Empat

1272 Kata
Beberapa saat berada di atas motor setelah meninggalkan rumah singgah tadi, keinginanku untuk pulang menguap. Aku malah pergi ke perpustakaan, salah satu tempat yang rutin kukunjungi hampir setiap hari. Selama berjam-jam aku duduk di tempat favoritku, sofa pendek yang diletakkan di dekat jendela berkaca lebar. Dari sini aku bisa membaca sambil sesekali mengamati jalan, memperhatikan lalu lalang orang-orang dan kendaraan. Lewat pukul dua siang, aku memutuskan meminjam buku yang belum selesai k****a, dan melanjutkan acaraku dengan berjalan-jalan ke mal. Dulu aku merasa tidak nyaman jika pergi ke mal sendirian, cara jalanku yang aneh kadang menjadi pusat perhatian orang, dan itu membuatku risih. Namun makin ke sini, aku makin cuek dan justru lebih suka keluar sendiri daripada bersama teman-temanku, kecuali jika itu hanya Kia. Puas berkeliling, aku masuk ke toko buku. Ada satu yang jadi incaranku tapi belum terbeli, aku hanya ingin melihat apa benda itu masih ada di raknya? Rasanya lega sekali ketika menemukan The Silent Patient karya Alex Michaelides masih terpajang di sana, berharap bulan depan bisa membawanya pulang. Beginilah nasib remaja yang baru lulus sekolah, harga buku yang kurang dari seratus ribu pun tidak terjangkau. Aku harus cukup puas hanya dengan memegang-megang dan kemudian mengembalikannya lagi ke rak sambil mendesah. Satu jam ke depan aku masih sibuk melihat-lihat dan membaca sinopsis di belakang buku yang menurutku menarik, setelahnya aku dalam perjalanan pulang. Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 16.05 ketika aku sampai depan pintu gerbang, aku melongok-longok ke arah pos satpam tanpa turun dari kendaraanku. “Pak Maman, tolong buka gerbangnya dong,” teriakku, kaki kananku yang normal kugunakan untuk menahan laju motor. Pak Maman yang bisa melihatku dari pos satpam mengacungkan jempol, dan dalam hitungan detik gerbang di depanku pun terbuka. “Terima kasih, Pak Maman,” ucapku sambil melajukan kembali motorku. “Sama-sama, Neng Milena,” jawab Pak Maman sambil membungkuk sopan. Saat mendekati paviliun, aku mengerutkan kening ketika melihat Bunda berjalan mondar-mandir di teras depan. “Ada apa, Bun?” tanyaku, menghentikan motor tepat di dekat beliau dan mematikan mesin, lalu melepas helmku. “Dari mana saja kamu, Milena? Bunda telepon hape-mu enggak aktif,” Bunda balik bertanya. Aku agak khawatir karena melihat ekspresinya yang cemas. “Maaf, Bun, hape Milena mati. Milena dari rumah singgahnya Kak Arka.” “Selama ini?” “Terus ke perpus sama ke mal,” jawabku cengengesan. Bunda mendesah. “Kok Bunda telepon Kia katanya kamu enggak sama dia?” “Milena pergi sendiri, Bun. Memangnya ada apa?” “Duduk dulu sini, Bunda mau bicara,” kata Bunda mendahului duduk di kursi teras. Aku menurut, ikut duduk di kursi satunya. “Kamu kenapa enggak cerita masalah sepenting ini sih, Mil?” Seketika aku teringat ucapan Tyaga tadi pagi. “Ini soal Bang Tyaga?” tanyaku hati-hati. Bunda mengangguk. “Bunda kaget sekali waktu tiba-tiba Bu Irene meminta Bunda untuk mengizinkan kamu menikah dengan Bang Tyaga. Beliau datang ke sini sama Pak William, baru saja pulang.” “Om William ikut ke sini?” “Kata mereka Bang Tyaga sudah bilang ke kamu, benar begitu?” Aku meringis. “Milena kira Bang Tyaga cuma bercanda, Bu,” ucapku memasang wajah menyesal. Bunda mendesah. “Bunda enggak bisa menolak lamaran mereka, Milena. Mereka sudah baik sekali sama kita.” “Tapi kata Bunda, Milena harus menyelesaikan sekolah dulu sebelum memikirkan menikah, cari pengalaman seluas-luasnya mumpung masih muda,” kataku mulai cemas, berharap Bunda mengurungkan niatnya jika kuingatkan kalimat yang sudah beliau ucapkan. “Itu karena Bunda belum tahu persoalannya. Sekarang coba renungkan, apa kita tega menolak permintaan orang yang sudah begitu baik pada kita, sementara orang itu sangat membutuhkan pertolongan kita?” Aku menunduk. Meskipun dalam hati membenarkan apa yang baru saja terucap dari bibir Bunda, aku tetap menyesalkan kejadian ini. Kenapa di saat aku mulai merasa Kak Arka tertarik padaku, Tyaga malah memasuki kehidupanku dengan membawa masalahnya? “Milena….” Mendengar panggilan lembut Bunda, aku mendongak, menemukan matanya yang menatapku penuh kasih sayang. Namun aku menangkap kesedihan di sana. “Bunda minta maaf ya, Nak,” ucapnya sendu. “Bunda tahu ini berat buat kamu.” Saat Bunda mengatakan itu, aku sempat menangkap sorot matanya yang tertuju pada kakiku. Aku tidak pernah menampakkan kebencianku pada Tyaga di depan siapa pun, termasuk di hadapan Bunda. Namun mendengar nada suara dan melihat sikap Bunda barusan, aku merasa beliau tahu perasaanku yang sebenarnya. “Bang Tyaga sudah banyak berubah, dia bukan orang yang sama lagi dengan Tyaga yang dulu,” kata Bunda. “Bunda percaya Bang Tyaga bisa menjaga kamu, Mil.” Betapapun kacaunya hatiku saat ini, aku percaya pada Bunda. Dengan senyum yang kupaksakan semanis mungkin, aku mengangguk. “Apa pun yang menurut Bunda baik, Milena nurut, Bun,” ucapku halus. Bunda meraih tanganku ke dalam genggamannya. “Omong-omong kamu sudah lihat Arora?” Aku mengangguk. “Bu Irene tadi menunjukkan fotonya sama Bunda, cantik sekali.” Melihat binar di mata Bunda, senyum yang terulas di bibirku melebar. “Iya, dia cantik sekali.” “Anak itu membutuhkan ibu, ibu yang akan menyayanginya setulus hati walau dia bukan putri kandungnya sendiri.” Bunda menatapku lekat. Entahlah, mendengar ucapan Bunda aku merasa ada sesuatu yang hangat menjalar di hatiku. Dalam keadaan setengah melamun, tiba-tiba pandanganku tertuju pada CBR 150 yang melaju pelan ke arah kami. Tentu saja aku mengenali pengendaranya, dia yang tadi menjadi alasan utamaku merasa keberatan menikah dengan Tyaga. Aku langsung berdiri, mendekatinya yang sedang menstandarkan motornya persis di depan teras. “Ada apa Kak Arka ke sini?” tanyaku gugup. Kak Arka hanya tersenyum, kemudian berpaling pada Bunda yang sudah berdiri di sampingku. “Selamat sore, Tante,” sapanya sopan. Bunda tersenyum. “Tumben Nak Arka ke sini sendiri, Nak Kia enggak ikut?” Bunda mengenal Kak Arka karena beberapa kali Kak Arka pernah mengantar Kia ke rumah dan mampir sebentar. “Nggak, Tan. Arka baru dari kampus dan langsung ke sini.” “Ooh … sini, sini, Nak Arka. Silakan duduk.” Bunda bergeser sambil menunjuk kursi teras, kemudian dia berkata padaku, “Bunda ke dalam dulu ya, Mil. Itu Nak Arka jangan lupa dibikinkan minum.” “Nggak usah, Tan. Arka cuma sebentar kok,” sela Arka. “Oh, begitu. Ya sudah, Bunda tinggal dulu ke dalam ya?” “Silakan, Tan.” “Duduk, Kak,” kataku begitu Bunda sudah tidak terlihat. Kak Arka duduk diikuti olehku. “Aku cuma mau antar ini kok, Mil.” Kak Arka melepas ranselnya dan mengeluarkan boneka kelinci yang tadi pagi dia berikan padaku. “Kamu meninggalkannya di rumah singgah,” katanya lembut. Tiba-tiba kecepatan detak jantungku meningkat, menimbulkan debaran lembut sekaligus menyesakkan di d**a, yang kemudian berefek pada aliran darah di wajahku. Aku gugup, tanganku gemetar saat menerima boneka yang disodorkan Kak Arka. “T-terima kasih s-sudah mengantar ke sini, Kak,” ujarku mendadak gagap. “Mengantar apa?” Suara bass yang terdengar dominan itu mengejutkanku. “Bang Tyaga, bikin kaget saja deh!” seruku kesal. Kening Tyaga berkerut. “Memangnya apa yang kulakukan sampai bikin kamu kaget?” tanyanya datar. “Muncul tiba-tiba. Kayak jelangkung saja, datang tak diundang pergi tak diantar.” Tyaga mengabaikan ejekanku, pandangan matanya beralih pada Kak Arka, menatapnya penuh selidik. “Lo siapanya Moana?” tanyanya dingin. “Moana?” Kak Arka yang bingung menatapku penuh tanya. “Milena. Dia.” Jari Tyaga menunjuk ke arahku sebelum aku menjelaskan apa-apa pada Kak Arka. “Oh, gue teman Milena, kakaknya Kia, sahabat Milena.” Kak Arka berdiri dan mengulurkan tangannya ke arah Bang Tyaga. “Oh, teman Milena,” sahut Tyaga sambil menyalami Kak Arka. Kalimat selanjutnya yang diucapkan Tyaga sama sekali tidak kuharapkan keluar dari mulutnya. “Gue Tyaga, calon suami Milena.” Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN