Wahyu terbangun dari tidurnya, suara petir yang menggelegar disertai dengan padamnya listrik, yang membuatnya terjaga. Wahyu meraba-raba, ia mengambil ponselnya, ia melihat jam yang tertera di sana, pukul 3 dini hari. Wahyu turun dari ranjang, dengan penerangan dari ponsel, ia mencari lampu emergency di atas meja. Wahyu mencoba menyalakannya, namun lampu itu tak mau menyala, ia sudah lupa mencharge lampu emergency miliknya. Lalu Wahyu ke luar dari kamar. Tepat saat pintu kamar di sebelah terbuka juga.
Keduanya sama-sama diam terpaku, hanya cahaya dari ponsel mereka berdua yang menjadi penerangan. Nur cepat berbalik, dan masuk lagi ke dalam kamar, ditutup pintu kamar dengan cepat. Suara pintu yang ditutup dengan cukup nyaring, membuat Wahyu tersadar dari terpana. Kemudian ia melanjutkan langkah, untuk menuju dapur. Baru saja sampai di dapur untuk mengambil lilin, listrik kembali menyala. Wahyu menarik napas lega. Ia berjalan kembali ke kamarnya. Saat melewati pintu kamar Nur, ia melirik sekilas ke arah pintu.
Tiba di kamarnya, Wahyu duduk di tepi ranjang.
'Harusnya dulu aku menolak pernikahan ini, pernikahan tanpa cinta apa nikmatnya. Bagaimana aku bisa berpaling dari Cantika, jika istri yang aku nikahi kalah segalanya dari Cantika. Tak ada satu hal yang menarik dari Nur, tak ada!'
Sementara di kamarnya, Nur juga tengah duduk di tepi ranjang. Selama berbulan-bulan ia berjuang menarik hati suaminya, berusaha melayani semua keperluannya, tapi Wahyu tetap dingin padanya. Sampai di mana akhirnya terjadi pertengkaran di antara mereka.
Flashback
Nur mengetuk pintu kamar Wahyu, Wahyu membuka pintu kamarnya.
"Ada apa?" Tanya Wahyu dingin seperti biasanya.
"Mau mengambil pakaian kot ...."
"Aku sudah bilang, aku tidak mau kamu melakukan pekerjaan apapun untukku, jangan memasak lagi untukku, karena aku tidak akan pernah memakan masakanmu, jangan mencucikan pakaianku, karena aku tidak mau pakaianku tersentuh tanganmu!" seru Wahyu di depan Nur. Nur mendongakkan kepala untuk menatap wajah Wahyu.
"Tapi itu kewajibanku sebagai istri Kak Wahyu," sahut Nur dengan suara tercekat di tenggorokan.
"Istri di atas kertas Nur!" ujar Wahyu cepat.
"Aku berdosa jika tidak menjalankan kewajibanku sebagai istri, karena Kak Wahyu sudah mengucap ijab kabul menyebut namaku di depan Penghulu. Meski Kak Wahyu tidak bisa menerimaku di dalam hati, tapi tolong ijinkan aku melakukan kewajibanku, meski itu hanya melayani makan, dan mencucikan pakaian Kak Wahyu" pinta Nur dengan mata berkaca-kaca.
"Kamu tak perlu melakukan apapun untukku, aku tak ingin menerima apapun darimu. Kau tahu, andai bisa melihat wajah, dan mendengar suaramu aku tak ingin. Jadi jangan pernah dengan sengaja menampakan diri di hadapanku, apa lagi mencoba untuk meluluhkan hatiku. Kalau kamu ingin memasak, masak saja untukmu sendiri, kalau kamu ingin mencuci pakaian, cuci saja pakaianmu sendiri. Soal semua pengeluaran di rumah ini, aku akan tetap memenuhi tanggung jawabku dalam hal itu, kau mengerti!" Wahyu menutup pintu kamarnya tepat di depan hidung Nur.
Memang benar, selama berbulan-bulan mereka menikah, Wahyu tak pernah menyentuh apapun yang dihidangkan Nur. Ia juga tak pernah mau Nur mencuci pakaiannya. Nur kembali ke kamar, ia duduk diam, dan mencoba untuk berpikir, apa sebaiknya yang harus ia lakukan.
Akhirnya Nur sampai pada keputusan, untuk mengikuti kemauan Wahyu, tak lagi melayaninya, menghindari pertemuan dengannya.
Flashback end.
****
Seperti biasa setiap sore, Nur mengayuh sepeda menuju pulang ke rumah. Ia berharap hujan tidak turun sebelum ia tiba di rumah. Mendung sudah menggantung, langit tampak menghitam, tiba-tiba hujan seperti datang dengan berlari dari kejauhan. Cepat Nur membelokan arah sepedanya ke sebuah bangunan ruko. Ia berteduh di emperan ruko bersama beberapa orang lainnya. Ia tidak ingin sakit karena kehujanan, yang bisa membuatnya bolos masuk kerja.
Setelah menyandarkan sepeda, Nur berdiri sambil memeluk dirinya sendiri. Ditatap air hujan yang turun, bibirnya mengukir senyuman. Menatap hujan, ia jadi teringat sahabat yang sudah seperti saudaranya, Cantika. Teringat kembali awal perkenalannya dengan Cantika. Bermula dari sholat bersama di musholla dekat rumah Cantika. Nur yang tidak mempunyai mukena, hanya sholat dengan sarung yang diikat ditubuhnya menyerupai mukena. Cantika yang melihat hal itu, akhirnya memberikan mukena strawbery kesayanganya kepada Nur.
Nur menggigit bibir bawahnya, tanpa dapat di tahan air mata mengalir di pipinya, cepat diseka air matanya.
Mengingat Cantika selalu menimbulkan rasa haru di dalam hatinya. Kebaikan keluarga Cantika adalah hutang budi yang tidak akan pernah bisa ia balas untuk selamanya.
Cantika cantik putri dari Abba Raka, siapa yang tidak mengenal dirinya. Belasan lelaki datang melamarnya, termasuk Wahyu salah satunya. Tapi semua pria yang melamarnya harus kecewa, karena Cantika lebih memilih Soleh sebagai suaminya.
Paman Soleh, begitulah mereka memanggilnya. Usianya 15 tahun lebih tua dari Cantika. Siapa yang menyangka jika Soleh yang merupakan adik angkat Raka, Abba Cantika. Akhirnya menjadi suami Cantika.
Dan Wahyu adalah salah satu pria yang harus menelan rasa kecewa. Nur tahu, sejak Wahyu remaja, dan Cantika masih anak-anak, Wahyu sudah menunjukan rasa tertariknya pada Cantika. Dan rasa itu bertahan hingga Wahyu beranjak dewasa, dan mulai mencoba meraih cinta Cantika.
"Nur!" Sapaan seseorang membuat lamunan Nur buyar. Nur menolehkan kepala. Ia mengerjapkan mata, berusaha meyakinkan penglihatan akan sosok di depannya.
"Nur, ikam kada pinandukah wan aku? (kamu tidak ingat sama aku)" Tanya Pria yang berdiri di sebelah Nur.
"Kak Raffi bukan ya?"
"Bujur banar (tepat sekali)" jawab pria itu sambil menyunggingkan senyum ceria di bibirnya. Raffi mengulurkan tangan untuk berjabatan. Tapi Nur menangkupkan kedua telapak tangannya di depan d**a, tanpa menerima uluran tangan Raffi.
Rsffi menatap telapak tangannya sendiri, lalu kembali mengukir senyum di bibirnya.
"Apa kabar, Nur?"
"Alhamdulillah baik, Kak."
"Aku dengar kamu sudah menikah?" Tanya Raffi, ia memperhatikan jari manis tangan Nur. Dan dijari itu melingkar sebuah cincin.
Nur menganggukan kepala, ia berusaha menyembunyikan luka hatinya.
"Iya, aku sudah menikah Kak."
"Dapat jodoh orang mana, Nur?"
"Satu kampung Kak."
"Ooh, tapi kenapa kamu ada di sini?"
"Aku tinggal di dekat sini dengan suamiku."
"Ini tadi dari mana?"
"Dari tempat kerja, Kak."
"Kerja di mana?"
"Di butik, pasang payet"
"Ooh, ini sepedamu?"
"Iya, Kak. Kakak sendiri kerja di mana?"
"Aku masih kuliah Nur, sambil membantu orang tuaku di toko bangunan milik mereka."
"Ooh."
Mereka sama-sama terdiam. Raffi adalah kakak kelas Nur saat SMA. Hujan tinggal gerimis saja. Nur memutuskan untuk segera pulang.
"Hujannya sudah berhenti Kak, aku mau pulang."
"Oh ya, aku juga mau pulang. Sampai berjumpa lagi nanti ya, Nur."
Nur hanya menanggapi ucapan Raffi dengan senyuman.
Nur kembali mengayuh sepeda menuju pulang. Ada genangan air yang cukup dalam di tengah jalan yang rusak. Nur memperlambat laju sepedanya. Tiba-tiba sebuah mobil lewat di sampingnya dengan kecepatan cukup tinggi. Air genangan langsung menyembur ke wajah, dan tubuh Nur.
"Heyyy! Kalau ...." teriakan Nur yang siap menumpahkan kemarahannya terhenti, saat mengenali siapa pemilik mobil yang baru saja membuatnya mandi air kubangan di jalan. Itu mobil Wahyu, Nur sangat mengenali mobil itu. Nur menyeka air di wajahnya, ia menarik napas sedalam-dalamnya. Lalu kembali melanjutkan kayuhan sepeda untuk kembali ke rumah.
BERSAMBUNG