05. FLASHBACK

1403 Kata
PANDU POV Bukan tanpa sebab aku menerima perjodohan yang orangtuaku ajukan. Sebenarnya mereka tidak pernah memaksaku untuk menerimanya, alasanku lebih ke arah karena aku nggak enak dengan mereka. Oleh sebab itu, akupun mengiyakan tanpa ada perasaan menyesal sama sekali. Waktu itu aku belum tahu siapa yang akan menjadi calon istriku, tapi setelah aku tahu bahwa wanita yang akan menemaniku seumur hidup masih menempuh pendidikan kuliah, aku jadi merasa takut dan berpikir ulang apakah lebih baik membatalkan perjodohan ini saja? Tapi aku tidak bisa, aku telanjur janji kepada mama dan papa. Waktu aku menerimanya, aku juga melihat binar bahagia yang terpancar dari wajah mereka. Selain tidak tega, aku merasa bahwa sampai sekarang aku belum bisa membahagiakan mereka berdua. Menjadi anak yang menurut dan tidak membangkang menjadi salah satu jalan keluar yang bisa aku tempuh. Mereka memang nggak pernah protes tentang jalan yang aku pilih atau keputusan yang aku buat. Perihal kenapa aku takut dengan calonku adalah lantaran dia masih menempuh pendidikan. Ya walaupun nggak lama lagi bakal menjadi sarjana. Tapi umur segitu masih terlalu kecil dan aku jadi ragu kalo dia mau diajak berkomitmen. Entahlah, mungkin akan aku coba secara perlahan. Memang sulit, tapi aku nggak boleh menyerah begitu saja. Apalagi aku belum berbicara dengannya. Akan terlihat pengecut jika aku mundur dan memutuskan untuk membatalkan semua rencana ini. Lagipula, mau taruh di mana mukaku ini di hadapan orang tuaku? Oh ya, sebelumnya aku mau memperkenalkan diri terlebih dahulu. Memikirkan permasalahan yang sebenarnya nggak rumit-rumit amat membuatku lupa kalau aku belum menyebutkan nama. Dari kecil aku biasa dipanggil Pandu oleh semua orang, nama panjangku Pandu Alaska Tirtayasa. Aku nggak mau sombong dan pongah, tapi entah kenapa aku merasa bahwa namaku ini terdengar sangat keren di telinga. Ngomong-ngomong, tahun ini usiaku udah 28 tahun. Nggak tua-tua banget kan ya? Itu menurut pendapatku, lain lagi dengan orang tuaku, terutama mama. Kata mereka, usiaku sekarang udah lebih dari matang untuk menikah dan fokus berkomitmen dengan perempuan. Tanpa diberitahu sekalipun, aku sudah tau itu. Tapi masalahnya, lima bulan yang lalu aku baru putus dengan Kat, perihal kenapa hubungan kami bisa kandas begitu saja setelah pacaran kurang lebih lima tahun disebabkan karena Kat menemukan lelaki yang menurutnya lebih cocok dengannya. Lucu? Banget! Waktu itu perasaanku nggak bisa terdefinisikan dengan jelas. Antara marah, sedih, geram, dan nggak menyangka kalo aku akhirnya bakal putus dengan dia. Jujur aja, berat nerima keadaan ini. Bayangkan saja, aku sama Kat sudah menjalin hubungan selama lima tahun, dan dalam waktu yang lama itu hubungan kita berhenti cuma dalam hitungan detik. What? Sumpah sih, ini lucu banget. Bertahun-tahun kita pacaran, ngabisin waktu bareng, tertawa dan ngomongin nggak jelas, sedih bareng, ngalamin susah dan cari jalan keluarnya sama-sama. Tapi semua itu berakhir lewat sambungan telepon selama 24 detik. Pengin banget aku ketawa kalau ingat kejadian itu. Aku ngerasa aneh aja gitu, sebenarnya hubungan kita selama lima tahun itu apa sih? Kalau ditanya aku nyesel atau tidak semasa pacaran sama Kat, aku bakal jawab sama sekali enggak. Aku suka sama dia kok, selain cantik dan berprilaku sopan, Kat juga bukan tipikal cewek manja dan nuntut aku buat ngelakuin ini itu. Itu yang buat aku nyaman dan bertahan sama dia. Tapi, Kat lebih milih orang lain. Aku nggak bisa maksa, itu pilihan dia. Walaupun tetap aja rasanya berat sih ngelepasin dia. Keesokan harinya setelah Kat ngomong kalo hubungan kita nggak bisa lanjut, aku datengin dia di rumahnya. Untung aja aku nggak diusir waktu itu, aku disuruh masuk, lalu duduk berhadapan dengan Kat di sofa empuknya yang membuatku betah duduk berlama-lama di sana. Posisiku saat itu baru pulang kerja dari rumah sakit, badan terasa capek banget. Tulang-tulang di tubuhku berasa remuk. Oleh karena itu aku nggak mau basa-basi lagi, aku to the point dan minta Kat jelasin semuanya. Dan semuanya mengalir begitu saja. FLASHBACK ON Dengan badan yang lengket karena keringat, aku terus menatap wajah Kat, pacarku. Eh ralat, dia sekarang udah jadi mantan. Oke, mantan. Aku harus biasain nyebut kata laknat itu. Kat membalas tatapanku dengan wajah datarnya. Tatapan kami beradu, aku nunggu dia ngomong dan jelasin semuanya, aku nggak sabar nunggu dia buka mulut. Tapi, dua menit kemudian Kat belum juga jelasin apa-apa, membuatku mendesah lelah. "Kat, aku