5. Kejutan Gagal

2519 Kata
Gema menepuk pelan pipi Klarybel yang sejak tadi dia panggil tidak sama sekali memberikan sahutan. "Nona, hei. Bangun, kita sudah sampai di rumah. Bukannya tadi menyuruh saya buru-buru biar tidak dimarahi Tuan Leon? Sejak tadi Nona saya panggil tidak bersuara, ternyata ketiduran." Menautkan alis, tumben sekali Klarybel nyenyak dalam tidurnya padahal baru ketiduran beberapa saat lalu. "Nona Klary kelelahan? Sepertinya kelihatan tidak bersemangat sama sekali. Nanti saya minta Bibi Giona membuatkan cokelat hangat. Nona mau sekalian dengan roti panggang keju?" Klarybel mengerjap pelan, sembari mengumpulkan akal sehat. "Brengsekk! Ternyata cuman mimpi, aku kesel!" Memukul lengan Gema dengan kepalan tangannya, kemudian nampak merajuk, terlihat raut sedihnya. "Aku bermimpi indah, mungkin sebentar lagi aku hilang akal. Aku begitu memuja Leon. Sampai rasanya nggak tau gimana menyudahi ini semua!" gumamnya pelan sekali, lalu tersenyum miring. Kemesraan yang ternyata barusan hanya ada di alam bawah sadar Klarybel, pantas saja Leon nampak hangat dan mudah mengalah padanya. Padahal aslinya Leon sangatlah keras kepala dan gengsian. "Nona mengatakan sesuatu? Saya kurang jelas mendengarnya. Bisa diulang, Nona?" "Nggak! Aku lagi murka, kamu jangan mengganggu. Jauh-jauh dariku. Aku jengkel banget sama keadaan yang nggak masuk akal gini. Pengen kupukul wajah Leon!" Gema mengernyit heran. "Oh, Nona habis mimpi Tuan Leon ya? Mimpi perang samurai lagi atau bagaimana?" ledeknya berusaha mencairkan suasana. Bukannya tertawa, Klarybel malah menyikut perut Gema sampai sang empunya mengaduh sakit. Dua kali dia kena sial, tapi tidak bisa membalas apa-apa. "Maaf, Nona. Cuman bercanda, saya hanya berniat menghibur. Raut Nona seperti orang terlilit banyak hutang!" celetuknya tanpa merasa bersalah. "Kamu mau kuhajar sampai babak belur, Gema?" ancam Klarybel jika Gema kembali mengatainya. "Minggir, aku mau lewat. Ngomong sama kamu bikin mencrett!" Gema mencebikkan bibirnya. "Nona sensi amat, kayak pantatt panci." Tidak sempat tertawa, perutnya sudah kena pukulan lagi dari Klarybel. Tepat sasaran, sampai membuat Gema terbatuk. "Sakit, Nona Klary. Saya adukan Tuan Devano nanti ya!" "Aku tunggu, biar sekalian kutebas kepala kamu!" Memicing tajam, kemudian berlalu begitu saja tanpa mendengarkan perkataan Gema selanjutnya. Dia berantakan sekarang, sungguh menginginkan Leon. Entah bagaimana caranya agar Klarybel mendapatkan hati Leon, cukup rumit daripada memecahkan puzzle kehidupan. "Bibi Giona, Mas Leon ada di kamar?" "Iya, betul Nona. Tadi sudah saya buatkan jus wortel. Apa Nona memerlukan sesuatu juga?" "Aku perlu bercintaa!" teriak batinnya mulai menggilaa, sungguh diluar dugaan. Klarybel menginginkan Leon sebesar ini, tapi malah diabaikan sedemikian rupa. "Aku butuh minuman dingin yang asam-asam. Buatkan jus strowberry. Kalau perlu tambahin jeruk biar kecut!" Bibi Giona mengerutkan kening. "Loh, emangnya ada jus strowberry campur jeruk? Kenapa tidak sekalian jus lemon aja, Nona? Kecutnya segar, enak." "Nggak, lagi nggak pengen. Aku mau bereksperimen, biar ususku menjerit sekalian. Bikinkan aja, meski rasanya bikin enek. Aku emang lagi murka, jadi perlu asupan yang rada aneh." Menaikkan bahu, lalu memutar bola mata malas. "Bibi Giona jangan protes ah, suka-suka aku pokoknya. Bikinkan aja, aku lagi kesel nih. Jangan banyak komen." "Ya sudah, Nona Klary. Tunggu sebentar ya, nanti Bibi antarkan ke kamar. Maunya disiapin sama camilan apa?" "Bola kentang keju. Taburin bubuk cabai yang banyak, aku mau uji kesehatan lambung hari ini. Kali aja kekebalannya sudah teruji klinis, biar kebal peluru sekalian. Bukannya itu hebat?" Memikirkannya beberapa saat, lalu mendesah sebal sendirian. Klarybel tiba-tiba langsung meninggalkan Bibi Giona, membuat wanita paruh baya tersebut ikut kebingungan melihat mood Klarybel yang turun naik tidak menentu. "Anehnya Nona Klarybel." Geleng-geleng sambil menghela napas. "Semoga cepat membaik hubungannya dengan Tuan Leon. Kita semua merindukan senyum dan tawa ceria Nona saat menceritakan kebahagiaan setelah pergi jalan-jalan bersama Tuan." Sesampainya Klarybel di kamar, Leon baru saja selesai mandi. Pria tampan itu mengenakan celana kain selutut, kaos polos, dan tengah mengeringkan rambut yang basah menggunakan handuk. "Lupa jalan pulang? Aku nggak senang kamu lalai begini, Klary. Sudah berapa kali aku bilang, kamu harus ada di rumah ketika aku pulang kerja. Senang membuat aku marah dan terus bersikap seperti anak kecil. Bosan aku liatnya!" "Udah memakinya? Mau gantian?" Klarybel melipat kedua tangannya di dadaa, menatap miris pada Leon yang nampaknya tidak berkaca diri. "Apa kabar dengan kamu? Hak dan kewajiban dilalaikan seolah bukan siapa-siapa di rumah ini. Kamu suami aku, tapi apa yang kamu berikan ke aku selain rasa sakit? Kamu pikir kamu berhak giniin aku terus? Aku bisa melawan, aku udah jengah ya sama kelakuan kamu. Berubah nggak jelas, ditanya alasannya apa nggak mau jawab. Kamu sudah gilaa atau gimana?" "Aku nggak mencintai kamu. Harus berapa kali aku bilang?" "Terus kenapa kita menikah?!" bentak Klarybel setengah berteriak. Urat lehernya mengencang, kedua tangan terkepal erat. "Kamu juga nggak mau menceraikan aku. Lalu mau kamu apa, Leon? Kamu menyakiti aku sudah terlalu banyak, bisa berhenti? Aku juga manusia, aku punya perasaan." "Jangan lemah. Hapus air mata kamu, aku lelah melihat sandiwara ini." Klarybel berniat memukul Leon, hanya saja keduluan pria itu menepis kasar hingga membuat Klarybel terpental ke tempat tidur. "Berdarah, Leon!" makinya saat memegangi bibir. Lalu dengan gesit Klarybel mengeluarkan pisau kecil yang ada di pinggangnya, melukai lengan bagian atas Leon tanpa perasaan. "Darah dibalas dengan darah. Aku nggak peduli rasa sakitnya sama atau enggak, kamu duluan yang nyakitin aku!" Lantas mendorong Leon sama kasarnya, menyepak tulang kering pria itu setelah mencabut tusukan pisaunya. Klarybel meninggalkan Leon menuju kamar mandi, berniat membersihkan tubuh dengan berendam pada air hangat yang diberi aroma khas bunga-bunga yang segar. Dia butuh ketenangan, agar amarahnya tidak lagi memuncak dan membuat Klarybel seperti orang tidak waras. Leon tidak bisa berkata banyak, sangat kaget melihat Klarybel marah. Mata wanita itu memerah, terlihat banyak kekecewaan dari tangis yang berusaha diredam. "Sialann, Klary. Beraninya kamu!" Dia melangkah cepat mengambil kotak obat, lalu berusaha menghentikan pendarahan pada lengan atasnya. Leon menuangkan cairan bening, rasanya sungguh sakit saat mengenai luka. Meski tidak terlalu dalam tusukannya, tapi berhasil membuat Leon kesakitan. "Cepat ke kamar, obati luka saya!" Setelah panggilannya terhubung pada Gema, Leon berucap tegas seolah benar-benar meminta tolong. Andai lukanya tidak di lengan, Leon bisa mengobati dan menjahitnya sendiri. Tidak lama, Gema datang. Dia juga kaget melihat lengan Leon penuh dengan darah. "Ada apa, Tuan?" tanyanya refleks membulatkan mata. "Apa terjadi penyerangan saat di perjalanan menuju ke sini?" "Tidak. Nona kamu yang gilaa itu telah melakukannya dengan sempurna. Dia menyerang saya. Benar-benar cepat dan tidak terduga, gerakan dia bahkan lebih gesit dari perkiraan saya. Kamu mengajarinya bela diri dan latihan senjata seperti apa? Kenapa dia begitu hebat membolongi daging segar saya? Mengesalkan sekali!" omel Leon sembari membiarkan Gema menyelesaikan pengobatan lukanya. Jo maupun Gema sudah ahli dalam penyembuhan seperti ini, mereka telah belajar banyak hal untuk menjadi seorang bodyguard kepercayaan. "Nona Klary kalau marah memang tidak kenal siapa lawannya, Tuan. Pokoknya semua bisa dihabisi. Tadi saja saya sempat diberi pukulan, sakitnya lumayan memanjakan perut. Nona Klary emang hebat, kita harus lebih berhati-hati." "Jangan biarkan dia menguasai semua hal, apalagi cara menggunakan senjata. Dia sungguh keterluan. Setelah ini sita semua pisau miliknya. Klary lagi tidak sehat. Dia berbahaya, bisa saja besok pelurunya yang membolongi kepala saya." Gema tahu jika Nonanya tidak mungkin semurka ini jika Leon sendiri yang tidak memulai duluan. Klarybel memiliki hati yang lembut, semua tindak kasarnya tergantung bagaimana cara kita memperlakukan dia. "Sudah selesai, Tuan. Saya harap jahitannya tidak kena air dulu." "Ck, bagaimana bisa? Saya harus tetap mandi dan bekerja besok." "Nanti kalau mau mandi ditutupi dulu, Tuan. Semoga cepat membaik, nanti saya bantu menasehati Nona Klary." "Tidak perlu, saya bisa menanganinya. Kamu pergilah, terima kasih bantuannya." Gema mengangguk paham, lalu segera beranjak dari sana. Tidak berniat banyak bicara, takut Leon salah paham lagi. Dulu Gema pernah dicurigai menyukai Klarybel, padahal selama ini dia bekerja secara profesional. Tidak pernah melewati batasan yang tidak seharusnya Gema lakukan. Aneh memang, katanya tidak mencintai Klarybel, tapi sangat takut jika ada pria lain yang menyukai miliknya. Tidak paham permainan apa yang sedang direncanakan Leon, yang pasti Gema khawatir jika diakhir permainan malah Leonlah yang kalah. Klarybel tidak lemah. Dia bahkan bisa menjadi ibliss paling kejam untuk membalas semua rasa sakitnya, kendati hal itu berasal dari seseorang yang begitu dia cintai. Leon harus berhati-hati, kecuali jika dia memang ingin kehilangan Klarybel atau nyawanya sendiri. **** Selesai mandi, Klarybel meminum jus aneh miliknya yang dibuatkan oleh Bibi Giona, lalu menatap Leon yang sedang sinis. "Apa kamu? Mau aku kasih luka baru lagi?!" sarkasnya tidak berperasaan. Wajah Klarybel nampak serius, Leon tengah malas meladeni amarahnya. Bisa jadi habis ini perutnya yang dilubangi bukan? Mengerikan sekali. "Makanya jangan berani-berani bikin aku marah, bahaya kan jadinya. Salah sendiri." Menaikkan bahu, cuek sekali. Ngomong-ngomong, jus strawberry campur lemon enak juga. Rasa aneh yang menghadirkan sensasi baru. Mungkin Klarybel akan membuat minuman baru lagi, mungkin dari perpaduan dua sampai tiga buah. "Mulai besok aku nggak ngizinin kamu menggunakan senjata. Ruang khusus senjata bakal dikunci, kecuali jika aku emang lagi perlu sesuatu di dalam sana." "Nggak bisa!" Nada bicara Klarybel mulai meninggi lagi, memicingkan matanya tidak senang. "Kamu jangan bersikap sesuka hati dong di rumah ini. Aku tahu kamu yang beli ini semua, tapi aku juga berhak atas kedudukanku sebagai seorang istri. Kamu nggak bakal dapat duit tanpa bantuan Daddy. Apa pun yang kamu miliki, itu adalah punya aku juga!" "Nggak perlu belajar ilmu bela diri lagi, aku nggak senang. Kalau kamu terus membangkang, aku bakal mengadu pada Daddy jika kamu melukai lenganku." "Lakukan aja, maka kupastikan luka itu akan bertambah!" "Menjauh dariku, lebih baik kamu istirahat. Kebanyakan dengar kamu ngomong nggak baik untuk kesehatan pendengaran. Kamu selalu membuatku emosi, Klary. Sekarang pembangkang banget, senang cari masalah." Klarybel beranjak dari sana, segera mengambil tasnya. Sebelum Leon membuka mulut untuk melarang, Klarybel duluan menyela tajam, "Jangan melarangku! Aku mau menginap di rumah Daddy, di sini membuatku jengah. Kamu ngeselin banget." Leon memejamkan mata, menyudahi pekerjaannya dan menyusul Klarybel. Tidak mungkin Leon membiarkan wanita itu datang dan menginap sendirian di kediaman orangtua mereka. Sangat berbahaya, pasti nanti Alesha curiga jika hubungan Leon dan Klarybel emang sedang tidak baik-baik saja. "Pakai mobilku, jangan keras kepala!" Leon mendorong kembali pintu mobil Klarybel, lalu menarik tangan wanita itu agar mengikutinya. "Aku besok ada meeting pagi, kamu bisa jangan berulah nggak? Kerjaanku harus diselesaikan malam ini, malah pakai acara mau menginap segala. Bisa lain waktu kan?" "Nggak, nggak bisa! Kalau kamu nggak pengin ikut, tinggal aja. Nggak ada yang maksa kamu buat ikut ke kediaman orangtuaku. Nggak ada kamu akan lebih baik, hidupku justru lebih makmur!" Leon memukul bibir Klarybel pelan. "Mulutnya!" geram Leon menggertakkan gigi. "Tutup mulutmu sekarang, aku akan menurutinya." Klarybel menaikkan bahu, lalu membuang wajah dengan menghadap ke arah luar. Menatap jalanan dengan laju mobil di atas rata-rata, Leon emang gilaa. Untung Klarybel sudah terbiasa balapan, jadi tidak masalah sekalipun mobil itu terpental karena saking lajunya. Sesampainya mereka di kediaman Axelleyc, Klarybel duluan beranjak dan melangkah masuk. Tidak memedulikan pandangan para pengawal Daddynya yang menatap aneh. Tapi percayalah jika mereka semua tidak kaget lagi, karena sudah terbiasa melihat tingkah laku Klarybel yang beragam. "Hei, Riley! Kenapa kamu di sini, huh?!" Klarybel menganga, berteriak histeris saat melihat adiknya duduk santai di ruang keluarga. "Kapan kamu datang, kenapa nggak mengabariku? Katanya kamu nggak ada libur, kok sekarang malah di Indonesia?" Meninju lengan Riley, hingga membuat lelaki itu mengaduh kesakitan. Kakaknya emang tidak pernah berubah, masih saja beringass. Riley memeluk Klarybel erat, mengusap-usap punggungnya penuh kerinduan. "Gagal deh kejutannya. Tadi siang aku berhasil bikin kejutan pada Daddy dan Mommy, mereka juga nggak tau kalau aku balik secepat ini. Baru aja aku menghubungi Abang ipar, kataku nanti malam aku akan ke rumah kalian. Ternyata Kakak jauh lebih pintar dan selalu bisa mematahkan rencanaku!" Menyentil kening Klarybel, tinggi Riley jauh di atas kakaknya meski di antara mereka tidak ada yang bisa dibilang pendek. Klarybel memiliki tubuh sekelas model dunia. "Kenapa kamu dekat banget sama Leon? Apa-apa selalu bilang padanya ketimbang aku!" Klarybel mengerucutkan bibir, mencubit perut Riley. "Kamu ingat, aku yang selalu ada di samping kamu sejak kita kecil. Aku yang paling nggak sabar menunggu kelahiran kamu, selalu pengin pulang sekolah dengan cepat biar bisa melihat dan mencubit pipi gembul kamu. Jangan durhaka ya, nanti kupukul kepala kamu!" Bukannya merasa bersalah, Riley malah menaikkan bahu ... lalu terkikik geli. "Abang ipar ...!" Riley menghampiri Leon, memeluk pria itu dan tidak sengaja mengenai lukanya. "Astaga, lengan Abang kenapa? Habis berantem sama siapa lagi?" Leon menaikkan bahu. "Sama orang gilaa," celetuk dia sekenanya, membuat Klarybel menganga. Dasar suami kurang ajar! "Abang serius? Orang gilaa mana yang berani membolongi lenganmu? Sejak kapan Abang kecolongan begini, biasanya selalu bisa membaca gerakan musuh!" Riley menaikkan sebelah alis, tidak percaya dengan pengakuan Leon barusan. "Ah, lupakan saja. Ini kejadian emang nggak terduga. Aku sedikit lengah." Riley mencebikkan bibir. "Nanti aku panggilkan dokter untuk mengecek luka Abang. Takutnya infeksi kalau dijahit sembarangan tanpa perawatan dokter." "Nggak perlu, ini sudah jauh lebih baik. Gema melakukannya seperti dokter profesional, kamu tahu kehebatan dia kan?" "Ah, benar juga. Ya sudahlah, yang penting Abang sudah baik-baik saja." Klarybel menyandarkan punggung di sofa, melipat kaki kanannya ke atas paha kiri. "Riley, sudah acara memerhatikan Abang iparmu? Aku sungguh geli mendengarnya. Kamu seperti adik durhaka yang lebih menyayangi Leon ketimbang aku!" Riley duduk di samping Klarybel, memeluk wanita itu sampai dia mengaduh dan meminta dilepaskan. Terakhir, Riley mengecupi pipi Klarybel. Sangat menyayangi Klarybel yang selalu mencemaskan keadaan Riley. "Cemburu mulu, aku nggak bakal merebut Bang Leon dari Kakak. Tenang aja, dia tetap menjadi milik Kakak sampai maut memisahkan kalian. Ngomong-ngomong, aku sudah pergi lama banget, apa kalian nggak berniat memberiku kabar bahagia? Kapan ada tangis bayi di rumah kita, huh? Lama banget, aku sudah nggak sabar!" Leon tersedak, sementara Klarybel hanya tersenyum miring. "Tanyakan pada Abang iparmu yang baik hati itu, kapan dia akan memberiku bayi kecil!" Sarkas sekali, begitu menohok sampai Leon kehabisan kata-kata. "Bukannya Kakak yang selalu sibuk bekerja?" Klarybel melotot. "Kata siapa?" balasnya tidak terima. Bukan salah Klarybel, tapi Leon yang enggan memberikan haknya. "Kata Daddy." "Cih, kalian selalu saja terdengar membela si Leon sintingg ini!" gumam Klarybel pelan sekali, hanya terdengar sedikit di telinga Riley. "Ngomong apa? Aku nggak dengar." "Nggak ada. Sana kamu ngobrol dulu sama Abangmu, aku mau ketemu Mommy. Memasak bareng dia lebih baik daripada berdebat sama kalian berdua. Kali ini aku akui, kamu ngeselin Riley. Kamu kayaknya emang udah nggak sayang aku!" Lantas beranjak, membuang muka pada Leon yang sedang memberinya tatapan tajam dan menghunus. "Dasar suami nggak tahu diri!" maki Klarybel yang masih dongkol. "Abang lagi berantem sama Kak Klary?" tebak Riley yang tidak bisa dibohongi. "Kalian berdua sinis banget tatapannya. Kak Klary juga kelihatan sensitif. Baru aja ketemu, tapi seolah-olah aku telah membuat banyak kesalahan." Leon menaikkan bahu singkat, lalu mengangguk. "Biasalah, Ley. Wajar dalam rumah tangga ada cekcok sedikit kan? Tapi nanti Kakakmu baik lagi, dia cuman merajuk sebentar." "Kalau Kakak lagi marah, tinggal dipeluk aja, dia bakal senang, Bang. Jangan dicuekin, dia bisa menangis. Aku salah seorang yang jarang melihat dia menangis, makanya aku yakin jika sampai Kakak menangis ... masalahnya sudah nggak main-main." "Abang tahu, nanti malam dia juga bakal baikan. Abang akan membujuknya setelah ini. Tenang saja." "Aku percaya sama Abang. Selalu aku katakan kalimat yang sama, aku titip Kakak. Dia wanita yang sangat baik dan penyayang. Kami semua mencintainya melebihi apa pun. Dia harus selalu bahagia." Riley menyunggingkan tersenyum. Binar matanya telah cukup memberitahu jika Riley sangat menyayangi dan mengistimewakan Kakaknya. Tidak ada yang boleh menyakiti Klarybel.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN