10. Gladis Maure Petter

2567 Kata
"Mau ke mana lo?" Selesai meeting, Leon buru-buru meninggalkan ruangannya. Padahal masih ada berkas yang harus mereka bicarakan sebagai keputusan akhirnya. Nando akan sangat marah jika Leon tidak profesional, apalagi mereka memiliki jadwal terjun lapangan setelah makan siang nanti. "Masih banyak kerjaan yang harus kita selesaikan, Leon. Ini tanggung jawab kita untuk menghindari kerugian yang sama." "Gue pergi sebentar. Ini lebih penting daripada urusan kantor. Gue harap lo mengerti, kali ini aja tangani semuanya sebaik mungkin. Lidya ada di depan, selesaikan keputusan akhir dari proyek ini bersama dia. Nanti hasil finalnya minta Lidya kirim ke gue melalui email. Gue bakal membaca dan mempelajarinya secepat mungkin malam ini." Nando mengusap keningnya, mendengkus kesal. "Ini tanggung jawab lo, Leon. Nggak bisa ditinggal begitu aja. Kalau gue dan Lidya kurang sependapat gimana? Dia nggak ikut meeting bareng kita, kurang tahu apa yang ingin kita capai untuk ke depannya." "Oke, setelah makan siang gue datang. Selambat-lambatnya jam tiga. Nanti gue minta Lidya membatalkan jadwal terjun lapangan hari ini, diganti besok siang saja. Gampang kan?" Leon menepuk bahu Nando, terlihat tidak ingin dibantah. "Apalagi yang terjadi pada gadis itu? Kenapa dia selalu menjadi perhatian penting di hidup lo? Gue nggak mau dengar sampai lo main di belakang Klary bareng dia, Leon. Benar-benar brengsekk kalau lo ngelakuinnya!" Leon tersenyum miring. "Lo kejauhan ikut campur, Nan. Ini urusan pribadi gue, jangan lancang ikut masuk ke dalamnya. Apa pun hubungan yang sedang gue jalani dengan wanita lain di belakang Klary, bukan kepentingan lo. Gue nggak rugiin lo, nggak makan uang lo. Minggir!" Melewati Nando dengan kasar membuat pria itu menganga tidak menyangka. "Lo bakal nyesel kehilangan Klary, Leon. Bahkan semua harta, kedudukan, dan kejayaan lo sekarang nggak ada apa-apanya kalau Klary udah ninggalin lo! Lo mencintai dia melebihi siapa pun, jangan egois dan tutup mata lo untuk sesuatu yang sebenarnya fana!" "Gue nggak peduli. Klary bukan prioritas bagi gue!" Leon menaikkan bahu, setelah itu beneran menghilang dari balik pintu yang besar ruangan pribadinya. Nando beneran kehilangan Leon yang baik hati, sahabatnya sejak beberapa tahun lalu. Banyak sekali yang berubah, termasuk akal sehat dan jalan pikirnya. Nando bingung, sebenarnya apa yang dia lewatkan dari seorang Leon? Kenapa pria itu bisa melangkah sejauh ini tanpa bisa dikejar lagi? Semua orang tahu jika Leon begitu mencintai Klarybel, hubungan mereka sangat baik dan pernah diberi gelar pasangan paling romantis tahun lalu. Keduanya serasi. "Gara-gara gadis lumpuh itu lo begini, Leon? Apa istimewanya dia daripada Klary, hum? Apa setelah kehilangan dia lo baru menyadari kesalahan ini? Percuma. Gue bakal jadi orang pertama yang ngetawain lo kalau sampai itu terjadi, gue pastikan tidak ada kesempatan kedua. Klary tidak sejinak Mommynya, Leon. Dia keturunan Axelleyc yang keras, tidak terlalu perasa seperti Riley juga." Klaybel dan Riley adalah saudara. Tapi mereka sangat berbeda. Riley selalu mengutamakan perasaan kepada siapa pun, berbeda dengan Klarybel yang selalu menggunakan logika. Ketika Klarybel marah, dia akan lepas kendali seperti Daddynya. Bahkan dulu pernah terjadi keributan di kantor utama, Klarybel menembak salah satu kaki pria yang telah menggelapkan uang di perusahaan Axelleyc hingga menimbulkan banyak kerugian. Tanpa merasa berdosa, dia malah bangga dan memperlihatkan berapa gelap sisi sebelah kirinya jika sudah terlanjur kecewa dan disakiti. Klarybel tidak pernah main-main soal perasaannya, apalagi menyangkut keluarga. Tapi Nando lihat, saat bersama Leon ... Klarybel tidak lebih mendominasi. Dia tetap wanita yang lemah perasaannya jika sudah terlanjur jatuh cinta dan teramat menyayangi. Leon harusnya pria beruntung bukan? Dia cinta pertama Klarybel yang ternyata malah berujung luka. Kasihan sekali. Di tempat yang berbeda, Leon sedang mengemudikan mobilnya amat kencang--membelah jalan tol ibu Kota yang sedang tidak terlalu padat. Sesekali melihat ke arah jarum jam pada pergelangan. Wajah Leon terlihat marah dengan rahang mengetat. "Sialan, apa nggak bisa menjaga satu orang saja?" umpatnya dengan kedua tangan mencengkram setiran mobil. Urat-urat menonjol keluar, pertanda jika sang empunya sedang meradang. "Selamat siang, Tuan Leon. Tadi Nona Gla sudah ditangani dokter. Katanya dia baik-baik saja, hanya tubuhnya yang syok akibat kena benturan pada kepala." Sesampainya di kediaman Petter, seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan Leon dengan hormat. Dia sedang cemas dan setengah takut jika Leon mengamuk akibat kelalaiannya. Ini kali pertama dia menemukan Gladis jatuh hingga pingsan tidak berdaya. Bukan hanya Leon, jika Tuan Petter tahu pun dia pasti akan menegur secara tegas, sebab hal ini sangat berisiko. "Bagaimana bisa dia jatuh di balkon hingga pelipisnya membiru begitu? Apa Bibi tidak bisa bekerja dengan baik? Benar-benar memuakkan! Dia sudah tidak bisa melakukan apa pun, apa mau ditambahkan lagi rasa sakitnya? Di mana hati Bibi?" cecar Leon tiada henti, lantas memijat pangkal hidung untuk mengontrol emosi. Mata Leon memerah gelap, membuat wanita itu menggeleng cepat. "Tidak, Tuan Leon. Tadi Nona Gla bersama saya. Kami berjemur sambil bercerita beberapa hal di balkon. Saya sedang mengepang rambutnya. Nona Gla kelihatan baik dan sehat, napasnya juga beraturan dengan baik setelah sarapan dan minum obat. Ketika saya tinggal ke dapur sebentar mengambilkan dessert kesukaannya, ternyata Nona Gla sudah jatuh dan pingsan. Padahal kursi rodanya aman, sudah saya periksa sebaik mungkin agar tidak jatuh. Mungkin Nona Gladis berusaha belajar bergerak, lalu tidak sengaja kepencet tombol jalan pada kursinya. Untung saja ada pembatas teralis pada balkon, kalau tidak Nona Gla bisa jatuh ke bawah, Tuan." "Sialan, jangan katakan hal itu lagi. Dia akan tetap baik-baik saja dan sembuh. Awas saja jika hal ini terjadi lagi, tidak segan saya akan menghabisi Bibi Freya!" tegas Leon tidak main-main, membuat nyali Bibi Freya menciut seketika. Kedua kakinya gemeteran dan berkeringat dingin. "Berapa lama Pak Petter keluar kota? Jangan pernah mengatakan kedatangan saya kepada siapa pun jika Bibi Freya masih tetap ingin melihat dunia." Bibi Freya mengangguk paham, dia selalu tutup mulut kendati selalu merasa berdosa setiap kali bertemu dengan Klarybel. Bibi Freya hanya bisa berdoa semoga masalah ini akan segera berakhir. Klarybel begitu mencintai Leon. "Hanya tiga hari, Tuan Leon. Lusa Tuan Petter sudah pulang. Soalnya Nona Gla akan berangkat ke Singapura melakukan terapi agar cepat pulih." "Kenapa tidak dari kemarin saja? Cih, sudah saya beritahu jika pengobatan di sana jauh lebih baik daripada di sini. Apa Bibi tidak menyampaikan usul saya sejak beberapa bulan yang lalu?" "Sudah, Tuan. Tetapi Tuan Petter masih ada pekerjaan yang belum diselesaikan. Katanya baru bulan ini proyek kerjasamanya selesai, lalu kembali fokus pada kesembuhan Nona Gladis. Tidak mungkin bisa Tuan Petter membagi waktu antara kerjaan dan pengobatan ketika bentrok di hari yang sama. Keduanya sama-sama penting dan menjadi kewajiban Tuan. Saya mengerti bagaimana pengorbanan Tuan Petter selama ini, dia sudah banyak meninggalkan kerjaan demi menemani Nona Gla di rumah. Andai Nyonya masih ada, mungkin Tuan Petter tidak kewalahan seperti sekarang." Sebisa mungkin Tuan Petter mengusahakan segala hal jika untuk kesembuhan Gladis, termasuk membatalkan kerja sama di luar negeri yang membuatnya memiliki peluang sangat besar di dunia bisnis. Pria itu benar-benar ayah yang baik. "Itu sudah menjadi kewajiban seorang Ayah untuk menemani putrinya. Ya sudah, saya akan ke kamarnya sebentar." Bibi Freya mempersilakan. "Tuan Leon mau makan siang di sini? Biar saya siapkan menunya." Seketika Leon kepikiran Klarybel di kediamannya. Kata Jo tadi pagi, Klarybel tidak ada jadwal pemotretan. Keadaan wanita itu juga tidak begitu baik, mungkin tidak masuk kantor hari ini. "Tidak, saya akan makan siang di rumah." Menaikkan bahu, lalu kembali menaiki undakan tangga yang akan mengantarkannya ke kamar Gladis. Leon menghela napasnya ketika melihat lebam di pelipis Gladis. Tuan Petter pasti marah jika tahu Bibi Freya lalai, apalagi sampai Gladis kesakitan seperti ini. "Syukurlah kalau kamu baik-baik aja. Cepat sembuh, aku ingin melihat keceriaan kamu lagi. Sesuai janji terakhir kali, aku akan mengajak kamu jalan-jalan ke mana pun. Tidak perlu takut dengan Klary." Mengusap pelan puncak kepalanya, lalu membiarkan Gladis beristirahat. "Klary hamil. Dia sedang mengandung anakku. Bukankah kabar baik? Tapi aku merasa belum siap dengan semua ini. Maaf." Lalu Leon beranjak, memilih pergi sebelum tangan kanan Tuan Petter pulang dan mengetahui keberadaan Leon. Pintu kamar tertutup, Gladis membuka mata. Cairan bening mengalir dari sudut matanya. Ada sesuatu yang begitu menyesakkan dadanyaa, tapi mulut tidak bisa bersuara untuk meredakan masalah di antara mereka. Hanya Tuhan dan semesta yang bekerja, entah sampai kapan semua ini bergerak tidak sesuai dengan nyatanya. Banyak yang tersakiti, luka disengaja ini bermain dengan sempurna. **** Setibanya di kediaman Wilbert, pertanyaan Leon masih seperti kemarin. "Di mana Klarybel?" Bibi Giona tersenyum hangat. "Di kamarnya, Tuan. Hari ini Nona tidak ke kantor, katanya sedang tidak enak badan. Tadi Nona sudah minum vitamin, tapi belum makan nasi. Nona tidak mau, padahal sudah saya paksa meski hanya beberapa suap. Nona kebanyakan tidur sejak tadi, takutnya makin tinggi suhu badan Nona Klary, Tuan Leon. Dia bisa demam." Leon memijat pelipis, pusing. Tidak kerjaan, masalah Gladis, sekarang Klarybel pun berulah. Wanita itu sulit ditebak maunya apa, selalu membuat Leon kebingungan. "Siapkan omelet dan sambal kecap, saya akan membawa ke kamar. Dia harus makan." "Minumnya jus wortel ya, Tuan? Soalnya Nona Klary senang minumnya, bahkan tadi pagi juga meminta dibikinkan camilan dari wortel." "Sejak kapan dia suka wortel? Bukannya selalu muntah setiap kali minum jus wortel? Itu minuman saya." "Tidak tahu, Tuan Leon. Tapi Nona senang meminumnya, selalu habis satu gelas yang besar." Leon mengernyit heran, lalu mengangguk saja. Terserah apa pun yang Klary lakukan, asalkan tidak membuatnya marah. "Saya tunggu omeletnya, Bi." "Apa setelah ini Tuan Leon mau kembali ke kantor?" Leon hanya mengangguk singkat, fokus dengan ponselnya. "Tuan Leon mau disiapkan menu apa untuk makan siang hari ini? Mau dibawakan bekal?" "Bibi masak apa?" "Nasi bakar petai, ayam panggang, sambal kentang goreng, dan ada sambal korek juga, Tuan Leon. Tadi Nona Klary yang minta nasi bakar petai dengan sambal kentang. Apa Tuan mau menu lain?" "Tidak, itu saja sudah cukup. Berarti nanti Klary makannya omelet, nasi bakar, sama sambal kentang aja, Bibi. Soalnya kemarin dia lahap makan omelet." "Iya, Tuan. Sebentar saya siapkan omeletnya dulu." Ponsel Leon berdering, nama Nando tertera jelas di layar ponselnya. "Halo, ngapain telepon mulu? Habis makan siang gue langsung ke kantor, nggak usah bacot." "Syukur kalau lo sadar kerjaan kita juga penting. Di mana lo sekarang?" "Apa gue harus laporan ke elo juga soal ini? Lo bukan emak gue ya, Nan. Di sini gue yang bos, jangan kurang ajar lo." Nando cengengesan. "Santai, santai. Sekadar informasi buat lo, tadi gue habis teleponan sama istri lo, seneng deh. Dia lagi sakit ya, kesian banget. Mau gue kirimin makanan habis ini." Leon terkesiap, matanya melotot tajam. "Ngapain?! Jangan mancing emosi gue, Nan, gue bisa aja ngabisin lo sekarang. Jangan macam-macam. Nggak usah sok-sokan kirim makanan, gue punya duit buat kenyangin perut dia! Jangan nyari masalah lo." "Terserah. Bye!" Setelah itu panggilan telepon berakhir begitu saja, Leon meremas ponselnya geram. "Nando brengsekk!" umpat Leon, lantas beranjak menuju lantai atas. Dia sudah marah, malah ditambah pemandangan luar biasa yang membuatnya ingin meledak. "Pergi dari kamar saya!" Leon membentak kasar pada Gema, kelihatan murka sekali. Gema dan Klarybel ada di balkon, duduk bersama sambil mengobrol. Gema langsung mengangguk, kemudian pamit tanpa basa-basi lagi. Dia tidak mungkin memasuki kamar utama jika Klarybel tidak memaksa, kemudian mendengarkan ceritanya. Klarybel sedang dalam keadaan tidak sehat, jadi Gema pikir dia bisa menjadi pendengar yang baik. Selain menjadi pengawal, dia sudah berjanji akan berteman dengan Klarybel. Makanya di antara Gema, Jo, dan Klarybel tidak pernah sungkan untuk bercanda dan saling melempar kalimat pedas. Mereka sangat dekat layaknya saudara. Gema dan Jo seperti seorang Abang yang bertugas menjaga adik perempuan mereka. "Leon kamu kenapa? Pulang marah-marah terus. Lagian ini masih siang, ngapain kamu di rumah?" "Oh jadi kalau aku nggak pulang, kamu akan menyuruh Gema tidur di kamar ini?" Wajah Klarybel pucat, dia begitu lelah dan tidak bersemangat melakukan apa pun termasuk bertengkar dengan Leon. "Kamu gilaa? Ngapain aku tidur bareng Gema, dia juga tahu batasannya." "Tapi dia memasuki kamar utama!" "Aku yang memaksa, aku hanya ingin bercerita. Gema menjadi pendengar terbaikku, aku merasa nyaman bersamanya." Leon menggertakkan gigi. "Kamu mengatakan soal kehamilan ini?" "Enggak, aku belum mengatakannya. Kenapa harus dirahasiakan sih? Kalau kamu malu, kenapa membuatnya hadir di rahimku!" "Aku sudah menyuruh kamu meminum pil." "Ngapain aku minum pil sementara kamu jarang menyentuhku, aku nggak mau merusak badanku sendiri. Jangan egois kamu, bisanya cuman menyalahkan. Pergi saja, aku nggak mau berdebat." Klarybel beranjak, melangkah lemas menuju tempat tidur. Sedari tadi dia hanya banyak minum, tidak ingin makan nasi. "Kalau pulang niat kamu buat marah, mending nggak usah pulang!" "Kamu bicara apa sama Nando? Beraninya kamu menelepon dia, mau ganjen dan menarik perhatian semua orang untuk takluk pada pesona kamu?" "Aku emang menarik, biarin aja semua pria terpesona. Ada masalah sama kamu?" "Ngomongin apa sama Nando, Klary?" Klarybel menaikkan bahu. "Kamu nggak perlu tahu semua urusanku. Pergilah, aku malas melihat wajah kamu, Leon." Menutup mata, membelakangi Leon yang masih berdiri di pintu balkon. Bibi Giona datang, membawa nampan berisi menu sesuai yang Leon pinta tadi. "Taruh saja di atas meja, Bibi. Biar saya yang urus wanita aneh satu ini." "Baik, Tuan. Saya permisi ke belakang. Jika ada sesuatu, panggil saja." Leon mengangguk, Bibi Giona segera kembali ke dapur untuk makan siang juga bersama yang lainnya. "Makan dulu, Klary." "Nggak!" "Mau kupaksa?" "Aku nggak pengin." "Ini nasi bakar yang kamu pinta ke Bibi Giona, bukan nasi putih. Aku meminta Bibi membuatkan omelet, kemarin kamu suka menu kayak gini kan?" Klarybel membuka matanya, menatap Leon beberapa saat. Dia beranjak dari tempat tidur, mencuci tangannya terlebih dahulu di wastafel. Dengan wajah memberengut Klarybel duduk menghadapi piring nasinya. "Kamu pergi gih!" "Beraninya, ini bukan kamar pribadi kamu. Makan saja, saya akan menunggu sampai makanan kamu habis." "Ini kebanyakan---" "Makan atau aku jejalkan ke mulut kamu." Klarybel cemberut, menyuap nasinya dengan sedikit menggerutu. "Kejam. Daddy dulu jahat, tapi dia baik sama aku. Daddy nggak jahat sama anak-anaknya. Lalu kamu? Nggak tertolong sama sekali." "Aku tidak mengizinkan kamu berkomentar, Klary. Makan saja dengan benar." Leon mengirimkan pesan pada Nando, memberitahu kekesalannya. Tidak ada yang boleh main-main dengannya, apalagi Nando berniat ingin merebut Klarybel. Memangnya dia siapa? Tidak lama Bibi Giona kembali datang, membawakan buket bunga untuk Klarybel. Tulip putih dengan aroma yang sangat wangi. "Semoga cepat sembuh." Itulah kalimat yang Mario tulis pada kartu ucapannya. Klarybel tersenyum lebar, senang sekali. "Siapa yang ngasih bunga?" "Bukan siapa-siapa." "Penjual bunga itu?" Klarybel memicingkan matanya. "Terserah aku dong. Kamu saja boleh bermain-main dengan wanita club, kenapa aku enggak? Urusi kesenangan masing-masing aja, Leon, sampai aku terbiasa nggak peduli sama kamu." Leon merebut buket itu, lalu membuangkan dari balkon hingga jatuh ke bawah dengan sangat mengenaskan. "Memuakkan." Klarybel meninggalkan piring makannya, pergi dari kamar secepat yang dia bisa meski masih merasa lemas dan pusing. "Nona Klary, ini bunganya jatuh dari atas mengenai kepala saya." Jo datang dari halaman samping, menyerahkan buketnya. "Apa baik-baik saja semuanya, Nona?" "Leon gilaa, dia sudah stress!" "Kenapa?" Jo kaget, refleks menyahuti 'kenapa'. Padahal dia sudah berjanji tidak akan kepo soal hubungan Klarybel dan Leon. Itu privasi. "Dia membuang bungaku!" Jo langsung menatap Leon yang baru saja menuruni tangga, menggaruk tengkuknya merasa berdosa. Andai tahu jika bunga itu sengaja dibuang, Jo tidak akan mengembalikan pada Klarybel. Jo dalam keadaan bahaya. "Saya permisi, Nona. Selamat siang!" Klarybel memutar bola mata malas. "Dasar sintingg!" umpatnya pada Leon, kemudian melewati pria itu begitu saja. "Pergi sana, jangan ke kamar lagi!" Terdengar pintu yang dibanting, lalu Klarybel menguncinya dari dalam. Leon membuatnya hipertensi. Leon menghela napas. "Wanita itu!" geramnya ingin menyentil kening Klarybel. Bisa-bisanya dia bergegas mengambil buket pemberian Mario. "Jelek bunganya!" komentar Leon lagi tetap merasa tidak terima. Belakangan ini Leon selalu bermasalah dengan hatinya. Selalu tidak bisa mengontrol amarah jika berhubungan dengan Klarybel. Apalagi sekarang Nando dan Mario terang-terangan menyukai Klarybel. Double s**t!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN