Dua

1406 Kata
Tyaga itu kenangan buruk, aku membencinya sedalam yang aku bisa. Ingatan pertamaku tentang dia adalah, bahwa dia seorang remaja badung, pembuat onar, bertingkah kasar dan menyebalkan. Kenangan terburuk dalam hidupku terjadi ketika usiaku tujuh tahun. Saat menyaksikan dia mengamuk dengan sangat hebat. Aku baru pulang sekolah ketika melihat Tyaga sedang mangayun-ngayunkan tongkat golf ke segala arah. Pot-pot berisi bunga-bunga cantik koleksi Tante Irene hancur berantakan. Semak-semak hias yang ditata sedemikian rupa sudah tidak berbentuk lagi. Tunas-tunas bunga yang baru tumbuh pun terkena sasaran, diinjak-injaknya hingga rata dengan tanah. Tidak ada yang berani mendekat, bahkan menampakkan batang hidungnya di depan Tyaga mereka juga tidak berani. Malangnya aku yang masih terlalu kecil tidak menyadari bahaya tersebut. Dengan mengendap-ngendap dan berharap Tyaga tidak melihatku, aku berjalan melewatinya, menuju paviliun. Dan kecelakaan itu pun terjadi, tongkat Tyaga yang terayun membabi buta mengenai kaki kiriku dengan kencang. Rasanya sakit dan ngilu sekali. Aku bahkan masih ingat rasa panas yang menjalar pada tulang kakiku. Seberapa keras aku menjerit, aku tidak mengingatnya. Namun ketika membuka mata, aku sudah berada di rumah sakit. Tulang kakiku retak, membutuhkan waktu lama untuk bisa pulih kembali, itu pun tidak sepenuhnya normal hingga membuatku pincang. Dan saat kembali ke sekolah, aku harus menghadapi perundungan dari teman-temanku. Sejak itu aku lebih suka sendiri, aku lebih suka menghabiskan waktu di kamar, dan itu membuatku tidak memiliki teman. See? That’s why I hate him. Karena dialah aku kehilangan sembilan puluh persen masa kecilku. “Kalau kamu mau jadi istriku, kamu bisa mewujudkan impianmu sekolah kedokteran. Aku yang tanggung biayanya.” Kalimat yang diucapkan Tyaga terdengar seperti kaset rusak yang diputar di otakku, terus berulang. Menjadi dokter itu impianku sejak kecil. Bagiku dokter adalah profesi yang mengagumkan, dengan jas putih panjang dan stetoskop yang tergantung di lehernya. Mereka menyembuhkan banyak orang, membantu dan memberi dukungan pada orang-orang yang kehilangan harapan karena sakit yang diderita. Aku ingat, pasca operasi, Bunda membawaku ke rumah sakit seminggu sekali untuk terapi. Di masa-masa itu aku sering melihat dan berinteraksi dengan dokter, mungkin karena itulah sosok dokter sangat melekat dalam kepalaku. Kalau bukan karena dokter-dokter yang mengoperasiku, mungkin aku tidak hanya pincang, tapi lumpuh selamanya. “Sudah dapat wangsit?” Aku yang sedang berbaring di ranjang langsung tersentak bangun. Dengkusan sebal keluar dari hidungku begitu melihat Tyaga berdiri di luar jendela kamar yang terbuka, kedua tangannya terlipat rapi dan diletakkan di atas ambang bawah kosen jendela. “Wangsit apa?” tanyaku tak ramah. “Kamu lagi cari wangsit, kan? Minta petunjuk mau terima tawaranku enggak?” Cengiran lebar terpasang di wajah Tyaga. “Idih!” sahutku malas. “Sudah, enggak usah banyak mikir. Kalau kamu memutuskan sekarang, kamu masih bisa ikut ujian masuk lewat jalur mandiri.” Tyaga memang paling bisa memengaruhi orang, mendengar ucapannya barusan, mau tidak mau aku memikirkan kebenaran kata-katanya. Jika aku ingin mewujudkan mimpiku sekarang, aku harus segera memutuskan. Bibir Tyaga membentuk senyum kemenangan, mungkin karena membaca kebimbangan yang terpancar pada wajahku. “Kalau sudah dapat wangsit cepat kabari aku ya,” katanya tengil, seolah-olah sudah tahu jawaban apa yang akan kuberikan. Lalu dia beranjak pergi meninggalkanku. ****** “Sudah terima saja, kapan lagi lo dapat kesempatan emas kayak gitu.” Kia sahabatku mulai mengompori. Bibirnya agak mengerucut ketika menyedot jus mangga yang tinggal separuh. “Ngomong sih enak,” dengkusku. Berbeda dengan milik Kia, gelas minumanku masih terisi penuh. “Serius, Mil. Kalo gue jadi lo, enggak pakai mikir langsung gue terima lamaran Kak Tyaga. Dia itu ganteng banget, ya ampuun....” “Dia itu om-om,” sahutku lempeng. “Bagus malah, sudah matang. Jadi berasa punya sugar daddy.” Kia terkikik geli. Aku memandang Kia mual, bisa-bisanya dia berpikir seperti itu. “Tapi ingat, Ki. Tyaga itu orang yang sudah bikin gue pincang,” ucapku getir. Karena keadaan kakiku inilah aku harus hidup dengan perasaan minder seumur hidupku. Sebagai bentuk simpatinya, Kia menghela napas panjang. “Gue ikut nyesel ... tapi nyimpan dendam lama-lama kan enggak baik,” dia berkata sok bijak. “Lagian siapa tahu Kak Tyaga memang pingin menebus rasa bersalahnya dengan menikahi lo.” “Apaan, dia cuma butuh ibu buat anaknya kok,” aku bersungut. “Tapi coba lo pikir deh, Mil.” Kia berkata sambil mencondongkan tubuhnya ke arahku hingga melewati batas meja. “Kak Tyaga itu kan ganteng maksimal ya, dia juga tajir melintir, kalau niat cari istri mah pasti puluhan cewek bakal ngantri. Kenapa dia milih lo coba?” “Maksud lo apa tuh?” ketusku. Kia menarik lagi tubuhnya. “Maksud gue, kalau bukan karena dia mau lo yang jadi istri dia, buat apa dia milih lo sementara puluhan cewek yang lebih dari lo bisa dia dapat dengan mudah,” ujarnya sadis dengan cengiran lebar yang tanpa merasa berdosa terpasang di wajahnya. “Kalo dia selaku itu, dia enggak bakal ditinggal sama Estella kali.” “Nah, harusnya lo bisa mencontoh tindakan Estella,” celetuk Kia yang menurutku sama sekali tidak nyambung dengan percakapan kami. “Gue enggak ngerti.” “Dia kan bisa ninggalin Kak Tyaga dan bayinya demi mengejar impian dia buat sekolah fashion, lo juga harus melupakan perasaan benci lo sama Tyaga demi bisa sekolah kedokteran.” “Idih, gue enggak bakal ninggalin anak gue demi impian pribadi gue lah,” sahutku sengit. Kia terkekeh. “Ya ampuun, Mil … yang gue minta lo contoh itu tekadnya Estella, bukan kepribadian dia.” Aku menggeleng. “Tetap saja Estella enggak pantas jadi panutan.” “Plis deh, hanya karena dia berbuat jahat, belum tentu dia jahat seluruhnya. Selalu ada hal baik yang bisa kita ambil sebagai contoh pada diri orang yang melakukan kesalahan sekalipun.” Aku bertepuk tangan lengkap dengan ekspresi kagum yang kutunjukkan. “Wah, wah, wah … gue enggak nyangka lo sebijak ini, Ki,” ujarku sarkastis. Dan Kia yang sangat mengenalku hanya mengerucutkan bibirnya sebal. ****** “Baru pulang, Mil?” Aku menoleh pada Bunda yang duduk di ruang tamu, segera menghampiri dan duduk di sampingnya. “Iya, Bun. Tadi ngobrol sama Kia sampai lupa waktu. Maaf ya, Bun?” ucapku menyesal. “Iyaa, Bunda paham kok. Anak gadis kalau sudah ngobrolin cowok pasti lupa waktu.” Senyuman Bunda terlihat menggodaku. “Ih, Bunda. Siapa lagi yang ngobrolin cowok.” “Oh, bukan ya?” “Bukanlah,” sahutku cepat. “Tapi kok wajah kamu merah,” ledek Bunda lagi yang membuatku tersipu. “Bukan ngobrolin cowok sih, Bun. Cuma ngobrolin Bang Tyaga,” kataku akhirnya menyerah. “Lho, bukannya Bang Tyaga itu cowok ya?” Bunda memasang ekspresi pura-pura bingung. “Bukaan, Bundaa … Bang Tyaga itu bukan cowok, dia om om,” bisikku menahan geli. Kami berdua tertawa bersama. “Kamu itu ada-ada saja,” kata Bunda sambil mengacak-acak rambutku. Aku meletakkan kepalaku ke atas pangkuan Bunda, hal favorit yang paling aku sukai. Jika sudah seperti ini, Bunda akan membelai-belai rambutku dengan sayang. “Bunda sedang memikirkan sesuatu,” katanya lembut. “Apa itu, Bun?” “Bunda berencana menjual rumah dan tanah yang di kampung, biar kamu bisa mengejar impian kamu jadi dokter.” Spontan kepalaku terangkat, dudukku kembali tegak. Kupandangi wajah Bunda, keriput di bawah matanya terlihat lebih banyak dari terakhir kali kulihat, juga yang di sudut bibirnya. “Jangan, Bun. Milena enggak mau Bunda jual itu,” ujarku sambil menggeleng. Tanah dan rumah yang dibeli Bunda dari hasil mengumpulkan uang selama bekerja di sini dipersiapkan untuk masa tua Bunda, aku tidak mau bersikap egois dengan mengizinkan Bunda menjualnya demi membiayai kuliahku. Bunda balas menggeleng, senyum lembutnya terulas sempurna saat dia berkata, “Bunda tahu apa yang kamu pikirkan, Mil. enggak apa-apa, masa depan kamu lebih penting.” Aku termenung, otakku berpikir keras, aku tahu Bunda tidak akan bisa dibantah. Tapi aku juga tidak bisa membiarkan Bunda menjual semua miliknya demi aku. “Bunda enggak usah khawatir, Milena tetap bisa sekolah kedokteran tanpa Bunda harus menjual tanah dan rumah yang di kampung,” kataku lembut, kuremas tangan Bunda dengan sayang. Tekadku sudah kuat sekarang. “Kamu mau kerja sambil kuliah? Kalau kamu ambil jurusan lain mungkin bisa, Mil, tapi kedokteran?” Aku menggeleng. “Milena akan menikah dengan Bang Tyaga.” Reaksi Bunda sudah bisa kutebak. Kedua bola matanya membulat sempurna seakan-akan siap melompat keluar. “Bunda, kagetnya jangan lebay gitu dong.” Ekspresi wajah Bunda berubah kesal sekaligus geli. “Jangan ngaco, ah! Mana mungkin kamu menikah sama Bang Tyaga,” katanya membuatku cemberut. “Milena serius, Bun.” Aku mencoba meyakinkannya, tapi sepertinya percuma karena Bunda tetap terlihat tidak percaya. -tbc-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN