Sepuluh

1310 Kata
“Neng Milena,” panggil Pak Maman saat aku melewati pintu gerbang. Kuhentikan motor dan menunggu beliau yang berlari ke arahku. “Tadi ada paket buat Eneng,” katanya sambil menyerahkan sebuah bungkusan padaku. “Dari siapa, Pak?” Aku menerima bungkusan yang tidak terlalu besar itu, membolak-baliknya untuk melihat siapa si pengirim paket tersebut. “Enggak ada nama pengirimnya, Neng.” Memang aku tidak menemukan nama si pengirim di sana. Aku menimang-nimang paket itu, dari bentuknya aku menduga isinya buku. “Ya, udah deh. Makasih ya, Pak Maman.” “Siap, Neng. Sama-sama.” Pak Maman tersenyum, kemudian kembali ke pos satpamnya. Kumasukkan paket itu ke tas dan kembali melajukan motor. Begitu sampai di paviliun, aku memuaskan rasa penasaranku, membuka bungkusan paket dengan hati-hati. Benar saja dugaanku, isinya sebuah buku. Akan tetapi yang membuatku gembira, buku itu adalah n****+ yang selama ini kuidam-idamkan. The Silent Patient karya Alex Michaelides! Aku melonjak-lonjak kegirangan saking senangnya. Tetapi begitu euforia kegembiraanku berkurang, rasa penasaran yang lain menggodaku. Siapa yang sudah mengirimkan buku ini buatku? Lalu mataku tertumbuk pada selembar kertas tebal yang tergeletak di lantai, sepertinya terjatuh saat aku membuka paket. Kupungut kertas itu dan membaca kalimat yang tertulis di sana: Semoga kamu suka dengan hadiah yang kuberikan. Tidak ada tanda tangan pengirim, aku juga tidak mengenali tulisan tangan tersebut, jadi pasti bukan dari orang yang kukenal. Selama beberapa saat aku termenung memikirkan teori tersebut, sebuah pemikiran lain terlintas di benakku. Tapi bisa saja dia meminta tolong orang lain yang menulis, bukan? Misalnya penjaga toko atau temannya? Menyadari hal itu aku mengangguk-angguk sendiri, kuambil ponselku dari dalam saku celana dan mengetikkan pesan untuk Kia. Milena : Ki, lo yang kirim paket ke gue? Kia : Paket apa? Milena : Buku. Novelnya Alex Michaelides, The Silent Patient. Kia : Enggak tuh. Ada yang kirim n****+ itu buat elo? Siapa? Milena : *emotikon mengeluarkan napas dari hidung* Ya ampuun, kalau gue tahu juga enggak bakal nanya elo. Kia : Hehe … maaaap. Tadi rada lola. Jadi ada yang kasih lo n****+ itu lewat paket? Milena : Iyaa. Serius bukan elo nih? Kia : Pinginnya sih gue bilang ‘iya gue’, tapi entar dimintain bukti wkwkwk. Milena : *stiker melempar sandal* Menurut lo kira-kira siapa ya? Kia : Lo ingat-ingat deh, yang tahu lo pingin beli buku itu selain gue siapa lagi. Aku mengikuti saran Kia. Namun sekeras apa pun aku mencoba, aku tidak bisa mengingat orang lain yang kuberi tahu tentang hal itu selain dia. Aku tidak memiliki banyak teman, dan hanya pada Kia berani berbicara terus terang. Suara getaran dan layar yang menyala menarik perhatianku pada ponsel. Ada pesan masuk dari Kia yang langsung k****a. Kia : Sorry, gue lupa. Gue baru ingat kemarin-kemarin gue pernah cerita ke kakak gue kalau lo lagi pingin n****+ itu. *emotikon menyeringai* Desiran halus hadir di dalam dadaku. Perlahan tapi pasti, detak jantungku bertambah cepat. Aku tidak membalas pesan Kia, pikiranku disibukkan dengan pertanyaan yang membuat pipiku memanas. Apa mungkin Kak Arka yang mengirim paket itu? Kupandangi buku yang ada di tanganku, lalu menarik napas panjang, menyelipkan kartu ucapan yang tadi kutemukan ke dalamnya. Setengah melamun aku mengumpulkan sobekan kertas dan plastik pembungkus jadi satu dan membuangnya ke tempat sampah, kemudian langsung menuju kamar. Kak Arka…. Aku mengambil boneka kelinci yang dibuatkan Kak Arka dari meja belajar dan duduk di kursi, tersenyum sendiri saat mengelus palang merah di bajunya. Rasanya baru kemarin momen itu terjadi. Aku ingat betapa bahagianya aku waktu itu, juga terharu dengan pembelaan Kak Arka ketika Kak Lila mengejekku. Sekarang ini Kak Arka sedang disibukkan dengan skripsi, sebentar lagi dia lulus lalu menjalani Program Profesi Dokter, entah di mana. Persentase aku bisa melihat cowok berlesung pipi itu akan berkurang. Astaga … belum terjadi saja aku sudah merindukannya. Memikirkan hal tersebut membuatku tersenyum-senyum sendiri. “Moana!” Hampir saja aku terjengkang dari kursi karena terkejut. Kemunculan Tyaga di depan jendela yang tiba-tiba membuat jantungku seakan melompat keluar. “Bisa enggak sih Bang Tyaga enggak ngagetin aku!” seruku kesal. “Aku udah dua kali manggil kamu lho, kamunya aja yang melamun,” kilahnya dengan cengiran lebar di wajahnya. “Karena namaku bukan Moana!” ketusku melirik Kak Tyaga sebal. Tyaga masih mengenakan setelan jas Armani-nya, dia pasti baru pulang kerja dan belum sempat ke rumah. “Bang Tyaga ngapain ke sini masih pakai jas?” “Aku baru pulang, belum sempat ke rumah. Ada yang mau kubicarakan sama kamu,” katanya melirik boneka kelinci di tanganku. Aku buru-buru meletakkan lagi si kelinci ke tempatnya. “Apa itu?” tanyaku tidak terlalu antusias. Aku masih sempat menangkap arah pandangannya yang tertuju pada n****+ The Silent Patient di atas meja sebelum dia kembali menatapku. “Teman Mama yang desainer gaun pengantin lagi ada di Jakarta, Mama minta aku mengajakmu bertemu dia, siapa tahu kamu cocok dengan rancangannya.” Aku tidak ingin menolak permintaan Tante Irene, jadi aku mengangguk saja menyetujui rencana tersebut. “Kapan?” tanyaku. “Aku sudah membuat janji makan malam dengannya malam ini. Habis makan malam kita langsung ke butiknya karena besok pagi dia pulang ke Jepang.” Aku mengangguk lagi. “Kalau cuma mau bilang ini kan sebenarnya Bang Tyaga bisa telepon aja, enggak usah harus ke sini.” “Sekalian mau kasih kamu ini.” Tyaga mengangkat salah satu tangannya, meletakkan dua paper bag dengan logo brand terkenal ke atas meja melewati jendela. “Memastikan nanti malam kamu enggak akan pakai kaus oblong dan celana jin,” lanjutnya santai. Lalu tanpa memberi kesempatan aku untuk membantah, dia langsung mengeloyor meninggalkanku. Aku memandangi kedua paper bag itu dengan perasaan kesal. Salah satu sikap Tyaga yang tidak kusuka, dia bisa berbuat seenaknya tanpa memikirkan perasaan orang lain. Membelikanku barang-barang tapa izin itu salah satunya. Aku tidak suka dia membelikanku barang-barang, terutama yang mahal-mahal seperti ini. Aku tidak mau mempunyai perasaan berhutang budi padanya. “Wah, wah … anak Bunda lagi mikir apa nih?” Aku menoleh, melihat Bunda berdiri di depan kamarku yang pintunya terbuka. “Bunda udah pulang?” tanyaku bergegas menghampirinya, mencium pipi dan memeluknya dari samping. “Baru saja,” senyum Bunda sambil mengelus rambutku. Lalu pandangan matanya tertuju ke arah meja. “Itu apa?” Aku melepas pelukanku, berjalan ke meja dan mengintip isi kedua paper bag secara bergantian. “Dari Bang Tyaga, Bun. Kayaknya baju soalnya nanti malam Bang Tyaga sama Milena ada janji makan malam sama temannya Tante Irene.” “Oh, itu. Bu Irene sudah bilang sama Bunda soal itu tadi. Jam berapa kalian pergi?” Saat itulah aku sadar aku belum menanyakan ketepatan waktunya pada Tyaga. “Milena lupa tanya, nanti deh Milena WA Bang Tyaga,” jawabku enteng. Bunda hanya tersenyum sambil mengangguk. “Sudah lihat isinya?” tanya Bunda menunjuk paper bag. Aku menggeleng. “Mau Milena kembalikan saja, Bun.” “Lho, kenapa?” “Milena enggak mau punya utang budi sama Bang Tyaga.” Bunda menghela napas. Dia berjalan ke tempat tidurku dan duduk di tepiannya, lalu menepuk tempat di sebelahnya memintaku duduk di dekatnya. Aku menghampiri Bunda, duduk di sampingnya dan menyandarkan kepalaku di bahu wanita yang sudah tidak muda lagi ini. Bunda mengelus-elus rambutku sayang. “Jangan dikembalikan, kasihan Bang Tyaga,” katanya. “Coba bayangkan, dia menyempatkan waktu pergi ke butik dan beli itu buat kamu, tapi terus kamu kembalikan.” “Bisa saja dia nyuruh pegawainya, Bun,” bantahku. Bunda tersenyum lebar. “Iyaa, tapi bagaimanapun cara Bang Tyaga beli gaun itu, enggak ada salahnya kalau kita menghargai apa yang sudah ia lakukan, kan? Apalagi dia itu calon suamimu, enggak baik menolak pemberian calon suami, bisa membuat kesalahpahaman.” Aku mengangguk, diam-diam merasa bersalah pada Bunda. Andai Bunda tahu aku dan Bang Tyaga hanya akan menikah kontrak, dia pasti sedih. Aku hanya berharap, jika suatu saat aku berani berterus terang tentang hal ini pada Bunda, Bunda akan memahami alasanku tidak ingin selamanya menjadi istri Tyaga. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN