Berbaring menatap langit-langit apartemen. Mendengarkan lagu-lagu sedih. Tidak melakukan apa pun selain bernapas. Menjadi kegiatan Yoon selama dua hari ini.
Ia tahu sejak pertengkarannya kemarin dengan Ben, kekasihnya itu tidak akan menghubunginya untuk beberapa hari. Kalau dipikir-pikir, semakin lama hubungan mereka, akan semakin lama juga Ben akan mengabaikannya. Mungkin rasa malunya pada Tadashi yang membuat ia tidak memohon-mohon pada Ben untuk memaafkannya. Yah, ngomong-ngomong soal itu. Begitu selesai menenangkan diri di balkon apartemen Tadashi setelah bertengkar dengan Ben kemarin, Yoon langsung memutuskan untuk datang ke apartemen yang sudah Ben siapkan untuk mereka. Tadashi mengantarnya ke sini. Sepanjang perjalanan ia diam saja, begitu pun Tadashi. Rasanya, ia hanya selalu menjadi beban untuk laki-laki itu. Apakah mungkin Ben juga memikirkan hal yang sama?
Dua minggu. Terakhir kali ia dan Ben bertengkar, Ben mendiaminya selama dua minggu. Bahkan meski Yoon selalu berusaha menemuinya dan meminta maaf, melakukan berbagai cara. Ben akan tetap mengabaikannya. Yoon selalu ingat bagaimana rasanya. Bagaimana tersiksanya ia selama itu. Rasanya kau bisa sewaktu-waktu mati saking sakitnya.
Tapi kenapa? Pada akhirnya ia selalu kembali. Kenapa?
Dua hari. Dua hari selama di New York hanya berakhir dengan kesia-siaan. Terlebih lagi ia tidak bisa mengenyahkan rasa bersalahnya pada Tadashi. Oh, ya. Ia juga belum menghubungi Tadashi lagi sejak kemarin. Sejujurnya Yoon tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia terus merasa bersalah dan malu.
Mungkin seharusnya ia bisa menahan diri dan tidak marah pada Ben. Dengan begitu ia tidak akan bertengkar dengannya dan Tadashi tidak akan melihat semua itu.
Yoon menghela napas lemah. Bahkan bernapas pun menyakitkan.
Eh. Terdengar suara bel apartemennya dibunyikan. Yoon berguling ke sudut ranjang. Mendengarkan dengan seksama barangkali telinganya salah dengar. Denting bel terdengar lagi. Siapa? Ia bertanya-tanya. Mungkinkah Ben datang lebih awal dari seharusnya.
Bel berdenting untuk yang ketiga kalinya. Lantas Yoon menyeret dirinya bangkit.
Ketika daun pintu berayun terbuka. Ia bisa melihat sosok tinggi Tadashi yang memandangnya dengan tatapan mengintimidasi.
"Eh?" Yoon menggaruk sebelah pipinya dengan ujung jari, gugup dipandang begitu. Ia tahu sekali Tadashi sedang kesal.
"Kenapa tidak menjawab telepon dariku?"
Kini Tadashi benar-benar terlihat seperti ibu-ibu galak, pikirnya.
"Mmm. Itu, sejujurnya aku tidak menyentuh benda itu untuk beberapa waktu terakhir," karena Yoon tahu Ben akan mengabaikan ia sebenarnya. Jadi Yoon memutuskan menyingkirkan benda itu sejauh mungkin.
Kalau dipikir-pikir ini kali pertama Yoon bersikap demikian. Ia juga tidak tahu kenapa ia bisa sedikit melepaskan diri dari keterikatannya terhadap Ben. Mungkin... Yoon mengangkat wajah memandang mata hijau Tadashi yang menenangkan. Mungkin, karena ada Tadashi di dekatnya saat ini. Kehadirannya membuat Yoon merasa lebih ringan. Meski tidak selalu.
"Kau terlihat pucat."
Spontan Yoon mengusap wajah dengan kedua tangan. "Sungguh? Mungkin karna aku tidak memakai riasan apa pun."
Tadashi menggeleng. "Apa kau sudah makan sesuatu?"
"Iya, tentu-"
"Jawablah dengan jujur."
Bibir Yoon mengatup seketika. Akan sulit menghadapi Tadashi mode interogasi seperti ini.
"Kau tahu, apa pun yang terjadi tetaplah makan. Memangnya kau ingin menjadi sekurus apa lagi?"
Ucapan Tadashi itu agak menyetuh hatinya. Membuat Yoon terharu. "Baik, Mom."
Sesaat Tadashi terlihat akan mengomel. Tetapi kemudian ia hanya diam memerhatikan Yoon untuk beberapa saat. Menghela napas lelah dan. "Baiklah, ayo."
"Ke mana?"
"Makan steak terenak di New York."
Mata Yoon membulat. "Sungguh?"
Tadashi yang sudah berada di ambang pintu berbalik lagi. Lantas mengeluarkan sebuah buku sketsa kecil dari sakunya dan menunjukannya pada Yoon. "Kau bahkan meninggalkan ini."
Yoon tersenyum simpul. Tadashi yang marah selalu terlihat lucu. Ia tak pernah bisa benar-benar marah. "Maaf," bisiknya.
"Kenapa diam saja? Kau tidak mau makan steak?"
Oh! Yoon tersadar dan segera berlari masuk. "Duduklah dan tunggu aku sebentar."
"Kau tak perlu memakai riasan apa pun, aku tidak punya banyak waktu."
"Tapi ini akhir pekan, kau pasti libur, kan," Yoon berseru sambil menumpahkan seluruh isi koper yang belum ia bereskan. Terlalu sedih tentu saja untuk sekedar beres-beres. Ia mengambil sebuah coat cokelat dan tas selempang kecil hitam. Lalu memasukan dompet, ponsel dan kaca mata ke dalamnya. Terakhir ia berdiri di depan meja rias dan memakai lipstik merah yang membuatnya merasa terlihat lebih dewasa. Terakhir memakai boot hitam favoritnya.
Ia berjalan keluar dengan perasaan riang dan menjumpai Tadashi menatapnya aneh.
"Apa-apaan lipstik merah itu."
"Kenapa? Bukankah kau bilang aku terlihat pucat?"
"Ya, tapi yang aku maksud pucat seperti orang sakit," Tadashi berjalan mendekat dan dengan ibu jarinya mengusap bibir Yoon, membuat gadis itu sontak berteriak kesal.
Tadashi terkekeh.
"Sial, apa yang kau lakukan? Kau merusak riasanku!"
"Tidak, ini lebih baik untukmu," ia segera meraih lengan Yoon yang akan berbalik masuk.
"Setidaknya biarkan aku memperbaikinya dulu," rengeknya.
"Tidak, tidak. Aku tidak punya banyak waktu," Tadashi masih tertawa membuat Yoon ingin sekali menendangnya.
"Kau pasti sengaja melakukannya, kan? Iya, kan? Membuatku terlihat seperti badut? Pasti lipstikku melebar ke mana-mana... Ah, Tadashi," Yoon tidak berhenti merengek sepanjang lorong.
Tadashi hanya terseyum. Tak melepas lengan Yoon dalam dekapannya.
"Baiklah, baiklah, aku tidak akan membuat bucket list aneh lagi. Aku janji, Tadashi..."
"Tidak, Yoon. Aku sangat senang bisa mentraktirmu makan steak paling enak di New York, lagipula aku memang sering datang ke tempat itu."
"Huaaaa, Tadashi. Kenapa kau tersenyum begitu."
Tadashi tak bisa tak tertawa sementara Yoon terus mencurigainya.
***
Yoon memandang sekeliling dengan tatapan takjub. Setidaknya ia sudah menghabiskan lima belas menit di kamar mandi untuk memakai lipstik merahnya lagi. Dan merengek sepanjang perjalanan tanpa lepas memeriksa wajahnya lewat kamera ponsel. Padahal tidak ada yang salah dengan wajahnya. Lagipula lipstik merah itu terlihat palsu. Tadashi lebih suka melihat Yoon apa adanya. Yoon yang sesuai dengan karakternya.
Dilihat dari raut wajahnya sekarang, Yoon pasti menyukai tempat ini. Dengan desain klasik yang menenangkan. Dan yang terpenting karna steaknya yang enak. Pelayan datang membawa pesanan mereka, membuat Yoon seolah akan meledak di kursinya. Lantas melarang Tadashi untuk memakan pesanannya lebih dulu karena Yoon harus memotret semuanya.
"Nah, sekarang, Tadashi," Yoon mengulurkan ponselnya pada Tadashi. "Tolong potret aku," ia tersenyum simpul. Seolah menunjukkan ia ini anak baik, jadi harus dituruti.
Tadashi mengiyakan tanpa membantah. Sekali ini melihat Yoon begitu bersemangat membuatnya ikut senang.
Yoon melipat sebelah tangan di meja dan menggeser posisi duduknya, sehingga hanya separuh wajahnya yang terlihat. Seolah tengah di foto diam-diam.
Tanpa sadar Tadashi tersenyum melihat sosok Yoon dalam kamera. Begitu cantik.
"Nah, sekali lagi," Yoon merubah posisi. Ia meraih pisau dan garpu dan tersenyum lebar.
Tadashi tertawa. "Aku suka yang ini," ucapnya. Lalu mengeluarkan ponselnya dari saku dan memotret Yoon lagi.
"Kau mau tanda tanganku sekalian?" Celetuknya.
"Boleh saja," sahut Tadashi sambil tertawa.
Yoon mengambil ponselnya kembali dan memotret Tadashi, membuat ia terkejut. "Aku akan menunjukkan pada Sua saat pulang nanti. Aku akan menceritakan rivalnya ini masih menyebalkan, tidak berubah sama sekali."
Tadashi mendengus. Jelas masih teringat dengan gadis bernama Sua itu, yang selalu menanyakan pada Yoon siapa yang lebih ia pilih antara dirinya atau Tadashi. Dan entah bagaimana jadinya mereka jadi seperti rival. Padahal Tadashi pernah mengajarinya mengemudi.
"Kau masih ingat, Sua, kan?"
"Tentu saja."
"Kau tahu, beberapa waktu lalu Sua memberiku kabar sekarang ia sedang mengandung."
Tadashi melongo.
Yoon tersenyum. Tadashi dapat dengan jelas menangkap betapa tulusnya senyuman itu.
"Yah, aku masih sering merasa tidak menyangka. Akhirnya plot yang bahagia untuk Sua. Ngomong-ngomong jika kau lihat betapa bahagianya Sua saat memberitahuku saat itu, ah, kau pasti ikut menangis."
"Ya, aku juga tidak menyangkanya. Terlebih Yuta seumuranku juga, dia laki-laki yang hebat. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ia bisa bertahan dengan Sua yang super jutek itu."
"Hei," Yoon tertawa memeringatkan. "Seharusnya kau bisa datang saat pernikahan mereka. Kau akan lihat sendiri betapa cocoknya mereka."
Tadashi tersenyum, melihat kebahagiaan itu di wajah Yoon membuatnya merasa hangat.
"Yo, Tadashi?"
Sontak Yoon dan Tadashi menoleh ke arah suara. Tadashi mengerti Yoon sampai seterkejut itu dengan sapaan temannya yang satu ini. Suaranya mirip tokoh Snowball di film The Secret Life of Pets. Seperti gengster saja.
Eh, tunggu. Bagaimana bisa makhluk itu ada di sini sekarang?
"Wah, wah, Tadashi. Pemandangan paling langka di dunia. Rupanya kau normal juga. Syukurlah aku tidak perlu takut lagi padamu," Goto tertawa.
Yoon mengerjap bingung dengan tawa yang menggelegar itu.
***
Segalanya tak berjalan sesuai rencana Tadashi. Di awal, ia berencana akan mengajak Yoon berjalan-jalan di Times Square setelah makan steak. Lalu bersepeda di Brooklyn Bridge saat malamnya. Tetapi kini ia malah berakhir di Central Park karena Goto menyarankan mereka untuk ke sini. Yoon yang memang sejak awal sudah menuliskan Central Park dalam bucket listnya langsung antusias. Diluar dugaan juga ia dan Goto bisa langsung seakrab itu. Tentu ia senang melihat Yoon begitu bersemangat. Tapi entah bagaimana posisinya jadi berubah seolah menjadi pengasuh mereka berdua, dan hal itu membuatnya tidak senang. Meski tidak membencinya juga. Yah, dipikir berapa kali pun, Goto dan Yoon sama-sama memiliki sisi kekanakan yang membuat mereka tak bisa dilepas tanpa pengawasan.
Setelah puas berkeliling, akhirnya mereka memutuskan untuk beristirahat. Yoon terlihat menikmati sekali suasana itu. Ia duduk, mengatur napas dan memejamkan mata sambil tersenyum. Lalu menangkap sosok Tadashi begitu membuka mata.
"Tadashi, kemari, duduklah," ia melambaikan sebelah tangan.
Sementara itu Goto duduk di sisi lain dan sudah siaga mengeluarkan sebuah buku. Tadashi mengerti kebiasaan Goto yang satu itu. Ia juga tahu pasti alasan yang membuat Goto selalu datang ke Central Park. Tepatnya, seorang gadis berambut kecoklatan yang duduk di kursi seberang.
"Tadashi, Tadashi..." Seru Yoon tidak sabar. Ia membisikan sesuatu padanya begitu Tadashi duduk.
"Ada orang bodoh yang mengatakan New York adalah tempat yang salah untuk menenangkan diri," ia terkikik di akhir kalimat.
Tadashi bergeming sesaat. Lalu memutar posisi duduk dan balik berbisik pada Yoon. "Kalau begitu, semoga kau tenang, Nona Yoon."
"Ish," Yoon segera mendorongnya menjauh.
"Ngomong-ngomong kau akan mengajakku ke mana setelah ini?" Yoon tersenyum penuh harap.
Ditatap begitu membuat Tadashi jadi sedikit gugup. "Kenapa kau berpikir aku akan mengajakmu jalan-jalan?"
Yoon langsung cemberut. "Kalau begitu aku akan pergi dengan Goto saja."
Tadashi tertawa. Ia tahu tidak akan bisa. Karena jika sudah begini Goto akan sibuk dengan dunianya sendiri dan mengabaikan semua hal di dunia.
Yoon menoleh pada Goto dan memerhatikannya dengan seksama. Laki-laki itu kini sibuk membolak-balikan halaman buku tanpa benar-benar membacanya. Ssgera saja Yoon menyadari ke mana perhatian laki-laki itu tertuju. Pada seorang gadis di seberang yang kelihatannya juga sedang membaca buku. Rambutnya tergerai indah sekali. Ia memakai gaun bermotif bunga kekuningan. Juga syal cokelat dan sebuah tas tangan yang berwarna sama.
Awalnya Yoon tidak menyadari keberadaan tongkat di sisi gadis itu. Atau caranya yang berbeda dalam membaca buku. Juga kaos kaki yang dikenakannya berbeda warna. Yang ia pikirkan saat itu, gadis berambut cokelat itu terlihat indah sekali. Jika dalam n****+ atau film romantis, si laki-laki mungkin duduk memerhatikan sambil diam-diam menggambarnya. Tapi yang dilakukan Goto malah berpura-pura membaca buku. Sepertinya ia agak bodoh, ya.
"Kau menyadarinya?"
Yoon agak terkejut ketika tiba-tiba Tadashi berbisik di sisinya. Ia menoleh dan mengangguk ringan. "Goto itu bodoh sekali."
"Eh?" Tadashi menatapnya bingung. "Yang benar, apa yang kau pikirkan?"
Yoon berpikir sejenak. "Yah, jika itu kau mungkin kau akan menggambarnya diam-diam. Romantis sekali."
Alis Tadashi bertaut heran. "Apa, sih, yang sebenarnya kau pikirkan?"
Yoon menghela napas lelah. Seperti menanggung beban paling berat di dunia saja. "Laki-laki itu memang makhluk yang sangat tidak peka."
Tadashi makin heran.
"Kau tidak mengerti."
"Aku mengerti," sahut Yoon langsung.
Tadashi menatap Yoon lekat-lekat. Seolah gadis itu adalah alien atau sejenisnya.
"Goto menyukai gadis itu, kan? Terlihat jelas, kok."
Tadashi mengangguk lambat. "Kau tidak menemukan keanehan pada gadis itu?"
Yoon menggelengkan kepala dengan polosnya. "Dia gadis yang cantik... Eh?" Mendadak Yoon tersadar dan dengan gerakan tiba-tiba menoleh menatap Tadashi dengan mata membulat.
"Jangan-jangan kau dan Goto sama-sama menyukai gadis itu?"
"Apa-apaan pemikiranmu itu," Tadashi membelalak saking tidak percayanya. "Coba kau perhatikan dia lagi, dan setelah kau mengerti kau mungkin tidak akan pernah mengatakan Goto bodoh seumur hidupmu. Ya, walau pun ia memang bodoh bagiku."
Yoon mengernyit tidak mengerti. Tetapi ia patuh memerhatikan gadis itu lagi dan menyadarinya. Kemudian berbalik lagi menatap Tadashi dengan alis bertaut sedih.
"Aku mengerti."
Tadashi mengangguk. "Lalu bagaimana menurutmu? Kau akan sadar mencintai seseorang tak bisa diukur sebatas kelebihan fisik. Pada saat itu aku juga menyadarinya. Bahwa perasaan setulus itu memang ada."
Yoon memiringkan kepala ke satu sisi. "Kata-katamu dalam sekali meski aku tidak mengerti. Yang ingin kukatakan adalah gadis itu salah memakai kaos kaki."
"Astaga Yoon, sejak kapan kau jadi bodoh sekali," Tadashi jadi begitu gemas sampai ingin menerkam gadis itu.
Tadashi menghela napas dan menyerah. Menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Yoon berbalik dan memerhatikan gadis itu sungguh-sungguh. Menghubungkan ucapan Tadashi dan apa yang dilihatnya.
Oh. Benar. Begitu menyadarinya Yoon berbalik lagi. "Tadashi," ucapnya pelan. "Gadis itu buta?"