07. Pengusiran Margareta

1104 Kata
Keputusan terbaik memang mengusir Margareta dari gereja. Pendeta besar August dan ketua biarawati Aneth tak bisa mencegah hal itu, mereka hanya bisa diam saat semua biarawan, biarawati dan penghuni gereja yang dipimpin pendeta besar mengusir Margareta. Dan mungkin itu memang satu-satunya pilihan terakhir yang paling baik untuk menjaga nama gereja. Margareta yang dengan perut besarnya harus pergi melewati hutan, tak peduli kemana pun ia melangkah. Penghuni gereja tak membiarkan ia melewati gereja karena takut akan membuat penduduk kota tahu dengan kondisinya. Penduduk kota hapal setiap penghuni gereja yang ada di sana. Dan kini Margareta tak tahu harus pergi kemana saat ini. Kakinya melangkah menyurusi hutan lebat yang ada di belakang gereja, itu salah satu jalan paling menyeramkan diperbatasan kota Belulian dan Bagras, jika Margareta bisa melewati hutan itu maka ia dipastikan bisa sampai ke Bagras, tapi jika tidak ia akan mati di hutan, entah di makan hewan buas atau kelelahan. Sejak pengusiran yang terjadi beberapa waktu lalu sampai saat ini ia masih tak mengerti, padahal ketua biarawati Anete mengatakan ia akan baik-baik saja sampai anaknya lahir, begitu juga yang dikatakan oleh pendeta besar August. Margareta terus berjalan, melangkahkan kakinya sambil sesekali menyeretnya berulang kali. Ia sudah lelah, tubuhnya harusnya tumbang sejak tadi, tapi hari semakin malam. Entah sudah malam keberapa sejak kepergiannya dari gereja, bahkan saat ini ia yakin sudah keluar dari kota Beliluan. Persedian makanan yang mereka berikan padanya sebelum diusir sudah habis, begitu juga dengan air minum. Kepalanya pusing, matanya berkunang-kunang, mungkin jika ia paksakan perutnya akan melakukan kontraksi hebat. Margareta terus menahannya, kandungannya masih berusia lima bulan, jika keluar pun itu hanya akan membunuh janinnya. Tapi ia tak tahan lagi, bukan beristirahat sesaat yang ia butuhkan, lebih dari itu. Ia kelaparan dan juga kehausan. “Dewa apa salahku,” desis Margareta pelan bukan bertanya sambil menahan ngilu dan sakit yang berbarengan menjalar dalam tubuhnya, serasa tulang-tulangnya retak dan saraf kakinya hendak putus. Rasanya sakit sekali, ia ingin menyerah, tapi bagaimana dengan anak yang ia kandung. Siapapun ayahnya dan bagaimana pun caranya ia bisa mengandung, yang pasti itu darah dagingnya. Margareta terus mengatur napasnya berulang kali sambil menahan sakit yang terus bergelayut, ia tak pernah membayangkan akan ada di posisi ini, menjadi seorang perempuan yang dianggap kotor karena telah melakukan perzinahan. Ia tidak pernah berzinah, setidaknya itu yang ia ingat. Dalam pikirannya ia tak pernah sekalipun mengingat kejadian hubungan seksual dengan satu lelakipun. Bahkan jika ada seorang lelaki yang memperkosanya, harusnya ia sadar dan tahu. Namun tidak, peristiwa malam itu terjadi begitu cepat, bahkan saking cepatnya ia sedikitpun tak terjadi, yang ia tahu tubuhnya dan kepalanya terasa ngilu saat bangun, kemudian ditambah ngilu saat mata-mata para biarawati menatapnya kotor dan penuh kebusukan. Beberapa dari mereka membuat muka seolah tubuhnya penuh lalat sampah yang menjijikkan. Sejak mendapatkan ramalan tentang bayi malapetaka dari tetua pendeta yang kini sudah mati, hidupnya perlahan menjadi kacau, entah karena ia terlalu percaya atau ramalan itu benar-benar nyata. Seminggu setelah ramalan itu, semuanya berjalan sesuai apa yang ia takutkan dan apa yang tetua katakan. Kadang atau bahkan hingga saat ini Margareta berpikir, jika lima bulan satu minggu yang lalu sebelum tetua pendeta mati dan ia tak percaya dengan ramalan yang dikatannya, apa malapetaka itu tak benar-benar datang pada dirinya saat ini. Namun, semuanya terlambat ia tak bisa melakukan apapun kini. Jangankan untuk memikirkan itu, untuk memikirkan apakah lima menit kedepan ia masih bernapas saja ia tak sempat. Tubuhnya masih menahan rasa sakit yang merajalela, seolah berusaha menyeret tubuhnya untuk masuk lebih dalam keperasaan sakit. Bukan hanya dari tubuhnya tapi juga dari hatinya. Margareta terus berulang kali menarik napasnya, ia tahu ia harus melakukan hal itu karena hanya itu yang bisa ia lakukan kini. Tak ada lagi yang bisa ia perbuat, ia menyerah, jika seandainya ia harus mati mungkin sudah waktunya. Ia sudah kotor, siapa yang mau menerima perempuan pezinah seperti dirinya. Ia kemudian mengendurkan tarikan napasnya, kendur sekali sampai ia membiarkan napasnya berjalan seperti biasanya, sedikit sesak memang tapi ia harus melakukannya. Ia pasrah sepasrah-pasrahnya dengan keadannya kini, ia tak tahu harus melakukan apa lagi dan harus bagaimana karena semua seakan sulit ia cerna. Ia pasti akan mati di hutan saat itu juga. *** Bagian tubuh Margareta berusaha bergerak, ia ingin tersadar dari tidurnya yang cukup panjang. Kemudian matanya sedikit demi sedikit terbuka, sulit rasanya tapi harus ia lakukan. Saat matanya sudah sempurna terbuka, kini matanya melihat langit-langit atap sebuah rumah. Padahal sebelumnya ia pikir ia akan mati, karena rasa sakit, kelaparan dan kehausan yang ada di dirinya saat di hutan itu. Ternyata tidak, ia masih hidup. Margareta menggerakkan bola matanya, berusaha melihat sekeliling saat kepalannya masih pusing dan lehernya sulit digerakkan. Ia benar-benar merasa kesakitan akibat berapa di hutan beberapa hari dan terus berjalan dengan membawa kandungan yang cukup besar. Sepertinya tubuhnya sudah sedikit demi sedikit mulai membaik, meskipun ia masih sulit menggerakkan seluruh tubuhnya. Tidak lumpuh, hanya memang masih berat. Kemudian, saat matanya masih terbuka, seorang perempuan menatap tepat diwajahnya, perempuan dengan wajah keribut dan tudung seorang biarawati itu berusaha memastikan bahwa Margareta sadar, lalu ia pun pergi meninggalkan Margareta sendiri. Margareta bertanya sesaat tentang perempuan itu, siapa ia dan bagaimana ia bisa menggunakan pakaian biarawati meskipun tak seperti pakaian biarawati di Beliluan. Tak berapa lama perempuan itu kembali lagi dengan seorang laki-laki yang kini berpakaian seperti seorang pendeta lengkap dengan stolanya. Margareta yang tak bisa melakukan apapun hanya terus memandang kedunya, wajah keriput dan tua mereka begitu teduh apalagi dibarengi dengan senyuman yang sangat menenangkan. “Kau sudah sadar, Nak? Apa kau masih kuat untuk berbicara?” tanya laki-laki berpakaian pendeta itu. “Bisa.” Margareta tak bisa menganggu tapi ia masih bisa bersuara meskipun sedikit tercekat kasar di kerongkongannya. Mendengar ucapan Margareta itu,wajah lega dari mereka terpancar kembali. Seorang mereka ragu jika nanti Margareta tak sadarkan diri, lebih tepatnya ia mati. Tapi mengapa mereka seperduli itu. Laki-laki berpakaian pendeta tadi mencoba membantu Margareta untuk duduk sedikit bersandar di ujung ranjang yang menempel dengan dinding. “Kau harus duduk sebentar, karena sudah tiga hari kau tertidur,” ujar laki-laki itu, sementara perempuan tadi kembali datang dengan membawa segelas air dengan sedikit campuran mint, dan memberikannya pada Margareta. Tiga hari, Margareta menggaris bawahi dua kata itu. Pantas saja punggung dan pinggangnya terasa lelah, itu karena ia sudah tertidur selama ini. padahal selama ini ia tak pernah tidur lebih dari lima jam. Tapi mengingat sakit yang ia derita selama pengusiran itu sudah cukup alasannya untuk tidur. Margareta kemudian menyungging senyumnya pada kedua orang yang mungkin sudah menyelamatkannya dari hutan, mereka juga yang sudah mengurus dan merawatnya sejak tuga hari. Ternyata Dewan masih memberikannya cara untuk hidup meskipun bukan di Beliluan, dan meskipun ia membawa kandungan yang menciptakan malapetaka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN