35. Kamu Hebat

2244 Kata
"Oke, kita mulai sekali lagi ya latihannya." kata Zulla kepada para juniornya yang baru mulai les musik sekitar dua bulan lalu. Saat tidak ada kelas, yang dilakukan Zulla adalah membimbing anak-anak di tempat les musik. Karena Zulla begitu pandai bermain gitar akustik, jadi dia hanya fokus untuk mengajarkan tentang teknik bermain gitar saja. Banyak juga, anak-anak yang awalnya di tempat les menjadi murid, ketika sudah mahir mereka akan melatih anak-anak baru seperti Zulla. Dan bukan hanya Zulla saja yang membimbing, tapi Gladys pun salah satu dari beberapa yang menjadi pembimbing di sana. Semua penghuni tempat les sudah tahu bahwa Gladys begitu pandai bermain piano. Kedua gadis itu memiliki keahlian dan kepiawaian masing-masing dalam memainkan alat musik. "Kak, kita mulai dari awal lagi?" tanya salah seorang murid yang duduk di paling pojok. "Eum... Harus diulang dari awal." angguknya sambil bersiap dengan gitar pribadinya. Bola mata Zulla berkeliling, melihat dan memastikan kalau semua anak di sana sudah siap. Lalu, Zulla pun mulai menyentuhkan jarinya ke senar gitar sedangkan ibu jari dan telunjuknya memegang pick favoritnya. "Kunci C." pandu Zulla agar bisa bersama-sama. Jrenggg... Sebuah genjrengan awal terdengar dan membuat Zulla tersenyum. "Oke, kali ini kita beneran mulai ya." Semuanya mengangguk patuh dan paham akan arahan yang diberikan Zulla. "C-kubuka, E minor-album bi, G-ru." Perlahan, Zulla dan anak-anak mulai penyanyi seraya memandu kunci gitar yang akan dimainkan pada nada berikutnya. Dan di awal, Zulla tidak mendengar ada yang salah. "F-penuh de, ganti C-bu dan u, D minor-sang, ke kunci G." "B minor-kupanda, pindah E minor-ngi semua, lanjut A minor-gambar di, ke G-ri." Zulla memang suka memberi bimbingan dengan cara perlahan-lahan seperti ini. Dan Zulla yakin kalau mayoritas orang yang mengajari seseorang main gitar pasti akan melakukan metode seperti ini juga. Meski tidak semua. "F-kecil ber, ke D minor-sih belum te, G-rnoda." Empat baris bisa mereka nyanyikan secara saksama dan itu membuat Zulla senang. Dia tersenyum pada anak-anak yang juga menatapnya. “Sekarang kita coba langsung nyanyi ya.” ajak Zulla untuk kembali ke awal. Semuanya kembali patuh dan mengangguk. Mereka siap-siap bersama menyanyikan lagu milik Potret berjudul Bunda. Lagu yang cukup mellow dan menyentuh.   Kubuka album biru... Penuh debu dan usang... Kupandangi semua gambar diri... Kecil bersih belum ternoda...   Zulla memberi acungan dua jempol kepada semua anak-anak di depannya. Dia sedikit puas karena mereka bisa mendengarnya dengan baik dan berhasil mengikuti arahannya. "Oke, lanjutkan ke kunci berikutnya masing-masing. Kalian harus berusaha terlebih dahulu." pandu Zulla agar anak-anak juga memiliki inisiatif tersendiri. Dalam situasi seperti ini, Zulla harus kuat-kuat mendengarkan setiap suara yang dia dengar. Karena tak jarang, ada banyak yang fals atau salah nada dan banyak lagi macamnya. Hanya saja, tugas Zulla hanya mendampingi. Lagi pula, sebentar lagi juga guru les datang. Musik, sebuah ungkapan rasa yang bisa dengan mudah diutarakan namun dalam bentuk transparan. Hal yang paling Zulla sukai dari bermusik. Dia bisa dengan bebas mengeluarkan segala rasa yang ada di hati tanpa semua orang akan paham maksudnya yang sebenarnya. Kebanyakan orang hanya akan menganggapnya sekedar bernyanyi atau lebih dari itu hanyalah menyandang kata penghayatan.   ***   Wajah Zulla tampak bahagia, dia berjalan menuju halte bus yang ada di ujung jalan raya. Akan tetapi, saat dia berjalan tidak sengaja melihat ada seorang lelaki tua berpenampilan lusuh sedang duduk di pinggir jalan. Awalnya Zulla hanya lewat begitu saja sambil mengatakan kata permisi. Tapi tak disangka, kakek-kakek tersebut merintih meminta tolong pada Zulla. Seketika, Zulla menolehkan pandangannya dan melihat kakek-kakek tersebut seperti orang sedang kesakitan. Karena merasa kasihan, Zulla mendekatinya dan ketika baru akan menanyakan penyebabnya, kakek itu sudah pingsan terlebih dulu. Zulla panik, tapi dia berusaha agar tidak terlihat kebingungan. Dia langsung menelepon 119 dan memberi tahu keberadaannya sekarang. Sembari menunggu ambulans datang, Zulla berusaha memberikan pertolongan pertama sebisanya. Tapi tak lama, ambulans dan tim medis tiba di sana. Kakek itu segera dibawa ke rumah sakit dan Zulla pun ikut bersamanya. Zulla tahu, ambulans yang dia naiki itu sekarang menuju rumah sakit Xim Medika, tempat ayah dan Alfa bekerja. Sampailah mereka ke rumah sakit. Kakek tadi segera menerima pertolongan oleh tim medis meski ada beberapa bisik-bisik yang kurang mengenakkan untuk didengar. Tapi Zulla berusaha tidak mengacuhkannya dan menganggap dia tidak mendengar apa-apa. Walau sebenarnya Zulla ingin sekali membalas kata-kata mereka yang merendahkan orang lain dari penampilan. "Siapa walinya?" tanya salah seorang suster yang tadi menerima kedatangan pasien. Zulla belum menjawab, tapi dari yang dia dengar kalau tidak ada walinya maka kakek itu tidak bisa ditangani. Lagi pula, Zulla juga tidak tahu di mana kediaman kakek itu serta siapa keluarganya. "Saya walinya, sus." sahut Zulla tanpa berpikir panjang. Suster tadi mengarahkan pada Zulla agar dia segera mengurus administrasinya terlebih dahulu. Segera Zulla menuju ke kasir dan membayar biaya administrasi sang kakek yang baru dia temui sekali ini. "Loh Zulla, ada urusan apa ke bagian administrasi?" sebuah suara berat membuat Zulla menoleh. "Om Ricky," sapa Zulla sopan. "Ya? Kamu lagi ngurus apa? Tadi Om lihat, Ayahmu sudah pulang dari dua jam lalu." tanyanya lagi masih penasaran apa yang dilakukan Zulla di rumah sakit. "Tadi aku enggak sengaja ketemu pemulung di jalan, terus Kakek itu lagi kesakitan dan pingsan. Jadi aku bawa ke sini. Karena enggak ada walinya, jadi aku yang akan mengurus biaya administrasinya." jelasnya pada Ricky. "Sini, biar Om saja yang urus biayanya." Ricky berniat membantu Zulla tapi gadis itu menolak dan kekeuh ingin mengurusnya sendiri. Karena kengeyelan Zulla, akhirnya Ricky mengalah dan membiarkan gadis yang sudah dia anggap seperti keponakannya sendiri itu melakukan hal kebaikan. "Kamu sudah besar ya. Sudah tahu caranya bertanggung jawab ketika menolong orang." puji Ricky. Zulla terkekeh saja mendengar pujian Ricky. Dia langsung pamit menuju IGD lagi dan memberi bukti bahwa administrasinya sudah dia selesaikan. Tak menunggu lama, kakek tadi sudah ditangani dan masih ada di ruang IGD. Zulla segera mendatangi kakek tadi. Ternyata penyebabnya karena kakek itu tadi makan terlalu cepat sehingga usus halusnya tidak bisa menyerap dengan baik dan menyebabkannya pingsan. "Maafin Kakek ya, Cu. Kakek sudah merepotkan kamu." ujar kakek tadi merasa sedikit tidak enak hati. "Tidak apa-apa, Kek. Namanya juga manusia, harus saling tolong menolong." balas Zulla sembari tersenyum ramah. Zulla mengeluarkan roti dan air mineral dari dalam tasnya yang dia beli di kantin tempat les sebelum memutuskan untuk pulang. Dia memberikannya kepada kakek tadi tanpa ragu. "Nanti dimakan ya, Kek. Hati-hati makannya. Jangan cepet-cepet, dan harus dibarengi minum juga. Kalau kondisi Kakek sudah lebih baikan, Kakek boleh pulang. Tidak perlu memikirkan biaya rumah sakitnya, sudah saya tanggung semuanya. Dan ini, ada sedikit uang buat ongkos Kakek nanti pulang." kata Zulla memberi tahu secara pelan-pelan supaya tidak menyinggung kakek yang rambutnya sudah putih semua itu sembari memberikan sebagian uang sakunya. Awalnta, kake berambut putih itu menolak uang pemberian Zulla tapi Zulla juga tidak mau ditolak hingga mau tak mau kakek itu harus mengalah. Kakek itu terus mengucapkan kata terima kasih kepada Zulla yang sudah mau menolong dan membantunya. Bahkan kakek itu juga mendoakan Zulla supaya segala cita-citanya tergapai dan tercapai. Padahal, Zulla melakukannya dengan ikhlas dan jiwa ingin menolongnya meronta-ronta kuat sekali. Setelah memastikan kakek tadi mendapatkan perawatan yang layak, Zulla langsung memutuskan untuk pulang saja. Tapi baru sampai di depan pintu rumah sakit, langkah kakinya terhenti karena hujan. Zulla mendesah pelan, dia lupa bawa payung dan kalau dia nekat berlari sampai ke pos satpam sambil menunggu taksi, tetap saja badannya akan basah kuyup. "Kamu hebat." bisik seorang lelaki yang mengetahui bahwa Zulla tadi membawa kakek pemulung ke rumah sakit serta membiayai administrasinya. Wajah tampan milik Alfa mengagetkan Zulla ketika dia menoleh ke kanan. Lelaki itu sudah berdiri di sana sambil memandang ke depan seolah sedang menerawang tentang lamanya hujan. "Om dokter ngagetin aja." kekehnya sambil berkata jujur. Refleks tangan kanan Zulla meraba d**a kirinya. Gadis itu merasakan jantungnya berdetak tak karuan. Perasaannya pada Alfa masih sama. "Mau pulang bareng?" tanya Alfa entah ini pertanyaan yang ke berapa dalam hidupnya yang dia lemparkan pada Zulla. "Memangnya Om dokter sudah mau pulang?" tanyanya balik. "Saya tidak akan menawarkan kamu pulang kalau saya belum ingin pulang." katanya lagi dibarengi senyuman tampan. Tak bisa dibohongi, hanya kata-kata seperti itu saja bisa membuat Zulla bahagia. Dia sesekali melihat ke arah Alfa dan memuaskan matanya menatap ketampanan lelaki yang dia cintai sedari lama. Om dokter adalah definisi semakin tua semakin ganteng dalam kehidupan nyata. Batinnya yang sudah benar-benar terbius oleh pesona Alfa. Saat sedang sibuk dengan pemikirannya, Zulla dikagetkan oleh tarikan di pundaknya yang dilakukan Alfa. Wajah Zulla terlihat sekali kagetnya. Dia merasakan tangan Alfa mendekap bahunya erat dan memastikan dirinya tidak terkena air hujan. "Kita kayak gini sebentar sampai mobil saya. Maaf kalau kamu merasa kurang nyaman!" seru Alfa sambil terus mengajak Zulla berlari kecil menuju di mana mobilnya diparkirkan. Sebenarnya Zulla tahu, kalau untuk dokter ada lift khusus yang langsung menghubungkan dari dalam gedung ke basement. Tapi entah kenapa Alfa malah memilih lewat jalan depan dan berlari bersamanya ke basement. Padahal kalau dari depan ke basement tempat parkir khusus dokter, jaraknya lumayan jauh. Kalau mau lama-lama juga aku enggak apa-apa, dok. Dan aku sama sekali tidak merasa kurang nyaman. Malah aku nyaman banget berdekatan sama Om dokter kayak begini. Pekik Zulla dalam hati. Siapa yang tidak kegirangan kalau mendapatkan perhatian lebih dari orang yang disukainya. Seperti halnya Zulla sekarang. Dia sangat suka berdekatan seperti ini dengan Alfa. Berlari di bawah hujan, saling berdempetan dan berbagi payung agar kepala mereka sama-sama terlindungi. Rasa-rasanya, Zulla tidak akan dengan mudah melupakan momen sore hari ini yang menurutnya begitu romantis walaupun mereka bukan sepasang kekasih. "Ayo masuk." titah Alfa setelah lelaki itu berhasil membuka pintu penumpang di bagian depan. "Ah iya, makasih banyak Om." balas Zulla sambil masuk ke dalam mobil. Bukan hal yang baru lagi untuk Zulla naik ke mobil Alfa. Mungkin, mobil itu juga sudah kenal baik dengan Zulla karena mengingat Zulla juga cukup sering pulang bersama Alfa meski tidak setiap hari. Tapi percayalah, setiap benda pasti akan merekam memori yang terjadi meskipun itu benda mati. Alfa sudah memasuki mobil. Lelaki itu menghidupkan penghangat ruangan agar mereka sama-sama tidak terkena flu nantinya. Perlahan-lahan, Alfa melajukan mobilnya meninggalkan area basement Xim Medika Hospital. "Makasih ya, Om. Karena Om sudah baik banget sama aku." kata Zulla tulus. "Sama saya itu jangan sungkan. Lagi pula, yang ingin mengantar kamu pulang itu saya 'kan. Saya juga tidak tega melihat kamu pulang hujan-hujanan seperti ini. Dan saya juga mau, kalau saya mengantar kamu pulang itu maka uang sakumu tidak perlu berkurang dan bisa kamu tabung." jelas Alfa menjelaskan maksudnya. "Udah aku tabung kok, Om. Hehehe..." cengirnya jujur. Tapi buat masa depan kita berdua. Lanjut Zulla dalam hatinya meski dia penasaran akan ekspresi Alfa kalau lelaki itu mendengar kata dalam hatinya barusan. Tangan kiri Alfa meraih sesuatu di jok tengah saat mereka berada di lampu merah. Tanpa Zulla duga, Alfa memberinya sebuah jas berwarna hitam. Kening Zulla mengerut, mencoba bertanya lewat mata pada Alfa. “Pakai saja, kamu kedinginan ‘kan?” titahnya. Manis banget kata-katanya. Sumpah, pokoknya gue harus bisa jadi pasangannya Om dokter. Tekad Zulla lagi sambil tangannya menerima jas milik Alfa. “Beneran enggak apa-apa kalau aku pakai jasnya, Om?” “Tidak apa-apa. Saya tidak tega melihat kamu kedinginan.” katanya lagi. Om dokter so sweet banget sih. Enggak salah gue jatuh cinta ke dia. Udah pinter, ramah, cakep, baik hati pula. Paket komplit pokoknya kalau gue bisa dapetin Om dokter. Tak henti-hentinya hati Zulla memuji Alfa. “Kamu mau mampir makan dulu?” tawar Alfa kembali berbaik hati. “Ma-“ Drt... Drt... Drt... Bibir Zulla tehenti saat merasakan ponsel di sakunya berdering. Ketika dilihat, ternyata Marsel yang meneleponnya. Zulla merutuk dalam hati, kenapa ayahnya harus menelepon di waktu begini. “Hallo, Yah. Kenapa?” jawab Zulla berusaha riang seperti biasa meski dia sedikit kesal. “Kakak di mana? Ayah denger dari Om Ricky tadi katanya kamu nolongin Kakek di jalan dan kamu bawa ke rumah sakit?” Bisa Zulla dengar dengan jelas kalau Marsel tampak khawatir di seberang sana. Rasa kesal Zulla sedikit hilang mendengar kecemasan ayahnya. “Wah... Om Ricky ember juga, cepet banget ngasih kabar ke Ayah.” pujinya yang tak menyangka kalau Marsel langsung tahu secepat ini berkat Ricky. “Kakak di mana sekarang? Di luar hujan deres banget. Mau Ayah jemput?” “Aku udah di taksi kok, Yah. Udah mau pulang. Ayah tenang aja di rumah. Bentar lagi aku sampai.” jawab Zulla yang tidak ingin membuat Marsel gelisah terlalu lama. “Oh ya sudah, Ayah tunggu di rumah ya. Kalau ada apa-apa, langsung kabarin Ayah.” “Eum...” angguk Zulla meski dia tahu kalau Marsel juga tidak akan melihat. Sambungan telepon terputus. Terpaksa dia harus menolak ajakan Alfa. Padahal Zulla ingin sekali makan berdua dengan lelaki di sampingnya itu. Tapi kenyataan membuatnya harus berkata lain. “Marsel Ayah yang baik ya.” puji Alfa pada rekan sejawatnya yang tidak terlalu akur dengannya. “Gimana Om? Maaf ya, aku enggak bisa makan dulu sama Om. Aku enggak tega juga kalau bikin Ayah nunggu aku lama-lama.” katanya sedikit sedih. “Tidak apa-apa, kita masih bisa makan lain waktu.” angguk Alfa santai sembari menghentikan mobilnya di depan rumah Marsel. Kata-kata Alfa membuat kesedihan di hati Zulla sirna. Alfa bilang kapan-kapan dan lain waktu. Itu artinya, dia masih punya kesempatan untuk makan bersama Alfa nanti. “Hehehe... Pokoknya makasih ya, Om. Aku turun dulu.” pamitnya sembari tersenyum riang. Zulla memasuki gerbang rumahnya dan dia secepat kilat melepas jas milik Alfa yang dia pakai tadi lalu dia masukkan ke dalam tas. Tentu saja, Zulla tidak mau kalau Marsel sampai salah paham saat melihatnya memakai jas laki-laki. *** Next... 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN