"Yang aku tau,aku masih mampu memaklumi kenyataan ini tetapi sulit kuterima apalagi hadirnya Bintang lain itu, Bintang lain yang mendapatkan apa yang semua anak inginkan selama ini. Semuanya aku kira akan baik-baik saja tetapi di dalam sana mendamba sejahat apapun seseorang yang ia damba." dengan mata yang masih mengarah kearah langit tanpa perduli hujan membuat matanya perih ataupun memerah Titania berujar pelan.
"Sesuatu memang tetap didamba bahkan hujan yang nyatanya dibenci tetap ditunggu meskipun hadirnya adalah sebuah kepahitan disetiap rintiknya." jelas seseorang yang datang menemuinya mengabaikan pakaiannya yang sudah basah kuyup.
"Ya hujan! Datangnya ada yang membencinya bahkan mendengarkan rintiknya sudah seperti mengiris hatinya, melukainya tanpa adanya pemberhentian sama sekali tetapi tetap saja. Matanya tetap mengarah ke arah sana dengan harapan besar datangnya keajaiban dibalik berdarah hati yang kronis." dnegan hati-hati tangan Titania ia rentangkan membuat seluruh tubuhnya terkena derasnya hujan yang kian gencar datang padanya.
"Ada baiknya mengindari hujan, mengasingkan diri darinya hingga kepulihan ti..."
"Siapa yang bisa menghindari hujan? Siapa yang bisa mencegah datangnya? Manusia mana yang mampu berlari dari suasana hujan? Mengasingkan diri katamu? Dimana manusia bisa mengasingkan diri? Hujan itu egois hanya mau menjatuhkan diri dibumi tanpa tau bagaimana sebab-akibat yang ia hasilkan setelah kedatangannya." Titania berbalik menatap seseorang yang sadari tadi membalas setiap ucapannya, tetapi beberapa detik lalu ia memotong ucapan orang itu. Merasa tidak setuju dengan ungkapannya.
"Hujan takkan pernah mau memusingkan diri memikirkan apa yang ia lakukan pada bumi dan apa yang telah lakukan pada awam. Apa yang telah ia lakukan pada Bintang dan apa yang telah ia lakukan pada bulan. Hujan takkan pernah mau memikirkan bagaimana awan menggelap karenanya, bagaimana Bintang menghilang karenanya, bagaimana bulan tersembunyi karenanya. Karena hujan hanya ingin menang tanpa kekalahan."
Setelah mengucapkan kata itu Titania menatap orang itu hampa, miris dan menatapnya dengan tatapan ingin mendorongnya pergi, mendorongnya hingga orang itu jatuh dengan kuat bahkan membuat tubuh orang itu terluka parah. Titania ingin orang itu menangis berlutut didepannya mengemis maaf bahkan mencuci kakinya kalau perlu.
Titania ingin orang itu terluka parah hingga menyesal atas sikapnya, membuat orang itu menangisi waktu yang telah ia buang demi banyaknya harta yang ia inginkan. Titania ingin membuat wajah itu histeris bahkan menggila.
"Clara oh Clara, sekarang saya tau darimana bakat menulis ini kudapatkan." gumam Titania kemudian berbalik memunggungi perempuan modis itu.
"Apa aku tidak bisa mempunyai hak kau panggil dengan sebutan sebagimana yang seharusnya?" tanya Clara, ya! Daritadi dia disini melihat salah satu anaknya memilih mengadu dengan hujan daripada meneduhkan diri.
Harusnya sekarang ia sudah sampai ditempat pemotretan tetapi saat melewati taman ini entah kebetulan ataukah takdir ia melihat Titania, anaknya. Sedang berdiam diri dibangku taman tanpa perduli derasnya hujan.
Jiwa keibuannya tentu saja datang, Clara sontak turun dan mengajaknya berbicara tidak menyangka jika Titania juga pandai sastra sepertinya. Hatinya menghangat jika sisi lainnya sejalan dengan anaknya walaupun Clara harus diberikan tatapan membunuh bahkan Ia sempat merinding melihat hal itu.
"Untuk apa aku memanggilmu dengan sebutan itu? Bukankah kita sudah tidak mempunyai hubungan apapun saat kau memilih harta daripada hidup seseorang?" Clara mematung mendengarkan nada tajam itu, bahkan hatinya langsung terasa nyeri di dalam sana. Clara kira semuanya akan mudah diperbaiki tetapi perkiraannya salah.
"Itu hanya masa lalu!" gumam Clara pelan
Titania tertawa ditempat mendengar gumaman itu, ada apa sebenarnya dengannya? Seorang Titania harusnya tetap baik-baik saja, tetap menganggap ini hal biasa, tetap dengan wajah datarnya tetapi ini rasanya menyesakkan dan ini pertama kalinya seorang Titania berada dalam Keadaan seperti ini.
"Masa lalu?" tanyanya dan berbalik. Melangkah pelan kearah tempat orang itu berdiri.
"Masa lalu katamu? 20 tahun lebih? Dan sekarang kau menuntut dipanggil dengan sebutan yang pantas?"
Mata Clara membulat, bibir Titania sudah memucat bahkan badannya sudah menggigil pelan saat mengucapkan kata itu. Entah kemana sikap angkuhnya yang ada didalam diri Clara saat ini adalah rasa khawatir melihat Titania seperti ini.
"Kau kedinginan? Kau menggigil? Kau... TITANIA...." ucapan Clara terhenti dan tergantikan dengan memanggil nama putrinya. Titania ambruk didepannya mungkin karena sudah terlalu lama dibawah hujan.
"Pak Tio... Cepet kesini." teriaknya memanggil supir pribadinya. Clara memangku kepala Titania berusaha menepuk pipinya.
"Dingin sekali, Titania bangun... Kumohon." Clara tidak perduli tubuhnya sudah ikut mengigil karena terlalu lama dibawah hujan, ia tidak perduli riasan wajahnya yang luntur, ia tidak perduli rambutnya yang semalam baru saja ia lakukan perawatan disalon harus rusak berantakan bahkan tidak halus lagi. Ia tidak perduli pakaian mahalnya kotor karena berlutut ditanah. Yang ia pikirkan hanyalah bagaimana keadaan putrinya. Titania.
"Ada apa nyonya?" setelah beberapa menit supir pribadi Clara baru tiba, sedikit tercengang melihat bagaimana penampilan nyonya-nya saat ini sangat berbanding terbalik sebagaimana penampilannya yang seharusnya.
"Tolong angkat dia, kita bawa kerumah sakit terdekat." Pinta Clara,ia sudah sangat khawatir dengan keadaan Titania.
supir itu mengangguk kemudian berlutut disamping Clara ingin menggendong perempuan asing yang belum ia lihat wajahnya karena terhalangi rambut panjangnya. Saat perempuan itu sudah berada dalam gendongannya ia hampir saja menjatuhkan Titania karena terkejut melihat wajahnya.
"Nona Valencya.... " ujarnya.
"Dia bukan Valencya, cepat bawa dia kemobil."
Supir itu berjalan sambari membawa Titania dalam gendongannya mengikuti langkah Clara yang penampilannya sudah sangat berantakan.
Clara membuka pintu mobil dan supir tersebut segera memasukkan Titania kedalam mobil. Clara masuk kedalam mobil memangku kepala Titania diatas pahanya, menggosokkan kedua tangannya ke tangan Titania.
"Cepat jalan Pak." pintanya dengan nada khawatir yang besar, ingatannya kembali ke puluhan tahun lalu. Titania lahir dibawah standar tentu saja badannya akan lemah apalagi saat ia tinggalkan Titania masih didalam inkubator.
Clara mengusap pelan pipi Titania, berapapun usahanya untuk mengelak tetap saja rasa sayang ibu pada anak tetap hadir bahkan sebesar ini. Clara bahkan masih merasakan hatinya nyeri karena Titania engga memanggilnya sebagaimana yang seharusnya.
Padahal dulu saat meninggalkan Titania ia tidak begitu terbebani karena ada Valencya yang ikut dengannya dan lagi ada Hendrik yang akan merawatnya dengan baik tetapi sekarang ia merasa bersalah bahkan ada luka besar saat melihat betapa bencinya Titania padanya.
"Nyonya, kita sudah sampai." ucapan Pak Tio membuat lamunan Clara buyar. Ia menatap keluar dan benar mereka sudah sampai dirumah sakit.
"Tolong angkat kedalam Pak! Saya ganti pakaian dulu." lagi dan lagi supir itu mengangguk kemudian mengikuti instruksi nyonya-nya.
Setelah Titania dibawa kedalam Clara mengganti pakaiannya karena memang didalam mobil ini berisi barangnya dan segala alat yang ia perlukan. Memoleskan make-up kembali pada wajahnya agar terlihat segar, memperbaiki tatanan rambutnya. Dan selesai.
Clara meraih ponselnya ingin menelpon seseorang yang pastinya tidak akan diangkat oleh orangnya, tetapi Clara akan terus mencoba walaupun hasilnya hanya 1% saja.
Percobaan pertama gagal, ditolak
Percobaan kedua gagal, ditolak
Percobaan ketiga gagal, ditolak
Percobaan keempat gagal, ditolak
Percobaan kelima gagal, ditolak
Clara menatap nanar nama diponselnya, padahal ia sangat merindukan suara dari nama itu. Walaupun dia sudah mengerti saat Clara meninggalkannya tetapi ia tetap berharap sesuatu yang mustahil.
Clara kembali mencoba menelponnya dengan harapan besar, akan ada suara yang ia rindukan segera terdengarkan bukan suara operator.
"Ada apa?"
Rasanya Clara ingin menangis terharu mendengar suara itu lagi, suara yang dulu masih suara anak-anak saat memanggilnya 'mama' sekarang sudah tergantikan suara dewasa. Betapa inginnya Clara memeluknya meluapkan rasa rindunya padanya yang tidak bertemu selama puluhan tahun.
"Waktuku terbuang sia-sia. Lebih baik ku-"
"Derta, mama hanya ingin mendengar suaramu sayang."
Dengan suara bergetar Clara menyapa anaknya, Derta. Putra pertamanya yang ia rindukan selama puluhan tahun hanya bermodalkan media sosialnya saja Clara memantau perkembangannya.
"Jika hanya itu yang kau ucapkan, lebih baik ku-"
"Adikmu masuk rumah sakit."
"Dia bukan adikku."
"Titania masuk rumah sakit."
"Apa yang kau lakukan padanya hah!"
Clara sedikit tersentak mendengar amarah Derta, begitu besarkah rasa benci anaknya itu padanya hingga harus membentaknya seperti ini?
"Aku tidak melaku-"
"Jika sampai sesuatu terjadi padanya maka kupastikan kau mendapatkan imbasnya."
"Aku tidak meluk-"
"Di rumah sakit mana?"
"Rumah sakit permata widjaya."
"Pergi dari sana karena aku tak ingin melihat wajah perempuan gila harta sepertimu, dan kau bukanlah siapa-siapa untukku karena bagiku ibuku telah lama mati tak lama setelah adikku yang bernama Titania dilahirkan."
Clara mematung ditempat, Derta bahkan sudah mematikan sambungan teleponnya beberapa saat lalu. Dadanya bahkan seperti sedang terhimpit satu sama lain, sangat sesak.
Apa ini karma untuknya?