nggak minta aneh-aneh loh sama kamu." Setelah aku minta Kat jelasin semuanya tentang kenapa dia mutusin aku gitu aja, tapi yang kudapatkan cuma keheningan semata, membuatku tidak sabar dan akhirnya angkat bicara. Aku narik napas dalam-dalam, berusaha tenang dan mengendalikan diri. Kembali sorot mataku terpatri di wajah Kat. "Aku cuma minta kamu jelasin semuanya Kat, aku nggak minta lebih. Aku cuma butuh kejelasan semua ini," lanjutku. Tanpa sadar suaraku terdengar seperti tuntutan. Tapi nggak salah, kan? Tanpa aku minta dan suruh sekalipun, Kat harusnya udah tau kalo dia punya tanggung jawab buat jelasin semuanya. "Maaf," kata Kat pelan sambil nunduk. Aku masih diam, pandanganku nggak bisa lepas dari wajahnya, sampai akhirnya aku denger isakan kecil. Apa? Aku nggak salah denger, kan? Kat nangis? "Maafin aku yang udah ngecewain kamu Ndu," lanjut Kat, dia nggak berani natap mukaku. Kat nunduk sambil terisak. Aku benci perempuan yang menangis, aku lemah jika dihadapkan dengan yang satu ini. Harusnya di sini aku yang nangis dan mohon-mohon sama dia buat hubungan ini tetap lanjut seperti semula. Kenapa harus Kat yang nangis? Ini aneh, dia yang mutusin aku, tapi dia sendiri yang nangis. "Aku akan lebih kecewa sama kamu kalo kamu nggak mau jelasin kenapa kamu mutusin aku Kat." "Aku ....," Kat kembali terisak lirih, dan aku berusaha untuk tetap sabar. Mataku terpejam sambil mengontrol deru napasku. "Aku udah selingkuh di belakang kamu Ndu, udah satu tahun aku pacaran sama cowok lain. Maaf." Shit! Aku terdiam mendengar ucapan Kat. Aku bingung harus ngapain, aku hanya menahan napas untuk beberapa saat sambil menyandarkan tubuh di sofa. Harusnya kemarahanku meledak sekarang, tapi aku nggak bisa marah. Entah faktor karena aku capek karena habis pulang kerja atau memang dasarnya aku nggak bisa marahi Kat. "Kenapa?" Akhirnya hanya satu kata itu yang lolos dari bibirku. Sorot mataku semakin fokus menatap wajah cantik Kat. "Maaf ...." Aku hanya bisa nangkep dua alasan kenapa Kat bisa mengkhianati aku seperti itu. Yang pertama, masalah itu faktor dari diriku sendiri. Aku mungkin terlalu sibuk bekerja hingga tidak ada waktu buat Kat dan membuatnya memilih berpaling. Bukan mungkin sih sebenarnya, aku memang disibukkan dengan urusanku sendiri. Tapi itu bukan kemauanku. Aku bekerja sebenarnya untuk Kat juga, buat biaya pernikahan kita nanti. Pancaran selama lima tahun tentu saja membuat keinginan yang pengin kita capai bersama ada banyak sekali. Salah satunya ya tentang pernikahan itu. Kita memang nggak setiap hari ketemu, Kat juga bekerja. Kalau alasannya karena tidak punya waktu untuk sering bertemu, harusnya Kat paham juga. Kita sama-sama sibuk. Entahlah .... Dan alasan yang kedua. Aku mungkin membosankan hingga membuat Kat memilih cowok lain. Tapi kalo dia bosan, kenapa nggak dari tahun-tahun awal pas kita pacaran aja putusnya? Kenapa baru sekarang? Oke mungkin ini bukan sepenuhnya salah Kat, dia bisa aja nggak enak putus karena merasa bersalah dengan perasaanku. Memikirkan ini semua membuat kepalaku berasa mau meledak, aku jelas saja kecewa dengan penuturan dan pengakuan yang Kat beberkan itu. Sampai akhirnya aku bingung mau apa lagi. Kita udah putus, kan? Ya udah kalo gitu, ini semua pilihan Kat. Meskipun aku masih sayang banget sama dia, aku harus rela lepasin dia. "Makasih Kat udah temenin aku selama lima tahun terakhir, maaf kalo semisal selama imi aku nggak bisa bikin kamu bahagia dan sering ngecewain kamu." Aku memaksakan senyumanku agar keluar, lantas aku bangkit dari dudukku. "Aku pulang duluan ya Kat, sekali lagi aku minta maaf." Kat nggak balas apa-apa setelah aku ngomong kayak gitu, sebenarnya aku sedikit berharap kalau Kat akan mencegahku pergi, setidaknya untuk sejenak. Tapi detik setelah itu buru-buru aku tersadar kalau mulai sekarang aku harus bisa mengendalikannya diri, aku pun pulang dari rumah Kat dengan perasaan yang berkecamuk. FLASHBACK OFF Stop, aku nggak mau bahas tentang Kat lagi. Aku harus bisa move on darinya. Jujur saja, aku belum bisa melupakan bayang-bayang wajah Kat dari dalam tempurung kepalaku. Kembali ke topik tentang rencana mama dan papa yang berniat menjodohkanku dengan anak teman baik mereka. Bukan hanya aku, aku sudah bisa menebak bahwa perempuan yang mau dijodohkan denganku pasti tidak setuju dengan rencana ini juga. Aku sudah dewasa dan aku nggak mau ngecewain mama papa diumur mereka yang tidak lagi muda. Aku harus banyak-banyak berbakti kepada mereka. Ya, aku akan mencobanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN