Book 2 Cabut singkong.

1868 Kata
Senyum yang terukir sempurna di wajah sepasang pengantin baru yang tengah mereguk manisnya madu menggambarkan betapa indahnya aktifitas panas yang tengah mereka lakukan di atas ranjang yang tidak berhenti berderit meski waktu telah lama bergulir, menuruti kehendak alam yang telah menggelincirkan matahari keperaduan. Namun, bagai berjalan ditengah panasnya padang pasir rasa haus yang akan semakin menjadi walau telah banyak air terteguk, begitulah yang mereka rasakan, indahnya kenikmatan semakin terasa kala semakin tinggi bukit yang mereka daki. "Mandi, yuk, Sayang. Terus cari makan Abang laper," ujar Banyu sambil mengelus punggung polos sang istri yang tengkurap di atas d**a bidangnya. "Oh, iya, tadi Abang enggak makan siang!" Laura bangkit bertumpu dengan kedua tangannya mengungkungi tubuh suaminya. "Iya, gara-gara panik nyariin perempuan cantik yang lagi asik-asikan di pantai sama mantannya!" sindir Banyu. "Abang! dia bukan mantan aku!" jawab Laura. "Iya, mantan sahabat Kakaknya, maksud Abang," kilah Banyu, enggan melihat istrinya merajuk. "Kasian suami aku kelaperan, sini buka mulutnya," ujar Laura dengan gaya seperti seorang ibu berbicara pada bayinya. Banyu menurut membuka mulut yang lalu langsung disumpal dengan d**a ranum Laura yang sedari tadi terlihat menggantung di atas dadanya. Seolah itu bisa mengenyangkan Banyu melahapnya, tapi yang ada malah membuat hal lain merasakan sebuah kelaparan. * Dita Andriyani * Banyu menggandeng tangan Laura menyusuri pasir putih dengan kaki telanjang, Laura tersenyum saat melihat sebuah meja lengkap dengan dua buah kursi tertata cantik tidak jauh dari bibir pantai. tidak ada lilin yang menyala di atas meja karena sudah pasti angin malam akan memadamkannya, tetapi ada sebuah api unggun yang akan menyalurkan kehangatannya. Api yang cahayanya tidak menyilaukan tapi cukup membuat temaram berpadu sinar rembulan. "Bang, kok ada kursi dan meja makan di sini padahal di sekitar sini enggak ada restoran?" tanya Laura yang melemparkan pandangan ke sekitar. "Jangankan membawa meja makan ke sini, membawa rembulan sebagai penerang malam-malam hari kita juga Abang bisa!" jawab Banyu sambil menarik kursi yang akan Laura duduki. "Abang gombal! Tapi gombalnya enggak berkelas," ledek Laura. "Kok?" tanya Banyu. "Tanpa Abang bawa, rembulan itu memang akan selalu ada menghiasi malam," jawab Laura sambil menahan tawa. "Kamu bener, Abang memang enggak bisa merangkai kata indah yang Abang bisa hanya membuat hari-hari kamu sebagai istri Abang selalu indah. Abang juga enggak bisa merangkai kata cinta Abang hanya bisa memberi kamu cinta seumur hidup Abang." Banyu menggenggam erat tangan istrinya lalu menariknya ke bibir dan mengecupi satu persatu jemarinya. "Abang, so sweet. Aku bisa diabetes kalau setiap hari Abang manis begini," ujar Laura. "Kalau begitu mulai sekarang di rumah enggak usah sedia gula, karena Abang yang akan membuat hidup kamu manis!" jawab Banyu sambil terkekeh. "Enggak begitu juga kali, Bang!" sungut Laura. Detik kemudian keduanya tertawa. menghabiskan makan malam romantis mereka diiringi nyanyian ombak samudera, dengan saling bertukar cerita juga saling mengucap segala cita merajutnya dalam jalinan asa bersama. * Dita Andriyani * Usai menghabiskan makan malam, Laura duduk di atas pasir sambil menikmati hembusan angin yang semakin larut semakin kencang. Ia biarkan paha mulusnya yang hanya separuh tertutup celana pendek bersentuhan langsung dengan lembutnya pasir pantai, Banyu yang semula berbicara dengan seorang rekan bisnisnya di telepon mendekat dan duduk di belakangnya dengan kedua kaki berada di sisi kanan dan kiri tubuh Laura hingga sang istri bisa menyandarkan tubuhnya di d**a bidangnya. "Kok melamun? mikirin apa?" tanya Banyu. "Mikirin kenapa Mama ngasih nama Abang Banyu Samudra?" jawab Laura. Banyu tersenyum, seumur hidup baru kali ini ada yang menanyakan hal itu. "Kata Mama, nama itu mencerminkan harapan dan doa Mama, Banyu adalah air, elemen yang sangat dibutuhkan dan bermanfaat bagi setiap orang. Mama memberi nama Abang Banyu Samudra karena Mama ingin Abang menjadi orang yang bermanfaat untuk orang lain dan tidak akan pernah mengering seperti air laut." Laura tersenyum mendengar filosofi nama suaminya. "Nama Abang bagus, nanti kalau kita punya anak mau dinamain siapa, Bang? Yang bagus, ya," ujar Laura sambil menolehkan kepalanya agar bisa melihat senyum yang terukir di wajah suaminya. Banyu mengecup bibir istrinya sebelum menjawab, "emang kamu udah ingin punya anak?" "Hm ... belum, sih, tapi kalau bikin anak aku pengen terus." jawab Laura sambil menahan malu. Banyu terkekeh mendengar jawaban Laura. "Kalau itu, sih Abang juga pengen terus." Banyu memeluk erat perut Laura lalu menciumi daun telinganya. "Kalau begitu, kita tunda dulu punya babynya, ya, kamu juga 'kan masih harus kuliah juga masih harus menikmati masa muda kamu," imbuh Banyu. "Tunda? minum pil kayak Meisya?" tanya Laura. Banyu malah mengernyitkan dahi mendengarnya. "Meisya?" sesaat Banyu lupa kalau Meisya adalah sugar baby peliharaan Rudy orang kepercayaannya. "Oh, iya," gumam Banyu menjawab keheranannya sendiri. "Jangan, nanti takutnya obat-obatan itu malah mempengaruhi kesehatan kamu. "Terus?" tanya Laura tidak mengerti. "Kita KB kalender aja, ya, menghindari bertemunya s****a dan sel telur di masa subur kamu," terang Banyu. Laura masih terdiam mencerna ucapan suaminya. "Sekarang udah banyak kok aplikasi yang bisa membantu kita menghitung masa subur," imbuh Banyu sambil menyandarkan kepalanya di ceruk leher Laura. "Berarti kita cuma bisa bercinta saat aku enggak subur aja? 'Kan aku pengennya terus-terusan, Abang!" rajuk Laura dengan manja membuat Banyu mengulum senyumnya. "Kalau begitu Abang bisa pake sarung pengaman," jawab Banyu dengan tangan yanh sudah berpindah dari perut Laura menjadi semakin keatas. "Enggak, Ah. Enggak enak!" jawab Laura cepat, membuat seketika Banyu menghentikan remasannya. "Kok kamu bisa bilang enggak enak? Emang udah pernah nyoba? Ama siapa?" Berondong Banyu membuat Laura tertawa. "Tuh, 'kan, aku bilang apa, Abang kalau cemburu ngegemesin banget!" Laura masih tertawa sambil mencubit pipi suaminya. "Sayang, jelasin!" tegas Banyu. "Kata Meisya sama Celine, Abang! Lagian gimana bisa Abang curiga sama aku, jelas-jelas pertama kali ngelakuin itu aku masih virgin, dan setelahnya kita enggak pernah berpisah, gimana bisa aku ngelakuin itu sama orang lain!" omel Laura membuat Banyu merasa bersalah. "Iya, Sayang, maafin Abang, ya." Banyu menciumi pipi Laura. "Kalau kamu enggak mau Abang pake sarung pengaman, kita pake metode Coitus interuptus aja selama masa subur kamu, mudah-mudahan bisa menunda kita punya baby sampai kamu sudah bener-bener siap." Banyu mengelus pipi halus Laura. Lalu menyelipkan anak rambutnya yang tertiup angin ke belakang telinganya. "Metode Co ... itus ... apa, Bang?" tanya Laura semakin tidak mengerti apa yang Banyu ucapkan. "Coitus interuptus, itu, kalau kita lagi bercinta terus Abang mau ejakulasi punya Abang di cabut. Terus spermanya di keluarin, di luar, bisa di sini, di sini atau di sini! Atau di sini," terang Banyu sambil memegang bukit yang berada di pangkal pada Laura, perut, d**a dan terakhir bibir sensual Laura secara bergantian. "Ih, Abang! Nakal!" Laura terkekeh karena sentuhan tangan suaminya membuatnya geli tapi juga membuat gelenyar aneh merambati setiap arterinya. Banyu tertawa kecil lalu kembali memeluk tubuh istrinya. "Kalau itu, aku tau, tapi Meisya dan Celine biasa menyebutnya metode cabut singkong," ujar Laura sambil tertawa geli. "Terserah, deh, orang lain mau sebut itu metode apa. Tapi, kalau Abang enggak mau nyebut itu metode cabut singkong. Enak aja punya Abang disamain sama singkong!" sahut Banyu. Membuat Laura semakin tertawa terpingkal-pingkal. "Tapi aku suka singkong lho, Bang, singkongnya Abang apalagi, singkong bakar. Eh, bukan, kalau singkong bakar 'kan item, ya," Laura terus tertawa meledek suaminya. "Laura!" Banyu berusaha menghentikan tawa istrinya. "Singkong rebus!" seru Laura sambil terus tertawa bahkan kini sambil memegangi perutnya yang terasa kaku. "Sayang ...." Banyu bangkit lalu membopong tubuh istrinya, seketika Laura menahan tawa dan spontan melingkarkan tangannya di leher Banyu karena takut terjatuh. "Eh, Bang. kita mau kemana?" tanya Laura. "Makan singkong!" jawab Banyu ketus. Namun, hal itu malah kembali membuat Laura tertawa. * Dita Andriyani * Laura masih dalam bopongan sang suami saat memasukkan kunci dan membuka pintu resortnya, lalu menutupnya kembali saat Banyu sudah melangkah masuk. Banyu terus melangkah ke kamar mandi yang terletak di kamar utama. "Abang, kok ke kamar mandi?" protes Laura. "Iya, Sayang, emang kamu mau kasur kita penuh pasir?" jawab Banyu lalu menurunkan istrinya di bawah shower, lalu membuka seluruh pakaiannya. Di saat bersama Laura juga melakukan hal yang sama. Di bawah kucuran air hangat mereka mulai membersihkan diri, dengan telaten Banyu menyabuni tubuh istrinya, tidak satu inci pun tubuh Laura terlewat dari sentuhannya. Pori-pori kulit yang terbuka akibat guyuran air hangat membuat sensitifitas terhadap rangsangan terasa berkali lipat, Laura sudah mendesis hanya karena sapuan jemari Banyu di kulitnya membuat Banyu mengulum senyum lalu semakin liar menjelajah bagian-bagian sensitif sang istri. Banyu memutar keran hingga air yang mengalir dari shower tidak berlalu deras hanya rinai hangat bagai tetesan hujan di siang yang terselimuti mendung. Dengan halus Banyu menyesapi bibir bawah Laura, lalu mengigitnya kecil hingga sedikit terbuka kesempatan yang ia cari untuk menyusupkan lidahnya memperdalam ciuman mereka seolah memburu rasa. kedua tubuh polos mereka sudah tidak berjarak sekarang menyatu bagai bintang dan malam, tak terjangka bagai ombak dan pantai. "Di sini aja ya, Sayang. Abang udah enggak tahan," bisik Banyu di telinga Laura, sudah tidak ada kata yang bisa Laura ucapkan hanya ada anggukan kecil. Laura mendongakkan kepala sambil menggigit bibir bawahnya membuat Banyu semakin leluasa menjelajah ceruk leher istrinya menyesapi kulitnya yang masih sedikit basah, saat merasakan sang suami menyempurnakan penyatuan mereka. Berawal dengan gerakan halus berirama syahdu hingga gerakan penuh tuntutan untuk menyelesaian sebuah hasrat. Banyu memegang kendali penuh atas tubuh istrinya yang sudah tidak berdaya akibat ledakan hasrat yang sudah terjadi berkali-kali. kini Laura membungkukkan tubuhnya bertumpu pada bilik kamar mandi yang terbuat dari kaca yang dipenuhi embun akibat uap air hangat yang mereka gunakan membiarkan Banyu menjalankan tugasnya dari belakang, menuntunnya menuju sebuah titik kesempurnaan penyatuan raga mereka. Banyu semakin erat mencengkeram pinggul Laura lalu turut membungkukkan badannya agar menempel pada punggung sang istri saat merasakan tujuannya semakin dekat, tanpa memperlambat tempo permainan. Laura juga berinisiatif memberikan gerakan berlawanan arah, ia menolehkan kepalanya dengan sigap Banyu menyambut bibir sang istri dengan ciuman ganas untuk meredam suara yang mungkin mengeras saat mereka mencapai puncak menyatuan mereka. Laura menyandarkan tubuhnya pada tubuh sang suami yang bersandar pada dinding marmer berwarna krem, tangan kanannya menggapai keran lalu memutarnya untuk mengalirkan air lebih deras. Kini mereka harus kembali mandi, mandi yang sesungguhnya. * Dita Andriyani * Laura yang baru keluar kamar mandi hanya menggunakan handuk yang melilit tubuhnya mengambil ponsel yang sejak sore tergeletak di atas nakas, tidak tersentuh. Banyu berdiri di depan wastafel tempat ia menaruh ponselnya tadi juga hanya menggunakan handuk melilit bagian bawah tubuhnya, menerima panggilan dari seseorang. Laura juga sama, menaruh ponsel di telinga, dengan dahi yang mengkerut seolah ada sesuatu yang membebani pikirannya. Beberapa kali penggilannya tidak terjawab lalu ia putus asa dan menaruh kembali ponselnya di atas nakas saat melihat Banyu mendekat. "Telepon siapa, Sayang?" tanya Banyu. "Meisya, Bang. Tadi ada panggilan tidak terjawab dari dia, eh, pas aku telpon balik malah enggak nyambung," jawab Laura. "Abang dapet telepon dari siapa?" tanya Laura kemudian. "Sekertaris Abang. Ngasih tau kalau istrinya Rudi meninggal," jawab Banyu. "Rudi 'papinya' Meisya?" tanya Lausa sambil membuat tanda kutip dengan kedua tangannya. "Iya," jawab Banyu singkat. "Oh, mungkin Meisya mau ngasih tau itu," gumam Laura. "Mungkin. Udah, ah, ayo tidur," ajak Banyu, ia membuka handuk yang melilit tubuhnya lalu melemparnya ke atas sofa dan masuk ke dalam selimut. "Iya," Laura juga melakukan hal yang sama, melepaskan handuknya lalu melemparnya ke tempat yang sama, menyusul suaminya ke dalam selimut. "Tidur beneran tapi, ya," ujar Laura. "Hm ... Enggak janji, deh!" jawab Banyu. "Abang!" sungut Laura tapi dengan suara manja yang pasti membuat mereka batal melakukan tidur yang sesungguhnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN