"... Saat ini semesta sedang bercanda padaku, ia menaruh rasa pada hati sedang dia tak ingin bertanggung jawab sama sekali.. "
Perempuan itu menempelkan selembar kertas kecil pada papan pengumuman didepannya. Senyum tulus itu terlihat sangat bahagia. Melihat kertas itu sudah menempel dengan sempurna ia berbalik dan melangkah menjauh.
Selang beberapa menit kemudian seseorang menarik kertas segi empat berwarna pink itu lalu membacanya pelan. Lesung pipit itu langsung tercipta tatkala rentenan kata itu lagi dan lagi membuatnya kagum pada bait katanya
Sangat menarik dan misterius.
Ia mengambil kotak kecil pada tasnya lalu menyimpan kertas segi empat berisi tulisan perempuan tadi. Didalam kotak itu sudah banyak tumpukan disana beragam warna kertas dengan bentuk tulisan yang pertanda penulisnya juga orang yang sama.
Entahlah. Selalu saja tidak pernah bertemu dengan perempuan misterius itu padahal ia begitu kagum pada setiap kata yang ada, sangat bermakna dan puitis serta menyentuh.
Kenapa ia bisa tau penulisnya adalah perempuan?
Tentu saja, karena setiap kertasnya selalu identik dengan perempuan. Tidak jauh dengan warna ungu, pink, dan warna feminim lainnya dan ia cukup yakin jikalau penulis kata ini adalah perempuan sangat feminim.
Setelah menutup kotak tempat kumpulnya kertas Indah itu. Ia melangkah menjauhi papan pengumuman sambari memikirkan siapa sebenarnya perempuan penulis setiap kata puitis itu?
****
"Titania masih belum datang ya?" tanya perempuan berwajah imut dengan rambut lurus panjangnya Sangat menyenangkan jika melihatnya suaranya sangat lembut setara dengan penampilannya yang cukup identik dengan perempuan.
"Belum... Perempuan bodoamat kayak titania engga bakal mau pusing mikirin terlambat atau engga," perempuan yang bertanya tadi hanya mengerjapkan matanya beberapa saat lalu mengangguk pelan. Tdk niat bertanya lagi atau sahabat didekatnya akan marah karena sikap lugunya.
"Aloka... Apa titania...."
"Delianaku tersayang, titania tersayangmu itu bentar lagi dateng dia tadi lagi nganter bapaknya dulu ke bandara makanya telat dateng. Sampai sini ngerti?'' perempuan bernama Deliana itu hanya mengangguk dan tersenyum lega setelah mendengar secara detail mengenai alasan keterlambatan sahabatnya yang satu itu.
Melihat teman cantiknya sudah tersenyum senang perempuan berambut sebahu itu hanya memutar bola matanya malas. Selalu saja bersikap berlebihan seperti itu padahal titania itu selalu bodoamat dengan keduanya.
"Naaahh... Titania tersayangnya deliana sudah tiba kita tunggu persembahan drama pagi ini, " ucapnya santai sambari memperbaiki duduknya menatap binar deliana yang sedang menghampiri titania di pintu kelas.
Tetapi dahinya mengernyit bingung melihat titania malah tersenyum bahkan menjawab santai setiap pertanyaan sahabatnya. Tanpa debat panjang sama sekali atau bahkan mengacuhkannya.
Ia berdiri dan menuju bangku sahabat kurang ajarnya itu.
"Ada apa denganmu? Kenapa terlihat sangat bahagia seperti itu?" senyum bahagia titania langsung lenyap tergantikan mimik wajah seakan ingin membunuh aloka saat itu juga.
"Sabar titania, kan kamu tau gimana sikapnya aloka kenapa harus berantem pagi-pagi gini sih. Kuliah juga belum mulai sama sekali,"
"Mending kamu diam daripada bicara engga guna seperti itu," bukannya tersinggung deliana hanya tersenyum lembut sangat tenang.
"Kalian itu sahabat aku, engga peduli mereka mau ngomong apa tentang kalian tetapi yang lebih kenal kalian adalah aku. Jadi mau seberapa jeleknya kata kalian tetapi aku sangat yakin kalau kalian sayang sama aku." ucapnya sambari disertai senyum lembutnya dan menatap kedua sahabatnya dengan sorot hangat.
"Bodoamat." ucap titania dan aloka barengan tetapi beberapa detik kemudian mereka tertawa pelan dan saling mengedipkan mata.
Deliana yang melihat itu lagi dan lagi tersenyum pelan, merasa sangat bangga bisa bersahabat dengan mereka berdua.
"...Terkadang semesta ingin mengatakan padaku bahwa sahabat bukan untuk pelengkap saja tetapi juga pengalih luka saat semuanya sedang tidak baik-baik saja..."
Tulis seseorang dan menaruhnya di selipan bukunya.
****
"Kak abani ada waktu?" tanya seseorang pada laki-laki berkacamata didepannya.
"Kenapa emangnya?"
"Saya dan anak-anak rohis lainnya mau ngadain rapat kak. Kalau misal nanti kakak punya waktu ba'da ashar kita bisa melakukannya,"
"Emmm yaudah, kita rapat nanti yaa.." setelah mendengarkan perkataan abani adik tingkatnya itu segera berlalu dari hadapannya.
"Ab... " ia menoleh dan mendapatkan laki-laki berambut gondrong sedang berjalan terburu-buru kearahnya.
"Daritadi gue cariin!" ucapnya setelah berdiri tepat disamping abani.
"Kenapa emangnya, lagian kelaskan masih 20 menit lagi mulainya,"jawabnya sambari menatap jam di pergelangan tangannya.
"Engga usah ke kelas deh ab, dosen hari ini engga masuk itupun infonya baru masuk sekitaran 40 menitan lalu padahalkan gue udah ngerjain tugas dan kejar waktu biar bisa datang cepat ehh malahan engga masuk. Kan repot kalau kayak gini. Udah capek.... "
Abani hanya memutar matanya malas dan tidak memperdulikan setiap ocehan teman paling malasnya itu. Tetapi mengingat perkataan keno tadi itu berarti ia bisa membaca ulang kata demi kata yang ditulis oleh penulis misterius itu yang abani simpan di kotak spesialnya.
"Ab,lo engga denger gue?" tanyanya nelangsa dan ditanggapi putaran bola mata malas oleh abani.
"Kamu duluan ke basecamp, aku mau ke kantin kampus dulu bentar." sebagai balasan keno hanya menganggukkan kepalanya dan berjalan menuju basecamp mereka sedang abani melanjutkan langkahnya. Ingin membaca ulang kata-kata puitis mengagumkan itu.
Sesampainya di kantin ia mengedarkan pandangannya dan menemukan tempat kosong di pojok kantin. Kakinya melangkah kesana dan duduk santai.
Mengambil kotak spesial itu lalu membukanya pelan. Membaca satu per satu kata kekagumannya itu.
"...sebenarnya semesta! Aku begitu merindu dengan sesuatu tetapi sepertinya kau belum mengijinkan aku untuk meluapkannya... "
Abani tersenyum pelan, kenapa perempuan ini begitu pandai bermain kata bahkan membuatnya begitu penasaran dengan sosoknya.
"... Hujan datang lagi semesta tetapi tidak denganku. Aku tetap tak bergeming menatap gamang mereka berlalu lalang menghantam hujan. Apa itu tidak sakit? Sesakit aku melihatnya bercanda Indah dengan mereka ..."
".... Semesta, beberapa saat lalu dia tersenyum teduh di kejauhan sana. Tidak aku tidak melihatnya tetapi hatiku dapat merasainya disini.... "
" .... Semesta ku milikku. Bahagiaku sesederhana ini. Iya seperti ini. Cukup berikan kabar bahagia maka kupersembahkan pelangiku.... "
" ... Semesta ini benar-benar tidak lucu. Jangan bercanda padaku sekarang atau aku akan marah dan akan bungkam selama beberapa hari... "
".... Semesta kenapa harus dia? Dia adalah bulan sedang aku adalah senja. Lalu bagaimana cara kami bertemu..."
"... Dia sedang murung semesta. Semesta? Bisa bisikkan padaku kenapa dengan dirinya mungkin saja aku bisa membantunya bukan?..."
Senyum itu tidak bisa lenyap dari wajah seorang abani lasrega. Laki-laki yang cukup dibilang tampan itu terlihat sangat menghayati setiap kata yang tertulis dengan cukup rapi itu. Dan semakin membuatnya yakin jikalau penulisnya adalah perempuan feminim.
****