Mobil hitam yang dikendarai Hans terus melaju menuju sekolah kedua cucunya. Kemarin, Hans tiba di Indonesia dan malam harinya keluarga Fabiano ada urusan yang cukup penting. Bahkan bagi Zulla yang masih remaja pun itu momen penting dalam hidupnya.
"Opa..." panggil Yudha yang duduk di depan bersampingan dengan Hans-sang kakek tercinta yang jauh di Paris.
"Eum?"
"Apa bahasa Prancisnya, aku sedang bahagia?"
Belum sempat Yudha mengutarakan apa yang ingin dia katakan, Zulla sudah menyela terlebih dahulu.
"Je suis heureux. Itu artinya aku sedang bahagia." tanpa ragu, Hans langsung menjawab pertanyaan cucu pertamanya.
Wajah Zulla yang sudah senang, semakin saja berbinar-binar. Mendengar bahwa ayah dan bundanya akan menikah lagi, membuat Zulla sangat bahagia. Sesuatu yang dia harapkan kembali ke tempatnya akhirnya sebentar lagi akan terwujud.
"Kenapa? Kak Zulla lagi seneng ya denger Ayah mau nikah lagi sama Bunda?" tanya Hans yang sangat tahu apa yang membuat cucunya sangat bahagia.
Kepala Zulla mengangguk, dan itu disaksikan oleh Hans dari spion dalam mobilnya. Tentu saja, melihat kedua cucunya bahagia, Hans pun ikut senang. Memang inilah yang diharapkan para orang tua untuk anak dan cucunya.
"Oke, sekarang waktunya kalian bahagia. Sudahi kesedihan kalian selama ini. Jangan pikirkan lagi apa yang membuat kalian sakit. Apa pun keputusan Ayah kalian, selama ini bisa membuat kalian semua bahagia, akan Opa berikan." Hans tak ragu untuk berkata demikian di depan kedua cucunya.
Gerbang sekolah sudah terlihat, Hans juga sudah menghentikan mobilnya. Kini hanya menunggu Zulla dan Yudha turun dari mobil. Kesempatan seperti ini sangat jarang mereka dapatkan, mengingat kakek mereka yang tinggal di Paris untuk urusan bisnis dan sangat jarang ke Indonesia selain kalau Hans sengaja mengosongkan jadwalnya untuk beberapa hari. Dan itu pun tidak bisa dilakukan dalam waktu yang sering.
Sebenarnya, apa yang dikatakan Hans tadi sedikit lama masuk dan dicerna oleh Yudha. Namun untunglah, setelah merenung beberapa menit, lelaki kecil itu akhirnya tahu juga apa maksud perkataan Hans.
"Eum... Makasih Opa udah nganter aku sama Yudha ke sekolah."
Zulla mencium pipi kiri Hans dari dalam mobil, begitu pula dengan Yudha yang melakukan hal sama sepertinya barusan. Mereka langsung turun dari mobil dan akan menunggu sampai Hans pergi dari sana.
"Nanti siang Opa jemput lagi ya." Hans melambaikan tangannya kepada kedua cucunya dari dalam mobil setelah dia membuka kaca jendelanya.
Tak lama, mobil sudah maju meninggalkan sekolah. Begitu pula dengan kedua remaja itu yang langsung memasuki area sekolah.
"Yud, ayo ke kelas bareng!" seru seorang lelaki, teman sekelas Yudha yang Zulla sendiri juga tidak ingat siapa namanya meski Yudha sudah pernah memberi tahunya dua kali.
Tanpa memikirkan sekitar, Zulla langsung berjalan menuju kelasnya seorang diri. Beberapa siswa ada yang mencoba menggodanya, tapi namanya juga Zulla, dia tidak langsung menanggapi mereka begitu saja.
Cuaca hari ini sedikit lebih dingin dari hari kemarin. Angin berembus menerjang anak rambut hingga membuatnya beterbangan ke sana ke mari. Itu jugalah yang dialami Zulla pagi ini.
Usaha merapikan rambut menggunakan sisir sepertinya tidak berarti untuk hari ini. Pasalnya, semua angin-angin itu berkumpul dan terus berlarian tanpa lelah ke setiap penjuru.
Bak putri iklan, banyak orang terpesona oleh kecantikan Zulla saat angin menerjang tubuhnya hingga rambutnya menutup sebagian wajahnya yang bersih tanpa noda hitam bekas jerawat. Bahkan ada beberapa yang berdiri di sepanjang lorong menuju kelas di mana Zulla berada, terpesona oleh kecantikannya.
Saat ini, Zulla bagaikan orang yang berjalan di atas red carpet yang menjadi pusat perhatian semua orang. Bagaikan ada seorang bintang yang lewat. Itulah Zulla sekarang.
"Heh... Ayo bareng."
Gubrak!
Red carpet tergulung langsung, semua orang mengalihkan pandangan seketika saat melihat Vanko datang dan merangkul bahu Zulla tanpa ragu. Bukan hanya para penonton yang kaget, tapi Zulla pun juga kaget saat Vanko tiba-tiba bertingkah seperti ini padanya.
"Vanko, lo apa-apaan sih?" secepat kilat, Zulla langsung menyingkirkan tangan Vanko dari pundaknya dan tetap berjalan menuju kelas.
Mendapat penolakan dari Zulla, tentu hal itu membuat hati Vanko sedikit nyeri. Hanya saja, Vanko tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihannya dan dia akan bersikap normal seperti biasa seolah hal barusan bukanlah sebuah hal yang penting baginya.
"Ish... Pelan-pelan aja jalannya." ujar Vanko sembari mempercepat langkahnya menyusul Zulla yang sudah hampir sampai di kelas.
Bruk!
Langkah kaki Zulla terhenti saat tiba-tiba ada sebuah tas yang terjatuh di depannya. Zulla tahu itu tas milik siapa, namun Zulla juga tidak ada niat mengambilnya. Pandangan Zulla kini terfokus pada seseorang yang menjadi tersangka utama dalam pelemparan tas itu. Sepertinya, dugaan Zulla benar adanya.
"Heh... Ambilin itu tas ke sini." titah Sherly pada Zulla seraya menunjuk tas yang dia lemparkan tadi menggunakan kakinya.
Benar sekali, firasat Zulla tidak meleset. Sherly memang dalang di balik adanya tas terjun.
"Gue bukan babu lo." tolak Zulla tanpa merasa takut, lalu dia melangkahi tas itu dan berjalan menuju bangkunya.
Wajah Vanko puas mendengar jawaban Zulla barusan. Dia bersiul-siul untuk mengutarakan rasa senangnya serta melihat sinis ke arah Sherly.
Sherly tidak lagi memburu Zulla, dia meminta salah satu dayangnya untuk mengambil tas tersebut dan lanjut merundung teman sekelasnya. Semua orang tahu bahwa Sherly sedang merundung salah seorang murid pendiam yang duduk di belakang Zulla.
Rasain lo, emang enak pagi-pagi diguyur air es.
Suara Sherly terdengar, suara air yang dituangkan dari atas juga bisa didengar. Siswi yang dirundung Sherly itu hanya bisa memohon ampun.
Tawa menggelegar di antara Sherly dan kedua temannya. Sherly masih belum selesai menuangkan air dingin dari botol air mineral yang dibeli salah satu temannya ke kepala gadis berkacamata itu. Hingga akhirnya, Sherly merasa tangannya ditahan oleh seseorang. Saat menoleh, ternyata orang itu adalah Zulla.
Senyum sinis tercetak di wajah Sherly saat melihat Zulla melakukan hal ini. Ketika Sherly akan melepaskan tangannya dari cengkeraman Zulla, ternyata Zulla sangat kuat dalam menahan pergelangan tangan Sherly hingga membuat gadis itu tidak bisa lagi berkutik.
"Kalau lo marah sama gue, bilang aja langsung ke gue. Jangan ngelampiasin ke orang lain." kata Zulla pelan namun dipenuhi kesinisan dalam nada bicaranya.
Tawa Sherly juga terdengar sumbang di telinga Zulla. Semua yang berada di kelas itu tidak ada yang tidak menatap kedua gadis paling populer di sekolah itu. Semuanya melihat ke arah Zulla, lebih tepatnya ingin tahu bagaimana cara Zulla menghentikan Sherly dalam merundung teman sekelasnya.
"Hahaha... Gue marah sama lo? Enggak usah ngarang lo jadi orang!" sentak Sherly.
Zulla hanya membalas dengan senyuman sinis pula pada Sherly. Dia melihat gerak-gerik Sherly yang perlahan-lahan berubah menjadi ciut.
"Lo marah sama anak ini gara-gara gue nolak dia yang minta bantuan ke gue buat ngasih tahu jawaban PR kemarin 'kan? Padahal dia ngelakuin itu gara-gara disuruh sama lo." kekeh Zulla.
Bola mata Sherly melebar, dia antara percaya dan tidak kenapa Zulla bisa tahu tentang kemarahannya kali ini.
"Enggak, siapa juga yang nyuruh dia buat minta jawaban dari lo. Ngaco lo!" balas Sherly, meski sedikit gelagapan.
"Enggak usah ngelak lo!" sentak Zulla hingga membuat Sherly diam.
"Karena gue yang enggak mau ngasih tahu jawabannya, jadi lo enggak bisa nyalahin dia gitu aja. Lepasin dia sekarang atau gue lapor ke ruang guru saat ini juga."
Tawa melanda wajah Sherly, namun sebenarnya dia kesal dan emosi saat melihat tangannya yang dihempaskan Zulla barusan terlihat memerah.
"Coba aja kalau lo bisa. Gue jamin, anak ini enggak akan ngaku." ancam Sherly bersikap tak takut pada gertakan Zulla.
"Anak ini mungkin emang bakal nurutin apa kata lo dan tutup mulut, tapi rekaman video enggak akan berbohong." kekeh Zulla seraya menunjuk Vanko yang sedang memegang ponsel ke arah kejadian barusan.
Amarah di dalam diri Sherly semakin membuncah. Ingin sekali dia merobek mulut Zulla dan menghancurkan ponsel yang dipegang Vanko sekarang. Hanya saja, Sherly tidak bisa melakukannya.
"Oke, udah gue rekam semuanya." sahut Vanko dari tempat duduknya.
Tangan Sherly yang tidak seberapa besar dan kuatnya itu terkepal. Dia tidak menyangka kalau akan ada hal seperti barusan, tentang Vanko yang merekamnya diam-diam.
"Gimana?" tanya Zulla lagi diiringi senyuman menyebalkan untuk dilihat bagi Sherly.
"Ish... Bangke!" umpatnya pelan namun penuh penekanan dan bisa didengar oleh Zulla.
Merasa dirinya kalah, Sherly langsung mengajak kedua dayangnya keluar kelas menuju toilet. Sedangkan Zulla, dia membalikkan badan akan kembali ke kursinya tapi tangannya ditahan oleh gadis yang dirundung Sherly tadi.
"Zul, makasih ya." ucapnya tulus.
Zulla sebenarnya kasihan pada gadis itu, tapi Zulla kurang suka karena gadis berkacamata itu selalu diam saja setiap Sherly merundungnya.
"Gue enggak minta lo buat ngebales Sherly, gue cuma pengen lihat lo bisa ngelawan Sherly biar dia enggak seenaknya sama lo." kata Zulla lagi lalu dia benar-benar membalikkan badan dan berjalan menuju bangkunya.
Suasana kelas sudah tidak seperti tadi lagi. Semua murid yang tadi menonton juga langsung kembali ke dunia mereka masing-masing sementara gadis berkacamata tadi memilih membersihkan lantai yang basah karena air yang dipakai Sherly buat mengguyur tubuhnya.
***
Tepuk tangan diberikan Becca pada Zulla. Gadis itu mendengar bahwa Zulla tadi pagi berhasil melawan Sherly lagi. Bagi Becca, hal seperti ini memang harus diberi tepuk tangan dan ucapan selamat.
"Apaan sih lo, kayak begitu aja pakai dikasih tepuk tangan segala." Vanko menurunkan tangan Becca dari atas meja yang tak henti-hentinya memberi tepuk tangan untuk Zulla.
"Hahaha... Dia iri aja, Bec. Makanya dia begitu." tawa Zulla sambil menunjuk Vanko yang bertindak seperti itu barusan.
Di mana lagi ketiga remaja itu kalau bukan di kantin. Hanya saja, kali ini menu makan mereka bukan bakso, melainkan siomay Bandung. Makanan enak rasa ikan yang digemari banyak orang.
Mata Vanko melirik dan memperhatikan saat Zulla memberikan pare di piringnya ke piring Becca.
"Oh... Lo suka pare, Bec?" tanya Vanko tiba-tiba.
Pertanyaan Vanko barusan membuat kedua gadis itu menoleh ke arahnya. Zulla mengerutkan keningnya, sedikit bingung kenapa Vanko bertanya demikian.
"Kenapa emangnya? Enak kok." angguk Becca yang mengakui bahwa dia mau makan pare.
"Pantes, lo pahit banget dipandang." tawa Vanko bercanda dalam kata-katanya.
Hanya Vanko yang tertawa di sana. Zulla malah lebih merasa tidak percaya kalau Vanko tega berkata seperti itu. Becca sendiri? Jangan ditanya lagi. Gadis itu jelas sakit hati mendengarnya. Walau Vanko mengatakannya hanya bertujuan untuk bahan lelucon, tapi Becca merasa kalau itu memang isi hati Vanko yang sebenarnya.
"Ya... Lo keterlaluan udah bilang begitu ke Becca." kata Zulla terang-terangan.
Tawa Vanko terhenti seketika, dia tidak menyadari bahwa kata-katanya bisa menyakiti Becca. Padahal niatnya memang benar hanya bercanda saja.
"Enggak apa-apa kok, gue maklum aja kalau mulut dia emang kayak tong sampah. Bau." balas Becca tak kalah pedasnya.
Zulla mendesah, dia tidak suka melihat kejadian seperti ini. Apalagi ini kedua teman dekatnya. Tentunya, Zulla mau kalau mereka berdua juga akur.
"Zul, antara gue sama Becca, siapa yang paling lo suka?" tiba-tiba saja Vanko bertanya seperti ini pada Zulla.
Jantung Becca berdetak lebih kencang menunggu jawaban. Ini lebih mengerikan ketimbang mendengar kata-kata Vanko tadi tentangnya.
Bola mata Zulla berputar malas mendengar pertanyaan Vanko barusan.
"Becca." jawab Zulla tanpa ragu, karena tentunya Zulla lebih dekat dengan Becca.
"Sekarang gantian pertanyaan buat lo, Bec."
"Jelas Zulla lah." jawab Becca tanpa berpikir panjang.
Dalam jalur sahabat, gue emang lebih suka sama Zulla. Tapi bukan buat jalur satunya. Sambung Becca dalam hatinya.
"Sekarang ganti lo yang jawab." Zulla ganti menatap Vanko.
"Zulla dong, pasti." tanpa ragu, Vanko mengatakan isi hatinya.
"Kenapa bisa gue?" sebenarnya Zulla heran kenapa dia.
"Ya karena gue lebih dulu ketemu dan kenal sama lo."
Alis Zulla naik sebelah mendengar jawaban Vanko barusan. Dia merasa aneh saja kalau alasannya hanya itu. Tapi Zulla juga tidak memiliki kepercayaan diri kalau Vanko memiliki alasan lain.
Dalam hati, Becca tersenyum remeh mendengar alasan Vanko. Gadis itu tahu, kalau alasan Vanko yang sebenarnya bukan itu.
Lo salah kalau ngungkapin perasaan lo ke Zulla dengan cara begini. Gumam hati kecil Becca.
***
Next...