04. Kehamilan Margareta

1019 Kata
Setelah acara memandikan itu, kini Margareta sudah berada di ruang pendeta besar, ia memunduk memperhatikan pakaian biarawatinya tanpa sedikitpun berniat mengalihkan pandangannya pada sang pendeta besar. Ia malu sekaligus takut jika pendeta besar dengan apa yang terjadi padanya, setelah tetua pendeta, pendeta besar August yang berhak atas gereja. “Aku pikir ramalan itu akan berlangsung lebih lama dari ini,” ujar pendeta besar August. “Aku selalu mempercayai ucapan Tetua pendeta, maka ketika ia mengatakan bahwa akan ada bencana darimu aku pun juga percaya akan hal itu. Kematiannya dan akan hadirnya malapetaka memang sudah takdir, apa yang bisa aku lakukan? Tidak ada.” Margareta hanya bisa terdiam saat mendengarkan pendeta besar mengatakan hal itu. Ia tak tahu harus melakukan apa, seminggu setelah mendapatkan ramalan dari tetua pendeta ia  terus memikirkan, bahkan ia sudah bersumpah tak akan bertemu laki-laki manapun selain mereka yang ada di gereja. Margareta bahkan sudah mengencangkan doanya setiap saat. “Jika benar kau hamil, aku harap kau tau apa yang harus kau lakukan. Pasti penduduk dan bahkan orang-orang gereja akan memandangmu berbeda,” sambung pendeta besar lagi. “Sekarang kau pergi, ikuti setiap perkataan dari ketua biarawati.” Tak ada yang bisa Margareta lakukan selain hanya mengangguk, kemudian ia berjalan keluar dari ruangan pendeta besar August. Setelah tubuh Margareta ditelan pintu ruangannya, ia pun hanya bisa menarik napasnya secara perlahan dan terlihat kasar. Sebuah malapetaka akan datang dibarengi kematian dari tetua pendeta, dan itu berawal dari Margareta. Pendeta August sangat mengenal gadis itu, bahkan sejak pertama kali ia datang kegereja untuk menjadi biarawati ia sendiri yang mengurus dan memberikannya pendidikan setiap harinya. Margareta gadis polos yang tak tahu apapun, tapi malah menimbulkan masalah dari sebuah masalah yang ia pun tak tahu. Kemudian pendeta August hanya bisa mengurut keningnya, sambil bergumam mempertanyakan malapetaka apa yang akan hadir setelah kehamilan Margareta? Dan siapa laki-laki itu? Di tempat berbeda, Rados tengah menjalani pengadilan Raja Iblis karena semua penghuni dunia bawah tahu bahwa ia telah mengambil cincin yang berada di pintu ke-13. Apalagi cincin itu tak bisa lepas dari jarinya, meskipun ia sudah berulang kali mencoba melepaskannya. Malah cincin itu semakin mencengkram kuat jarinya, bahkan ketika sampai di neraka cincin itu kembali bersinar.  Raja iblis memberikan hukuman Rados dengan memasukkannya kedalam siksaan neraka tanpa bisa reinkarnasi ulang. Sebelum itu Raja iblis meminta untuk memutuskan jari Rados yang dipasangi cincin itu, sebab cincin itu tak bisa lepas. *** Tiga bulan sudah berlalu sejak tragedi itu. Margareta masih tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan siapa yang telah melakukan hal itu padanya, kini ia hanya bisa mengelus perutnya yang semakin hari semakin menampakkan wujudnya, jika terus begitu semua orang bukan hanya para biarawati akan tahu apa yang terjadi padanya saat ini.Margareta menarik napas beratnya, napas paling berat yang pernah ia tarik selama ini. Ia kalut tak tahu harus melakukan apa, ia bingung dan merasa dirinya paling hina, bahkan ia malu saat hendak berdoa pada Dewa. Kadang setiap malam ia hanya bisa menangis di dalam kamar, sebuah kamar khusus yang diberikan padanya. Awalnya saat ketua biarawati memindahkannya kekamar lain yang berada di ujung gedung gereja, para biarawati bertanya tentang masalah itu, tapi mereka tak mempermasalahkannya setelah ketua biarawati menyuruh mereka untuk tak ikut campur. Namun, desas-desus perlakuan aneh terus saja terjadi, hingga sampai ketelinga pendeta besar August. “Biarawati itu telah menimbulkan masalah, ia membuat kotor gereja ini,” ujar pendeta besar bernama Yonkobas. Ia salah satu kandidat tetua pendeta setelah August. Saat itu kelima pendeta besar yang terdiri dari Yonkobas, Gerald, August, Tiroan dan Axandris tengah melakukan rapat kegerejaan yang biasa mereka lakukan setiap bulannya, dan agenda hari itu adalah membahas tentang keadaan Margareta. “Bukan salahnya,” jawab August. Ia masih berpikir positif dengan keadaan yang terjadi. “Lagi pula aku sudah meminta Aneth (Ketua Biarawati) untuk memindahkannya jauh dari para biarawati yang lain.” “Bagaimana mungkin bukan salahnya? Sudah jelas ia melakukan perzinahan dengan seorang laki-laki saat kita semua pergi melakukan pemakaman,” kata Gerlad sedikit menyela. Pendeta besar dari kota Tilon dekat semenanjung Britania itu memang memiliki sifat keras. “Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya,” ucap Augsut lagi. “Bagaimana tidak tahu, jika ia tak melakukan perzinahan, bagaiamana mungkin ia bisa hamil. Bagaimana penduduk kota memandang kita nanti ... seorang abdi Tuhan hamil. Apa itu tidak memalukan gereja?” Gerald masih menyela omongan Augsut. Pikiran Gerald sepertinya sejalan dengan tiga pendeta besar lainnya, karena sejak awal memang sudah didukung Yonkobas. Pendeta besar August saat ini tak bisa melakukan apapun, untuk pertama kalinya ia bingung mengurus seorang biarawati yang hamil tiba-tiba, bahkan saat August menanyakan siapa ayahnya Margareta bahkan hanya bisa menunduk tak menjawab. Gadis seolah malah tampak tak tahu apa yang terjadi, bukan menyimpan sesuatu. Ketua biarawati pun mengatakan pada August bahwa melakukan pendekatan empat mata pada Margareta pun tak menghasilkan apapun. Kini yang bisa August lakukan hanya mendengarkan ucapan dari pendeta besar lainnya. Masukan-masukan dan kadang kata-kata tentang perzinahan di rumah Tuhan keluar dari mulut mereka. Beberapa kata memang seharusnya August setuju, ia lebih baik melepaskan satu anak ayam yang sekarat dari pada membuat anak ayam lainnya pergi meninggalkan sang induk. Namun, August masih tak tega jika harus mengusir pergi Margareta. “Kita akan menunggu,” ujar August mencoba menenangkan pendeta besar lainnya yang masih berbicara saat itu. “Menunggu sampai kapan? Sampai perut biarawati itu membeasar dan semnua biarawati serta penduduk kota tahu?” tanya Torin. “Kita tidak bisa menunggu selama itu. Itu mustahil.” “Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan untuk kita,” kata August. Keempat pendeta besar lainnya mendengus mendengar ucapan August, tanpa persetujuan August pengusiran Margareta tak akan pernah terjadi, karena August yang memegang kendali setelah kematian tetua pendeta. Kemudian rapat singkat itu berakhir dengan tidak ingin mengalahnya August, karena jika ia mengalah akan ada hal buruk yang terjadi pada Margareta, ia tak ingin anak itu mengalami nasib yang semakin sial. Mendapatkan ramalan malapetaka dari tetua pendeta saja pasti sudah mengguncang dirinya, apalagi kini orang-orang pembesar gereja juga akan mengusirnya.Keempat pendeta besar itu keluar dari ruangan August, tapi Yonkobas masih saja menaruh harapan lebih pada masalah yang terjadi di gereja itu karena ulah seorang biarawati biasa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN