Butuh waktu empat puluh lima menit dari bandara internasional John F. Kennedy untuk sampai di Brooklyn Bridge. Hal pertama yang ia lakukan ketika menginjakkan kakinya di bandara adalah mengaktifkan ponsel dan memeriksa pesan. Berharap mendapat balasan pesan yang sudah ia harapkan selama berjam-jam dalam pesawat. Tak sedikit pun waktu terlewat tanpa memikirkannya. Namun ia harus menahan kecewa. Tak satu pun pesan balasan muncul.
Langit gelap saat ia meninggalkan bandara. Bahkan dalam perjalanannya menggunakan taksi, ia tak bisa mengalihkan pandangan dari layar ponsel sambil mati-matian menahan diri untuk tidak mengirim pesan setelah tiga pesan terbaru ia kirimkan beberapa menit setelah taksi melaju. Waktu berlalu tanpa ia sadari. Ia mendapati dirinya seperti orang linglung saat sampai di alamat yang ia tuju. Brooklyn Bridge, di sinilah ia sekarang.
Lee Yoon. Ia tahu pasti apa yang harus ia lakukan saat ini, hanya saja tak mendapat pesan balasan membuat ia merasa lumpuh dan ingin melompat saja dari atas jembatan. Ia menghentikan langkah mendadak. Kesal pada diri sendiri. Memasukkan ponsel ke tas tangan oranye yang menggantung di bahu dan menyandarkan koper pada kursi kayu di sana. Mendadak perasaan lelah dan berat menghujam dirinya seperti hujan badai. Ia lelah, lapar dan nyaris tak memiliki tenaga lagi untuk berjalan. Dan bodohnya ia memilih untuk berjalan kaki menuju Manhattan.
Setelah cukup lama berdiri diam, Yoon memutuskan untuk duduk. Ia tahu ia tidak akan sanggup meneruskan perjalanannya menuju Manhattan, ia bahkan belum ada separuh perjalanan!
Tiba-tiba ponselnya berdenting pelan. Yoon melonjak dan secepat kilat merogoh isi tas tangannya. Namun lagi-lagi, bukan pesan balasan yang ia harapkan.
"Kau di mana?" Ia bergumam membaca pesan singkat itu. Yoon menghela napas panjang. Mengangkat wajah dan memandang berkeliling. Meyakinkan diri sendiri bahwa saat ini ia berada di New York, di Brooklyn Bridge dalam perjalanan jalan kakinya yang menyenangkan menuju Manhattan.
Tak ada balasan lagi. Lantas ia menyeret tubuhnya bangkit, berjalan ke sisi lain jembatan. Memandang jauh ke Manhattan. Segalanya nampak indah dan menakjubkan. Sayangnya, tanpa pesan balasan yang ia harapkan setengah mati, semua itu nampak biasa, bahkan menyedihkan. Sekali lagi Yoon mendesah kecewa. Ia menunduk menatap sepasang boot tinggi hitam yang melapisi kakinya. Dibanding rasa lelah dan lapar yang ia rasakan. Rasa kecewa itu jauh lebih menyakitkan. Jauh lebih buruk.
Sakit sekali.
"Kenapa kau memilih berjalan kaki?" Ia bergumam pada udara kosong. Karena ia kira melihat langsung Manhattan ketika malam hari, adalah pemandangan terindah yang setidaknya bisa ia nikmati sekali seumur hidup.
Sekali lagi ia mengangkat wajah. Memandang deretan gedung pencakar langit yang menunjukkan sinarnya masing-masing. Detik itu ia berharap, sedikit saja, kilauan cahaya yang jauh di seberang West River bisa memberinya sedikit semangat, sedikit kekuatan. Ia akui ia bodoh memutuskan untuk melewati Brooklyn Bridge sendirian dengan berjalan kaki. Mengingat jaraknya seribu delapan ratus dua puluh lima meter dari Manhattan dan ia tak memiliki cukup tenaga untuk terus berjalan. Ia mengerang dan menjatuhkan pandangan. Andai saja, ia mendapat pesan balasan itu, tentu segalanya tidak akan menjadi semenyedihkan ini. Ia tidak tahu, apakah laki-laki yang berjarak ribuan mil dari sisinya saat ini memikirkan dirinya seperti ia memikirkan dia atau tidak.
Oh, Lee Yoon, kau begitu menyedihkan. Begitu sesuatu dalam dirinya merintih. Ya, ia memang menyedihkan. Seharusnya kini ia sudah berada di apartemennya di Manhattan, mungkin beristirahat di balik selimut tebal dan nyaman dengan perut kenyang. Apakah hanya karena pesan balasan ia menjadi semenyedihkan ini? Jawabannya adalah, ya! Sebegitu pentingkah pesan balasan itu untuknya? Tentu saja! Pesan balasan itu lebih penting dari apa pun di muka bumi, setidaknya untuk saat ini. Ia membutuhkan pesan balasan itu seperti ia membutuhkan udara untuk bernapas. Lihat, sebelah tangannya terangkat menekan d**a. Sekarang ia sadar ia agak kesulitan bernapas dan itu memuakkan sekali.
Merasa ada orang lain tak jauh dari tempat ia berdiri. Yoon berbalik dan mendapati seorang laki-laki bertubuh tinggi, berambut hitam dan bermata hijau di sana. Mata mereka bertemu. Dan meski laki-laki itu memandang dirinya tanpa ekspresi, Yoon mendapati dirinya begitu senang sampai tanpa sadar memanggil namanya dan berlari menghampiri laki-laki itu.
***
"Brooklyn Bridge," tanpa sadar Tadashi menggumamkan pesan balasan yang baru ia terima. Otaknya sibuk mencerna dua kata itu lalu tersadar dan bertanya-tanya apakah gadis itu sudah gila. Ia melakukan delapan jam perjalanan dengan pesawat dan kini berada di Brooklyn Bridge! Apa yang ia pikirkan?! Ia menjejalkan ponsel ke saku celana dan bergegas. Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit dari apartemennya untuk sampai di sana.
Ia tak menyia-nyiakan sedikit pun waktu untuk mencari gadis itu. Sepanjang jembatan ia berlari sambil terus memandang berkeliling. Dan betapa leganya ia ketika melihat gadis itu di sana. Ia tak pernah salah mengenali gadis itu. Rambut cokelatnya sedikit tersapu angin. Ia memakai dress hitam di atas lutut dan sepatu boot tinggi dengan warna senada. Ia berdiri di sisi jembatan. Menumpukkan wajah dengan satu tangan dan menunduk memandang ponsel. Lalu ketika gadis itu tiba-tiba menoleh dan tepat memandang matanya. Dalam sekejap dunia berubah gelap. Hanya ada Lee Yoon yang mampu ia lihat. Detik itu juga ia menyadari, betapa ia sangat merindukan gadis itu. Merindukan caranya tersenyum dan menatapnya persis seperti saat ini.
Gadis itu berlari, menyebut namanya. Tadashi cepat menyadarkan diri, tepat berjarak selangkah dari tempat ia berdiri, ia menahan gadis itu dengan sebelah tangan, tepat di kening Yoon membuat gadis itu sontak terhenti dan nyaris terhuyung ke belakang. Dengan gerakan yang sama cepatnya Tadashi menahan lengan Yoon, menyeimbangkan tubuh gadis itu agar tidak terjatuh.
Yoon mengerang kesal. "Hei, kenapa kau begitu? Apa sambutan seperti ini yang harus kudapatkan? Maksudku, aku jauh-jauh datang ke New York hanya untuk di dorong tepat di kening?" Ia mendecak kesal. Mengusap-usap keningnya dengan sebelah tangan dengan wajah cemberut. "Memalukan tahu," gumamnya jauh lebih pelan sambil memandang sekeliling.
"Apa kau sudah gila? Apa yang kau lakukan di sini?" Ia menghela napas panjang. Serupa kau ketika kesal terhadap sesuatu. Meski sebenarnya ya, ia memang kesal karena gadis itu memberi tahu dirinya akan ke New York hanya beberapa menit sebelum pesawat lepas landas. Tetapi perasaan cemas lebih jauh menguasai dirinya. Yoon tidak memberitahukan tujuan ia datang kemari. Dan hal itu semakin membuatnya frustasi. Selama delapan jam terakhir, ia tak bisa melakukan hal apa pun selain menunggu kabar dari gadis itu. Ia benar-benar cemas, bagaimana bisa gadis itu datang sendirian. Ini kota besar, dia bisa tersesat atau apa, sesuatu yang buruk bisa saja terjadi.
"Hei, aku sudah dewasa."
Ucapan gadis itu membuat Tadashi tersentak. Sekali lagi ia memandang Yoon dan menyadari banyak perubahan dalam sosok yang sudah dikenalnya sejak lebih dari delapan tahun lalu. Mungkin jika ia tipe orang yang memerhatikan penampilan, ia akan langsung menyadari penampilan gadis itu telah berubah, kini ia lebih mirip perempuan. Pipi chubbynya kini bahkan hilang, ia jauh lebih tirus. Sedikit lebih tinggi dengan bantuan boot berhak dan lebih kurus dari yang ia ingat. Namun cara gadis itu tersenyum dan memandangnya tak berubah. Selalu dengan cara yang sama yang membuat hatinya terasa hangat.
Hei, gadis itu tengah tersenyum padanya. Tadashi mengingatkan diri sendiri. Ia mengerjap dan mengalihkan pandangan pada koper yang tersandar di kursi. "Kau tahu, hanya gadis gila yang berjalan-jalan malam hari di Brooklyn Bridge sambil membawa koper."
Yoon mengibaskan sebelah tangan. "Ingat, aku sudah dewasa," ia menunjuk-nunjuk dirinya, berusaha mendapat perhatian atas pernyataannya yang diabaikan.
Tadashi tak peduli. Apa pun alasannya ia tetap mengkhawatirkan gadis itu. "Jadi, ke mana kau akan pergi sekarang? Ini sudah malam jadi aku akan mengantarmu."
"Oh ya, Tadashi, aku sangat lapar," ia memegangi perut dengan tatapan menyedihkan.
"Kenapa kau tidak menjawabku?" Ia berseru kesal. Meski tak pernah benar-benar bisa kesal pada gadis itu. "Kau juga belum membalas pesanku. Untuk apa kau datang ke sini?"
Yoon mengedikkan bahu seolah pertanyaan itu bukan sesuatu yang penting. "Liburan," sahutnya tak yakin.
"Lalu apa yang kau lakukan malam-malam di sini?"
Yoon mendesah putus asa. "Bukankah semua orang mengatakan bahwa pemandangan Manhattan pada malam hari jika dilihat dari Brooklyn Bridge sangat indah?"
Tadashi memandang gadis itu dengan tatapan tak percaya, membuat Yoon menghindari tatapannya. "Haruskah setelah perjalanan delapan jam dalam pesawat? Apa kau tidak lelah? Kau bisa datang lagi besok," mendadak Tadashi menyadari sesuatu dalam kalimatnya. Sebelum Yoon menjawab ia cepat-cepat menyela, mengajak gadis itu pergi secepatnya. Ada hal yang lebih buruk dari kedatangan gadis itu yang tiba-tiba, yaitu kepergiannya. Dan karena ia sudah melihatnya saat ini, ia tak ingin memikirkan hal itu. Yang ia tahu, ia hanya ingin bersama Lee Yoon lebih lama.
Yoon dengan patuh mengikuti langkahnya. Ia tepat berjalan di sisi Tadashi. "Saat sampai di sini aku baru sadar bahwa aku sangat lelah dan kelaparan," ia menunduk memandang boot tinggi hitamnya, saat itu Tadashi tahu ada sesuatu yang sedang ia pikirkan.
"Apa kau punya makanan untukku?" Yoon mengangkat wajah memandang Tadashi. "Ngomong-ngomong sepertinya kau tambah tinggi ya," ia menambakan sebelum Tadashi sempat menyahut.
"Jangan macam-macam, aku tidak akan membiarkanmu menginap di apartemenku."
Yoon mengerang kecewa. "Kenapa tepat sekali!" Rengeknya. "Aku sangat lelah dan tidak memiliki tenaga lagi untuk berjalan. Malam ini saja... Kau tidak akan tega membiarkanku tidur di jalanan bukan?"
Alis Tadashi bertaut heran. "Kau sungguh-sungguh tak memiliki tujuan?"
Gadis itu mengangguk dengan sekuat tenaga.
"Jika kau tanya aku, sejujurnya," ia mengedikkan bahu. "Aku biasa saja jika melihatmu tidur di jalanan."
Yoon memekik kesal. Dan sepanjang sisa perjalanan menuju mobil di tempat parkir, Yoon tak hentinya bicara bahwa ia hanya ingin ke apartemen Tadashi. Membuat janji macam-macam tanpa ia minta, seperti berjanji akan menjadi anak baik dan penurut, tidak akan menyentuh apa pun dan tidak akan menanyakan perihal pacar padanya. Ketika mobil itu memasuki area basement, Yoon memekik senang dan bicara dua kali lebih keras dan lebih banyak dari sebelumnya. Tadashi sendiri tak bisa menahan perasaan menggelitik di hatinya mengingat hanya beberapa menit sebelum ini gadis itu mengeluh lelah dan tidak memiliki tenaga apa pun.
Memasuki apartemen yang sudah ia tinggali selama nyaris dua tahun terakhir. Melupakan seluruh janji-janji yang ia buat sendiri. Yoon menyentuh seluruh benda yang nyaris ia temui. Hiasan bunga kaca di meja, benda-benda di rak, gitar, piano di sudut ruangan dan memeriksa meja kerjanya yang berantakan. Terakhir ia memandang dapur dengan tatapan ingin, lalu berpaling memandang Tadashi yang langsung berpura-pura tidak melihatnya.
Tadashi menyeret koper Yoon dan meletakkannya di sisi meja. Gadis itu menunggu. Terlihat tidak sabar.
"Apa kau akan memasak sesuatu untukku?"
"Tidak," sahutnya langsung, membuat gadis itu mengeluh kecewa. Tetapi kemudian ia tersenyum. "Kurasa aku masih memiliki sesuatu," ia berjalan menuju dapur dan Yoon bergegas mengikutinya seperti anjing kecil. Ketika mengetahui gadis itu akan datang ke New York, mendadak otaknya penuh dengan berbagai hal. Dan salah satunya, pasti gadis itu merindukan masakannya. Ia menghangatkan beberapa hidangan yang telah ia buat sejam lalu. Sementara Yoon menunggunya di balik konter. Memerhatikan semua gerakan Tadashi tanpa terlewat sedikit pun.
"Apa ini steak? Kau memasak steak untukku?" Yoon berseru penuh semangat.
Tadashi tak menyahut, tetap berlagak fokus pada pekerjaannya, menyembunyikan perasaan senang yang meledak-ledak dalam dirinya.
"Rasanya seperti kembali ke masa lalu," Yoon bergumam pelan.
Mungkin Yoon tidak menyadari bahwa apa yang barusan ia katakan membuat Tadashi sempat bergeming. Dan ia juga tak ingin membuat gadis itu menyadari apa pun. Secepat mungkin ia bersikap seolah tak ada yang terjadi, tak ada yang ia rasakan. Begitu selesai, ia memberikan steak itu pada Yoon yang langsung berseru senang. Kemudian kembali berbalik untuk membuat white tea dan mengambil air mineral dalam kulkas.
"Cuci piringnya setelah selesai. Besok aku akan berangkat pagi-pagi sekali. Pastikan kau sudah pergi saat aku pulang, aku akan pulang lebih awal besok," Tadashi melepas apron dan mencuci tangannya di wastafel. Memandang Yoon sesaat yang nampak acuh -terlalu senang dengan steaknya- untuk terakhir kalinya malam itu. Berharap sungguh-sungguh dalam hati bahwa dapat melihat gadis itu di sini, berada di sisinya dan memakan masakannya seperti dulu bukanlah mimpi.
Ketika sebelah tangannya memegang pegangan pintu, ia berhenti. "Dan pastikan katakan padaku ke mana kau akan pergi."
Terdengar sahutan yang tak dapat ia pahami. Ia bergeming sesaat, menahan diri untuk berbalik lalu melangkah masuk.