Happy Reading
*****
"Orang yang kukira buruk, nyatanya jauh lebih buruk."
Daila Antarisa P.
*****
Daila tak henti-hentinya memekik tertahan saat matanya tercemari oleh aksi bruntal Dafhin yang menghajar sana sini.
Menendang, memukul, dengan lihai tanpa kuwalahan. Padahal Dafhin sedang dikeroyok bayak orang. Bahkan Dafhin terlihat semahir seperti para atlit bela diri yang sering ayahnya tonton ditelevisi.
Daila lagi-lagi memekik tertahan saat, Katana itu. Dikeluarkan dari tempatnya oleh Dafhin.
"Di-dia mau apa?" Tubuh Daila gemetar melihatnya.
Dafhin sangat lincah mengacungkan katana-nya pada orang-orang yang mencoba menyerangnya.
Semua orang mundur tak berani maju melihat Dafhin yang siap menusuk mereka dengan katana itu.
"Kenapa? takut?" Tanya Dafhin santai, seolah yang ia bawa sekarang bukanlah katana, tapi sebuah pedang mainan gocengan pinggir jalan.
Dafhin mengidipkan matanya,
Tingg..
Dengan secepat kilat Dafhin memutar tubuhnya dan menangkis sebuah celurit dengan katana yang ia bawa.
Ia tersenyum sinis, saat celurit yang sebelumnya sengaja dilempar kepadanya, sekaraag sudah tergeletak jatuh dirumput.
Bukanya sombong, mengikuti berbagai macam bela diri, membuat Dafhin memiliki insting yang tajam. Maka dari itu, ia tau jika semua celurit yang melayang padanya.
Mendengar suara keras beradu antara katana dan celuritpun. Langsung membuat semua yang mulanya bertarung langsung terdiam.
Dafhin mengangkat katananya keatas. Lalu mengacungkannya pada orang-orang didepanya.
"Mundur dan pergi, kalau kalian belum siap terluka!" Ucap Dafhin tajam dan menusuk.
Semua lawan disana hanya diam, dan mulai bisik-bisik.
Dafhin mengatakan itu, Bukanya karena takut atau apa. Tapi ia hanya tak ingin melihat banyak orang sekarat karenanya. Dan lagi ia tak ingin para teman-teman sekolahnya terluka, karena ya pasukanya jauh lebih sedikit dari pasukan lawan. Ia bisa saja menjamin bahwa dirinya tak akan terkuka, tapi teman-temanya? Meski mereka menang, tapi ia tak yakin untuk tak membuat teman-temanya terluka.
"Jangan, dengarkan dia. Lanjutkan ." Teriak Dandy penuh emosi. Ia tak ingin perjuanganya sia-sia, mengumpulkan banyak pasukan seperti ini tidak mudah. Ia tidak relah jika Dafhin menang lagi.
Ia ingin membalaskan dendam kakaknya karena ulah Dafhin. Kakaknya memiliki beberapa luka sayat wajah, dan karena kecacatan itu, kakaknya frustasi, gadis-gadis tidak mau berpacaran denganya. Alhasil kakaknya berakhir depreai. Ia sudah akan mengajak kakaknya operasi plastik sikorea, tapi kakaknya lebih dulu dipanggil yang kuasa karena bunuh diri.
"b*****h kau, D."
Dafhin yang sudah geram pun memghampiri Dandy. Ia muak mendengar kicauan serangga seperti ini.
Srank..
"Argghhh."
Dafhin tersenyum puas saat katananya menggores lengan kiri atas Dandy. Darah segar mulai keluar dari luka yang Dafhin buat.
Crank..
Dafhin mengibaskan katana itu lagi dan langsung mengenai perut Dandy.
"Pergi!" Desis Dafhin tajam.
Tanpa pikir panjang semua kelompok Dandy berlari terbirit-b***t, karena merasa takut jika nasibnya akan berakhir seperti Dandy.
Dandy ambruk ketanah, dengan lengan dan perut yang bersimbah darah.
"Bawa dia kerumah sakit. Gue ada urusan." Dafhin menepuk bahu Rian, sebelum melangkah pergi, dan mendapat balasan anggukan dari sang empu.
*****
Daila menghembuskan nafasnya beberapa kali, untuk menetralkan debaran jantungnya yang tak henti-hentinya berdetak kencang.
Ia masih sedikit tak percaya melihat aksi Dafhin tadi. Bahkam sekarang lututnya masih lemas saking tak percayanya.
Daila masih setia duduk bersandar dibalik pohon mangga, fikiranya mulai bergerak lincah kemana-mana.
Ia memikirkan tentang Dafhin, bagaimana bisa Dafhin melukai orang dengan entengnya tanpa rasa bersalah, dan bahkan ia dapat melihat sebuah seringaian tercetak jelas dibibir Dafhin saat melukai pria tadi.
Huftt,, sekarang Daila jadi dua kali lebih menyesal melihat keadaan seperti ini. Ia menyesal telah berani menembak Dafhin dan mendekati bahaya hanya karena kebodohanya.
Dafhin memang Psycho, bahkan Dafhin mirip sekali dengan Psychopath tadi, meski ia tak pernah melihat Psychopath asli bagaimana. Tapi dengan melihat Dafhin saja mungkin sudah menjelaskan Psychopath seperti itu. Merasa senang ketika melukai orang.
Ia bergidik ngeri membayangkanya.
Daila berusaha berdiri dengan berpegangan batang pohon mangga. Ia harus segera pergi dari sini, mengingat ia juga belum mengabari mamanya. Bisa panik mamanya, melihat anaknya yang tak pulang-pulang seperti bang toyib.
Belum sempat Daila melangkahkan kakinya. Sebuah tepukan dipundaknya berhasil membuat tubuhnya menegang. Kaku.
Siapa?
"Han-hantu?" Cicit Daila kecil.
Ia pernah mendengar rumor yang mengatakan ada sebuah pohon mangga angker didekat sekolahanya. Tapi Daila sendiri tidak tau letak pisisi pohon itu dimana. Karena nyatanya ia tak terlalu kepo dengan hal berbau mistis, apalagi ini pohon mangga yang berhantu, bukan pohon beringin atau pohon asam yang memang rumah bagi makhluk-makhluk astral.
Air mata Daila sudah menggenang bebas dipelupuk matanya, jujur saja meski ia tak terlalu kepo dengan hal mistis, tapi itu ia lakukan karena ia orang yang sangat penakut, maka dari itu ia lebih memilih menjauhi hal seperti itu agar rasa takutnya tidak mendera disaat ia sedang sendirian.
"Hiks," Dan benar saja, tangis Daila pun pecah begitu saja. "Huawaa.. mam-ma." Tubuh Daila bergetar bersamaan tangisnya yang semakin kencang pula.
"Hey," Tepukan dibahunya semakin kencang, seiring suara itu terdengar.
"Huwaaa, Aila mau dimakan hantu ma, huwaa." Daila masih menangis kencang, karena semakin takut. Mungkin jika Daila tak baru saja buang air kecil, sudah dipastikan ia berakhir ngompol disini.
"Woy, bisa diem nggak!"
Bentakan keras itu sukses membuat tangisan Daila berhenti seketika.
Suara itu terdengar begitu familiar ditelinganya.
Daila buru-buru membalikan badanya, dan benar saja, sekarang Dafhin tengan berdiri dengan raut wajah kesal yang tercetak jelas diwajah itu.
"Gila lo!" Nada sarkas yang Dafhin ucapkan tak membuat Daila sakit hati atau apa, tapi sebaliknya dan malah membuat Daila tersenyum.
Ia sangat bersyukur mendengar suara sarkas Dafhin, sudah membuktikan jika orang yang berdiri dihadapanya bukan hantu dan benar-benar Dafhin, pacarnya.
"Beneran udah gila lo. Dikatain malah senyum." Sini Dafhin.
Daila membulatkan matanya, Dafhin tak punya hati sekali. Pacarnya malah dikata-katain. Benar ia memang tersenyum, tapi dikatain gila sama lacarkan juga sakit. Hiks.
Tapi memang benarkan jika Dafhin tak punya hati. Bahkan saat melukai orang tadi, dia sama sekali tak masalah dan terlihat senang.
Oops,
Daila mengingatnya, ia membulatlan matanya seraya bibirnya ia tutup dengan telapak tanganya sendiri.
Sepertinya ia baru sadar jika bertemu hantu lebih baik dari pada bertemu Dafhin saat ini.
Daila meangkahkan kakinya kebelakang pelan tanpa sadar. Ia takut dengan Dafhin. Ingatnya kembali berputar pada jejadian beberapa saat lalu, saat Dafhin mengibaskan katananya pada laki-laki tadi.
Dafhin mengangkat alisnya sebelah melihat reaksi Daila. "Lo, takut?"
Daila buru-buru menggeleng, tanda tidak mengiyakan. Tapi disisi lain tubuhnya tidak dapat diajak komprmi dan terus melangkah mundur.
Dafhin menyeringai lebar, sebelum melangkah maju mendekati Daila yang masih berusaha mundur.
Daila membelalakan matanya saat Dafhin melangkah mendekatinya.
Daila hampir berbalik dan berlari menjauh tapi sepertinya Dafhin lebih dulu mengetahui isi fikiranya.
Dafhin langsung meraih pinggang Daila dengan satu tanganya, hingga tubuh Daila membentur tubuh Dafhin.
Glekk
Nafas Daila tercekat, bukan hanya karena Dafhin berhasil menangkapnya. Tapi juga karena kedekatanya dengan Dafhin yang terasa terlalu intim, membuat jantungnya berdetak semakin kencang saja.
"Lo. Takut sama gue?" Tanya Dafhin dengan suara rendah.
"Eng-nggak." Jawab Daila dengan sisa-sisa suaranya, sungguh lutut Daila lemas sekarang, mungkin jika Dafhin tidak menahan pinggangnya ia sudah jatuh terduduk ditanah.
Dafhin menyeringai puas disana, "Bagus kalo lo nggak takut. Jadi kalau gue lakuin sesuatu lebih dari tadi, lo nggak terlalu syok."
"La-lakuin ap-apa?"
Dafhin mendekatkan wajahnya pada Daila. Dan hal itu sukses membuat Daila membulatkan matanya, alih-alih terpejam seperti di Drama korea yang sering ia lihat.
Dafhin menghentikan pergerakanya saat wajahnya dengan Daila hanya terpaut lima senti saja.
"Bunuh orang, atau mungkin,"
Deg,
Dafhin, Dafhin? Mau bunuh?
"Bunuh elo."
Mata Daila semakin membulat sempuna mendengar pernyataan Dafhin yang jauh lebih parah, tapi detik berikutnya kesadaranya hilang sepenuhnya.
*****
Tbc