Hadiah Kejutan

1068 Kata
"Lita Lita Litaaaa, owh Lintah .." Pekik suara Delima yang merupakan adik kelas ku sekaligus tetangga paling ceriwis. Untungnya rumah Delima ada di depan gang jadi aku tidak harus berhadapan setiap hari dengannya bahkan di sekolah pun aku sering menghindari anak itu. Mendengar suara lengkingan itu aku pun bergegas keluar rumah untuk melihatnya, ku tinggalkan rendaman cucian baju ku yang sudah menumpuk dari seminggu yang lalu. "Ngapain sih itu anak teriak-teriak sepagi ini." Gerutu ku seraya mengelap tangan ku yang masih basah menuju ke halaman depan. "Kenapa sih kamu Dilema, ribut amat masih pagi!" Protes ku ketika sudah ada di hadapan gadis itu. Wajahnya langsung berubah masam. "Nama ku Delima Lit, bukan Dilema." Protesnya dengan bibir manyun. "Lah nama ku juga Lita bukan Lintah." Aku juga melayangkan protes yang sama. "Eh permisi ini bagaimana barangnya?" Tegur seorang pria yang sedari tadi menyaksikan perdebatan kami. "Nah kan aku jadi lupa, tuh tamu lu. Aku tadinya mau nganterin dia ke sini aja soalnya mobil box nya ngalangin depan gang. Lu beli apaan sih sampai di bawain satu mobil box begitu barangnya? Pasti belanja online ya?" celetuk Delima yang mulai kepo. Aku hanya bisa memasang wajah bingung ku mendengar ucapan Delima tanpa bisa memberikan jawaban karena aku terkejut mendengar ucapan orang-orang ini. Barang apaan aku saja tak memiliki ponsel bagaimana bisa aku belanja online apalagi sampai satu mobil box begitu. "Bagaimana nona apa barangnya saya langsung angkut kemari?" tanya pria berseragam biru itu lagi. "Heh Lita Litaan malah ngelamun dia." Delima menepuk lengan ku. "Eh tapi mas saya tidak pernah merasa membeli atau memesan barang." Jawab ku terbata dengan wajah bingung karena pikiran masih belum fokus. "Saya hanya ditugaskan untuk mengantar barang-barang ini saja oleh bos saya nona. Jadi anda hanya cukup menerimanya saja." Ucap mantap pria itu. Aku dan Delima malah saling pandang dengan kedua alis sama-sama terangkat. "Kalau begitu bawakan saja kemari pak!" Saut Delima antusias. "Eh kenapa malah kamu yang bersemangat sih nerima barang orang." Ucap ku sewot. "Habisnya kamu kelamaan sih jawabnya." Delima memasang wajah acuhnya. "Baik kalau begitu nona canti aku akan menurunkan dan membawa semua barang itu kemari!" Pria itu pun pamit dan pergi kembali ke mobilnya yang di parkir di ujung gang sana. "Eh perasaan kamu nggak punya pacar deh, terus siapa orang misterius yang ngasi kamu barang sebanyak itu?" Bisik Delima yang kini mendekatkan wajahnya tepat di samping telinga ku yang membuat ku malah semakin terkejut dan mundur selangkah darinya. "Sialan lu. Kurang ajar memang kamu Dilema. Kepo banget sama urusan orang. Sudah kamu pulang saja sana!" Aku pun mengusirnya karena rasa kesal dan bingung sama pengirim misterius itu ditambah lagi ini bocah mengagetkan ku saja. "Ya elah tega amat sih lu Lit main usir aja. Aku juga pengen liat lho hadiah kamu itu, kali aja kecipratan satu juga nggak apa-apa." Ucap Delima seraya memasang wajah memelasnya. Tapi aku tidak tidak merasa kasihan sedikit pun padanya. "Sudah lebih baik kamu pulang saja sana. Aku saja nggak tau siapa yang ngirim malah kamu mau minta jatah!" ucap ku ketus. Baru saja akan berbalik badan dan masuk ke dalam rumah, pria berseragam biru itu sudah datang kembali bersama salah seorang temannya dengan tangan yang penuh dengan tas-tas kresek besar. Ya sebut saja itu kresek besar karena aku tak tahu namanya, belum lagi susunan kotak yang tingginya melebihi orang yang membawanya. Kini tak hanya si Dilema yang membelalakkan mata melihat pemandangan itu namun para tetangga pun keluar dengan kicauan berisiknya yang saling berbisik satu sama lain. "Situasi kacau macam apa ini." Gerutu ku dalam hati, karena jelas setelah ini aku akan jadi bulan-bulan para tetangga julid itu. "Wah dilihat dari kotaknya semua itu pasti lah barang mewah." Desis Delima seraya menangkup kedua pipinya dengan tangannya itu yang kini takjub melihat barang-barang yang tengah di gotong ke rumah ku ini. "Ini mau di taruh di mana nona?" tanya pria yang tadi mencari ku itu. "Langsung masuk saja mas, taruh di dalam rumah saja!" Pinta ku. "Sok tau kamu Dilem. Sudah pulang sana!" Sekali lagi aku mengusirnya. "Ya elah sombong amat sih kamu Tar." Sinisnya lalu pergi dengan menghentakkan kedua kakinya. Aku hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuannya itu, setelah ia tak terlihat aku juga masuk ke dalam rumah. Kini pandangan ku fokus melihat tumpukan barang dengan beraneka macam warna kotak dan bungkusan yang lainnya sudah memenuhi setengah ruangan kecil ku itu. "Harus aku apakan semua ini? Masa ya barang sebanyak ini untuk ku? Apa mungkin salah alamat kali ya?" Aku hanya bisa membatin sendiri. "Assalamualaikum." Suara yang tak asing untuk ku terdengar dari luar. Aku sedikit lega karena ibu dan bapak pulang. "Wa'alaikum salam." Jawab ku dari dalam rumah tapi begitu melihat mereka memasuki ruang ini dengan wajah terkejutnya sekaligus aku pun mulai bingung juga akan memberikan jawaban apa sekarang jika mereka bertanya. "Nak ini semua barang siapa?" tanya ibu yang kini berjalan mendekati ku. Sementara bapak dengan santainya berlalu pergi melewati kami. "Tari juga belum tau Bu, tadi tiba-tiba orang yang mengantarkan semua barang ini menemui Tari. Nah kebetulan itu mereka datang?" ucap ku seraya menunjuk ke arah dua orang pria yang baru datang dengan barang-barang yang masih ada di tangan mereka. Sudah kesekian kalinya mereka bolak balik membawa barang-barang itu. Ibu pun menoleh ke arah dua pria itu. "Maaf nak apa kalian tidak salah alamat membawa barang-barang ini ke rumah saya?" tanya ibu dengan wajah herannya. "Tidak Bu, kami sudah mengantar barang-barang ini ke alamat yang benar. Semua barang ini memang di berikan untuk anak ibu oleh bos kami." Jawab pria berseragam itu sekali lagi dan diikuti oleh temannya yang lain. "Ya Bu tidak perlu khawatir dan cukup terima saja dengan tenang. Semua ini memang untuk putri ibu." Tambah pria yang berseragam sama itu. Ibu ku kini hanya bisa memberikan senyuman ketidak pastian. "Em baiklah kalau memang seperti itu, nak jangan lupa buatkan mereka minum!" Pinta ibu lalu berlalu pergi ke arah belakang rumah. "Yah aku malah di tinggal. Enak saja dia ngomong terima dengan tenang, gimana mau tenang tiba-tiba dapat barang sebanyak ini dan jadi pusat perhatian para tetangga. Bisa-bisa aku di bilang punya pesugihan kalau kayak begini mah." Aku hanya bisa membatin sendiri. "Tapi tunggu bukan kah aneh melihat barang segini banyak tapi bapak malah diam saja dan berlalu pergi dengan santainya. Bisa jadi bapak tau siapa yang mengirimkan semua ini." Aku hanya bisa bermonolog sendiri seraya melihat dua pria itu menyusun bawaannya dan kembali lagi meninggalkan rumah ku. Sepertinya pekerjaan mereka belum selesai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN