang untuk diperas uangnya, sementara dia penguntit. Kerjaan kok menguntit. Aku tersenyum geli karena merasa lucu dengan hal itu. "Aku gak berpikir bahwa Om adalah peramal. Aku hanya sebatas tanya, kali aja Om tau jawabannya." Dia memutar bola mata, memandangku acuh tak acuh. Hanya penguntit saja, tapi sikapnya belagak banget membuatku gedek terus. "Ha ha. Jadi, pekerjaan Om adalah penguntit, ya?" Aku tersenyum sambil mengedip mengejek. "Mulai saat ini, berhentilah jadi penguntit, Om. Aku gak suka dibuntuti." "Sembarangan saja kalau bicara. Saya bukan penguntit. CK CK." Dia berdecak sambil memandangi tubuhku dari atas ke bawah, kembali ke atas lagi. "CK CK." Dia kembali mendecakkan lidah dan akhirnya pergi dengan langkah panjang-panjang. Sumpah rasanya ingin kusepak kakinya sampai dia jatuh. Tapi gak mungkin kulakukan karena beberapa karyawan di toko sembako memandang kemari. Kepo banget sih mereka. Saat tatapanku tertuju ke plastik berisi chicken di tanganku, aku buru-buru berteriak menyeru namanya. "Om Reyhaan!" Teriakku. Tapi yang kupanggil sama sekali gak menoleh. "Ooom!" Panggilku lagi. Kali ini dia menoleh, tapi hanya sekilas, menoleh sambil tetap jalan. Aku berlari mengejar, melangkah mendahuluinya lantas memutar badan hingga menghadapnya. Saat Om Reyhan hendak lewat di sampingku, aku langsung menggeser tubuh ke hadapannya, merentangkan tangan lebar-lebar menghalangi jalannya. "Saya bukan lelaki murahan jadi menjauhlah dari hadapan saya," katanya dengan tatapan terlihat gak senang. "Gak usah kepedean deh, Om! Om pikir, aku mau goda Om, apa? Enggaklah, yaaa, aku enggak selera dengan lelaki yang udah berumur. Ya kecuali Om kasih aku uang yang banyak baru aku mau. He he." Aku tertawa kecil, tiba-tiba teringat ekspresinya semalam yang amat kaget saat kusebut perdetiknya hanya 900 ribu saja. Mungkin, dia gak punya uang sebanyak itu. "Lalu, kenapa berdiri menghalangi jalan saya?" Sebelah mata Om Reyhan terpicing, tatapannya merendahkan. Orang kok angkuh banget. Saking jengkelnya aku pada dia, sampai ingin kutu su k tuh matanya dengan kukuku yang runcing burkutek pink lembut dengan gambar bunga mawar di tengahnya. "Minta nomer HP Om." Dia tersenyum smirk. "Minta nomer HP saya? Ha ha." Tertawa sampai pundaknya bergetar-getar gitu, pasti perkataanku begitu lucu baginya. "Gak usah berpikir buruk deh, Om. Aku berniat kembaliin uang Om yang untuk beli chicken tadi. Jadi, aku minta nomer Om." "Saya hanya punya satu nomer, jika nomer saya kamu minta, maka saya tidak punya nomer lagi." Mataku melebar mendengar perkataannya yang ngacau banget. Dia tersenyum samar lalu melangkah pergi dengan cepat. Heran, kenapa ada manusia hidup sepertinya. Sumpah rasanya aku ingin nyepak dia. Dengan jengkel, aku melangkah ke arah kontrakan. Sesekali, aku membuang napas karena jengkel pada perkataan Om Reyhan barusan. Dasar ngeselin. Bilang aja gak boleh minta nomernya pakai alasan begitu. Hu-uuh Aku membuang napas jengkel. Masih gak nyangka ada makhluk hidup kayak Om Reyhan. TIN-TIN TIN-TIN Terdengar klakson mobil di sampingku. Aku menoleh, Mas Ferdi tersenyum lebar sambil melambaikan tangan. Aku langsung masuk lewat pintu mobil yang barusan dia buka. "Maaf atas yang tadi ya, Sayang? Aku gak tahu kalau Ana akan ke toko. Tapi jangan khawatir. Aku sudah bilang pada Ana bahwa aku ada perlu." "Gak papa," sahutku. "Jadi, Mas mau membawaku ke mana, nieh?" tanyaku ingin tahu. Ini adalah hari bahagiaku, ulang tahunku yang ke 21, pasti dia akan memberiku surprise. "Hotel." Dia mengerling menggoda. Bibirnya tersenyum penuh arti. Kecerianku lenyap seketika. Aku sedikit mendelik. "Aku akan menuruti semua permintaan Mas selain tidur." Karena keperawananku hanya akan aku berikan pada laki-laki yang mengesahkanku di hadapan penghulu juga orang tuaku kelak, disaksikan juga oleh banyak orang yang akan berseru mengucap kata, saaaah. "Kamu bilang, kamu sangat mencintaiku." "Memang. Dan aku udah berkali-kali bilang sama Mas, kalau Mas ingin melakukannya denganku, maka nikahin aku, baru aku mau melakukannya." Dulu saat bertemu dengannya, aku gak tahu kalau dia sudah punya istri. Dia menolongku dari penjambret. Malam itu jam 10 malam, karena kesal dengan istri Kak Rama, aku berlari keluar dari rumah Kak Rama. Di tengah jalan, seseorang tiba-tiba menyambar tas tanganku. Untung Mas Ferdi kembali merebut tasku. Aku mengucap terimakasih padanya, dia mengangguk dan pergi. Tapi keesokan harinya, kami kembali bertemu di warung bakso, barulah saling sapa. Dia minta nomer HPku lebih dulu. Dari situ, kami jadi sering balas pesan. Dia adalah tempat curhat ternyaman bagiku. Akhirnya, dia nembak aku, kuterima tanpa pikir panjang. Suatu hari, Mas Ferdi datang menjemputku di kontrakan. Lila sangat kaget saat melihat Mas Ferdi. Itu adalah pertama kalinya aku tahu tentang status pacarku. Saat itu juga, aku langsung minta putus. Tapi Mas Ferdi mengancam akan menabrakkan diri ke mobil yang melintas jika aku sampai meninggalkannya. Dia mengatakan, katanya, hubungannya dan Ana sudah gak baik-baik saja bahkan sebelum dia mengenalku. Katanya, dia sudah sangat ingin menceraikan Ana, tapi kasihan pada Bian dan Tata, anaknya dan Ana, jadi menunggu waktu yang tepat. Mas Ferdi menjelaskan padaku bahwa dia menikahi Ana karena cinta satu malam yang berujung musibah, jelasnya padaku waktu itu dengan wajah terlihat jengkel. Saat itu, dia yang baru semester 2 dipaksa bertanggung jawab pada Ana yang baru kelas 1 SMA. Dia sangat kesal harus bertanggung jawab. Katanya, masa hanya sekali melakukannya, Ana langsung hamil. Mas Ferdi mengatakan sebentar lagi dia akan cerai dengan Ana, jadi memintaku bersabar. Aku bilang padanya, gak masalah jika dia gak mau menceraikan Ana karena kasihan pada anak-anak, aku gak masalah jadi istri kedua karena dalam Islam gak papa lelaki punya istri lebih dari satu. Mas Ferdi mengiyakan. Tapi hingga detik ini, aku merasa, Mas Ferdi hanya mempermainkanku. Katanya mau nikahin aku, tapi gak kunjung bilang pada Ana tentang rencananya menikahiku. Mobil berhenti di lampu merah. Mas Ferdi memandangku. "Sampai kapan kamu akan terus menolakku? Kalau kamu terus menolak memberikan kesucianmu, aku jadi ragu bahwa kamu benar-benar mencintaiku." Dia terlihat kecewa. "Sampai aku dinikahi." "Uhuk, uhuk!" Mas Ferdi tersedak ludahnya sendiri. Kuulurkan botol air mineral padanya. "Apa Mas hanya ingin mempermainkanku? Apa gak benar-benar ingin nikahi aku?" Aku menatapnya curiga. Mas Ferdi gak menjawab, dia menatap ke jalanan yang ramai kendaraan. Beberapa saling mengklakson gak sabaran. "Kalau Mas gak ada niatan nikahin aku, mendingan kita putus aja, Mas! Jujur, aku lelah! Udah aku dimusuhin sama Lila, aku juga selalu gak nyaman jika didekat Ana!" "Begini," katanya. "Apa?" Tatapku ingin tahu, penasaran apa yang akan diucapkannya. .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN