Tak disangka-sangka, kepergiannya ke Singapura malah membuatnya bertemu secara tidak sengaja dengan Alfa. Bukan hanya itu, bahkan Zulla jadi punya kesempatan untuk jalan-jalan berdua dengan Alfa. Seperti halnya hari ini, selesai menyantap sarapan, Alfa lanjut mengajak Zulla ke sana sini.
Tidak ada yang mau Zulla tanyakan lagi pada Alfa. Gadis itu hanya ikut saja ke mana Alfa mengajaknya. Bahkan Zulla mengesampingkan niat awalnya yang ingin bermain-main di Singapore Flyer hanya demi menuruti ajakan Alfa yang ingin ke Henderson Waves Bridge.
Tapi ternyata, mengikuti ke mana Alfa mengajaknya tidak rugi juga. Dia bisa melihat keindahan Singapura dari jembatan yang terbuat dari kayu yellow balau dan all weather timber. Jembatan berbentuk seperti gelombang ombak itu memberi kesan tersendiri dan menjadi spot yang unik untuk berfoto kemudian dipajang di media sosial.
Keduanya tidak lama berada di sana dan sekarang mereka sudah pindah ke tempat yang begitu ikonik di Singapura. Di mana lagi kalau bukan di Merlion Park, yang begitu terkenal dengan patung setengah singa dan setengah ikan.
"Kamu sudah pernah ke sini?" tanya Alfa mencoba memulai percakapan.
"Pernah, kalau Om dokter sendiri?"
"Bukan pernah lagi, tapi sering. Setiap saya ke Singapura pasti akan ke sini. Rasa-rasanya ada yang kurang kalau ke Singapur tapi tidak ke sini." kekehnya sambil memandangi patung Merlion.
Pengakuan Alfa membuat Zulla ikut terkekeh. Tetapi setelah dipikir-pikir, ada benarnya juga apa yang dikatakan Alfa barusan. Zulla mengangguk setuju.
"Om dokter bener, meski tempat ini sudah bukan hal baru. Tapi rasanya ada yang kurang kalau ke Singapur tapi enggak ke Merlion."
Sebenarnya, dalam hati Zulla ingin sekali mengajak Alfa berfoto bersama. Namun apalah daya, Zulla tidak memiliki nyali sebesar itu untuk mengajak Alfa berfoto lebih dulu. Dia takut saja nanti Alfa berpikir yang tidak-tidak tentangnya.
"Ayo kita ke sana." ajak Alfa sambil menunjuk ke suatu tempat.
Lagi dan lagi, Zulla hanya mengangguk patuh dan menurut saja karena memang dia juga suka meski Alfa akan terus mengajaknya berjalan. Walaupun nanti kakinya pegal, tapi tak apa. Yang penting hatinya bahagia.
Alfa mengajak Zulla ke toko oleh-oleh kerajinan tangan dan segala macamnya. Mereka melihat-lihat ini dan itu, siapa tahu ada yang cocok buat dibawa pulang.
Ketika melihat kotak musik yang terbuat dari kayu dan berbentuk stetoskop, hal itu menarik perhatian Zulla. Dia ingin membelinya karena merasa benda itu begitu mewakilinya. Belum sampai memutuskan untuk benar-benar membeli, Zulla sudah dibuat syok terlebih dahulu ketika melihat harganya.
Gue ada uang segini, tapi 'kan enggak mungkin gue habisin buat ini doang. Batin Zulla sambil meletakkan kotak musik tadi ke tempat asalnya.
Belum sampai Zulla menjauhkan tangannya, Alfa sudah mengambil kotak musik itu dan mengajak Zulla ke kasir. Zulla tidak tahu kalau ternyata Alfa juga menginginkannya.
"Ini hadiah buat kamu yang sudah menang lomba menyanyi."
Tanpa diduga oleh Zulla, ternyata Alfa memberikan kotak musik taksirannya tadi padanya.
"Om dokter serius?"
"Eum... Saya serius." angguknya berulang.
Wajah cantik Zulla memancarkan senyuman memesona. Dia menerima kotak musik tadi dan mengucapkan terima kasih setulus-tulusnya atas kebaikan Alfa.
Keluar dari toko aksesoris dan aneka oleh-oleh karya tangan pengrajin asli warga Singapura, mereka kini sedang lanjut jalan berkeliling. Tangan Zulla memegang erat-erat tali paper bag berisi kotak musik tadi. Dia sedikit melebarkan langkah kakinya agar bisa menyusul Alfa yang sudah lebih jauh darinya.
Suatu saat nanti, aku akan memastikan Om dokter bakal memelankan langkahnya khusus buat aku agar langkah kita bisa saling beriringan.
Dalam hati, Zulla membatinnya sambil terus menatap punggung Alfa yang terlihat jelas meski terpaut jarak sekitar seratus meter dengannya. Belum sampai Zulla berlari untuk mengejar, dia sudah melihat Alfa menghentikan langkahnya dan menatap ke belakang seolah sedang mencari dan menunggunya.
"Cepetan!" seru Alfa dari tempatnya berdiri sambil melambaikan tangannya ke arah Zulla.
Tanpa membuat Alfa menunggunya lebih lama, Zulla memutuskan untuk berlari. Walau napasnya harus terengah-engah, Zulla tetap senang melakukannya.
"Ayo, Om." angguknya membuat Alfa ikut mengangguk.
Mereka berjalan beriringan walau langkah kaki mereka tidak sama. Zulla masih sedikit tertinggal dan dia bertekad untuk melebarkan langkahnya tanpa membuat Alfa merasa terbebani.
"Kita ke mana lagi?" Alfa memilih bertanya karena dia juga bingung akan tujuan selanjutnya.
"Aku enggak tahu, hehehe..." Zulla hanya bisa mengedikkan kedua bahunya pasrah mau diajak ke mana saja oleh Alfa.
Mata Alfa melihat ada kedai kopi di sekitaran sana, dia menatap Zulla terlebih dahulu meminta persetujuan. Ketika Zulla menganggukkan kepalanya, barulah Alfa berani mengajak Zulla ke sana. Zulla memilih tempat di samping dinding yang terbuat dari kaca. Mereka bisa melihat pemandangan di luar dari dalam dan tanpa kepanasan.
"Maaf, saya tidak tahu harus mengajak kamu ke mana." kekeh Alfa yang sepertinya memang kebingungan.
Zulla menggeleng, berharap Alfa tidak terlalu kecewa karena hanya bisa mengajaknya jalan-jalan seperti ini.
Bagiku, ini semua sudah cukup untuk membuat aku bahagia. Asal sama Om dokter, pasti aku seneng. Senyum Zulla dalam hatinya sambil memandang Alfa diam-diam.
Seorang waiters datang memberikan buku menu. Karena perut juga belum terlalu lapar, jadi Zulla sedikit bingung harus memesan apa.
"Kamu mau apa?"
"Eh? Aku mau kaya toast sama ice americano aja." meski sedikit bingung, akhirnya Zulla bisa memutuskan seleranya.
Alfa mengulang pesanannya, lelaki itu memesan popiah, kaya toast dan dua ice americano. Waitres yang sedari tadi setia menunggu langsung berlalu ke belakang mengantar pesanan ke bagian dapur.
"Kamu tahu juga sama kopi yang enak." puji Alfa mencoba saja mencari topik pembicaraan.
Pujian Alfa membuat Zulla terkekeh, padahal itu bukanlah hal yang perlu diberi pujian.
"Karena aku suka nyanyi di kafe, jadi sedikit banyaknya aku tahu sama makanan ama minuman enak." katanya sedikit membanggakan diri.
"Terus kalau kamu pergi begini, temen-temen kamu tetep nyanyi?"
Kepala Zulla mengangguk. Tanpa sadar, pertanyaan Alfa jadi mengingatkannya pada Lingga dan Tara yang nyanyi berdua kalau Zulla sedang ada keperluan seperti sekarang ini.
Tidak sampai setengah jam, pesanan mereka tiba juga. Zulla cukup puas dengan menu yang dia pilih. Dia tersenyum melihat kaya toast yang kata teman-temannya, memiliki rasa yang enak dan wajib dicoba ketika sedang berlibur ke negeri Singa.
"Oh ya Om, hari ini Om dokter udah banyak ngasih ke aku. Sebagai gantinya, apa yang bisa aku kasih ke Om dokter?" sedari tadi, Zulla memikirkan ini.
Sambil mengiris popiah di piringnya, Alfa menarik sebelah sudut bibirnya ke atas membentuk sebuah senyuman.
"Memangnya apa yang bisa kamu berikan kepada saya?" tantang Alfa membuat Zulla jadi berpikir keras.
Tanpa Zulla sadari, keningnya jadi berkerut memikirkan beberapa hal yang bisa dia berikan pada Alfa.
"Apa ya Om? Kalau aku traktir makanan ini, gimana?"
Alfa menggelengkan kepalanya sambil menyuapkan potongan popiah yang bentuknya mirip seperti lumpia basah itu. Hanya saja, popiah berisi lobak, bukan rebung.
"Kurang."
"Kurang? Om dokter mau tambah apa? Aku bingung soalnya hehehe..."
"Kalau kamu bayarin tiket pesawat saya pulang nanti, bagaimana?"
Mata Zulla melebar, dia melihat Alfa yang masih sama. Seketika, Zulla kesulitan menelan makanannya sampai harus didorong ice americano pesanannya.
"Ditambah ini juga, bayarin tagihan hotel saya selama beberapa hari."
Belum sampai Zulla mengontrol rasa kagetnya, Alfa sudah membuatnya kembali kaget.
"Hehehe... Ya ada sih Om uangnya, tapi nanti tabunganku keluar banyak." cengirnya jujur apa adanya.
Tak diduga-duga oleh Zulla, kini Alfa malah tertawa terbahak-bahak melihatnya. Hal ini tentu membuat Zulla bingung sendiri. Perasaan, tidak ada yang lucu darinya. Lalu kenapa Alfa bisa tertawa sampai sebegitunya?
"Kamu sudah tahu, uang tabunganmu akan terkuras banyak kalau kamu menawari saya. Terus kenapa kamu lakukan?"
Mendengar pertanyaan Alfa, bibir Zulla hanya bisa nyengir kuda. Dia garuk-garuk tangannya yang tidak gatal. Malu sendiri jadinya pada Alfa sekarang.
"Kamu tidak perlu memikirkan membalas apa-apa ke saya. Yang perlu kamu pikirkan itu, hanya belajar dan kuliah yang bener biar bisa tepat waktu mendapat gelar sebagai dokter."
Gue ngerasa kayak dapet energi baru sekarang. Gumam hati kecil Zulla.
"Siap, Om dokter!" hormat Zulla bagaikan sedang dalam sesi upacara.
Zulla langsung lanjut memakan rotinya yang masih sisa setengah. Tapi tak lama, Alfa tiba-tiba menghentikan gerakan tangannya dan menatap Zulla begitu serius sampai-sampai membuat Zulla sedikit kurang nyaman.
"Kenapa, Om?" tanyanya yang memang heran.
"Ngomong-ngomong, selama ini kamu selalu manggil saya Om dokter. Kamu enggak lupa sama nama saya 'kan?"
Tertawa Zulla mendengar pertanyaan Alfa kali ini.
Gimana mungkin aku bisa lupa sama nama Om dokter, selalu ada di hati pokoknya.
"Enggak kok, Om. Kenapa?"
"Kenapa kamu selalu memanggil saya Om dokter? Kenapa bukan Om Alfa saja?"
Om Alfa? Gue enggak akan nolak sih kalau dapet tawaran langsung. Pekik Zulla kegirangan dalam hati.
"Hehehe... Emangnya kenapa, Om?"
Jantung Zulla berasa dag dig dug ketika melihat Alfa tiba-tiba mendekatkan badan ke arahnya. Susah payah Zulla berusaha menelan salivanya yang terasa berubah bagaikan serbuk kayu.
"Nanti dikira orang-orang, saya terlalu membanggakan diri sebagai dokter." bisik Alfa pelan lalu dia kembali ke tempatnya semula.
Gadis berwajah bulat itu tidak tahu, yang barusan bisikan setan atau bisikan malaikat. Terdengar begitu seksi di telinganya. Zulla takut, dia tidak bisa mengontrol detak jantungnya sekarang. Doanya dalam hati, jangan sampai Alfa mendengar degupan di dalam dadanya.
"Hahaha... Om dokter bisa aja."
Sebisa mungkin Zulla berusaha tertawa. Padahal kalau bisa didengar ulang, tawanya terdengar begitu sumbang dan kaku.
"Panggil saja saya Om Alfa, jangan Om dokter terus." titahnya pada Zulla.
Zulla mengangguk saja mendengarnya. Walau dia juga belum tahu, apakah akan lebih nyaman atau tidak.
"Iya, Om Alfa." cengirnya membuat Alfa juga merasa lebih lega.
Drt... Drt... Drt...
Di sela-sela rasa senangnya, tiba-tiba Zulla dikagetkan oleh deringan ponselnya. Ternyata dia mendapat pesan dari Alexa yang menanyakan keberadaan Yudha karena tidak bisa dihubungi. Segera saja Zulla membalas pesan dari bundanya agar Alexa tidak terlalu khawatir pada adiknya.
"Om, aku nelfon Yudha bentar ya." izin Zulla dan seketika mendapat anggukan dari Alfa.
***
Selama berjam-jam Gladys menguras air matanya dan kini dia bergerak keluar selimut sambil meraba ponselnya. Tanpa melihat dengan jelas karena sudah hafal, akhirnya Gladys berhasil mengisi daya sambil menghidupkan ponselnya yang ternyata mati. Niatnya, dia ingin memesan tiket pesawat supaya bisa pulang hari ini juga. Namun belum sempat Gladys melihat ponselnya, benda pipih itu sudah berdering terlebih dahulu dan segera Gladys menerima panggilan telepon.
"Hallo..." sapanya.
"Ini siapa?"
Karena mendapat pertanyaan seperti itu barusan, akhirnya Gladys memutuskan untuk melihat ponselnya. Betapa kesalnya dia ketika yang dia pegang sekarang ternyata bukan ponselnya tapi milik Yudha yang mungkin saja tertinggal di kamarnya. Segera Gladys mematikan telepon itu dan turun dari ranjang. Dia mengambil kaos dan celananya dari koper lalu segera keluar kamar.
Sambil membawa ponsel yang bukan miliknya, Gladys membunyikan bel kamar Yudha sampai beberapa kali. Tak lama, lelaki itu membuka pintu kamar hotelnya.
Tanpa aba-aba, Gladys segera melemparkan ponsel itu ke arah Yudha sampai membuat lelaki itu sedikit kaget untuk menangkapnya. Tapi pada akhirnya, Yudha berhasil. Tanpa kata, Gladys berbalik badan dan kembali ke kamarnya sendiri.
"Ish... Bencana apa gue semalam bisa tidur sama dia." gerutu Yudha sambil membawa ponselnya serta menutup pintu kamar hotelnya lagi.
Gue mau sekali lagi.
Gue suka, ini enak.
Suara lo indah banget menyapa telinga gue. Terus mendesah, gue suka.
"Aish... Bisa-bisanya gue muji dia segala." gerutu Yudha lagi.
Rambut pendeknya jadi sasaran remasan tangannya. Dia merasa begitu frustrasi dan tak tahu harus berbuat apa sekarang.
Baru juga Yudha berniat ingin mengisi daya ponselnya, dia dibuat kaget oleh panggilan masuk dari Zulla. Beberapa kali, dia berdehem sebelum menerima panggilannya.
"Hallo, Kak." sapanya berusaha seperti orang baru bangun tidur.
"Kamu tidur sama siapa?"
Rasa-rasanya, jantung Yudha seperti pindah tempat ke bawah mendapat pertanyaan seperti ini dari Zulla.
Apa Kak Zulla tahu, kalau semalam aku tidur sama Gladys?
"Yud..." panggil Zulla lagi.
"Sama siapa? Ya tidur sendiri lah aku." katanya mencoba santai.
Meski bersikap santai di suaranya, tapi sebenarnya Yudha merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari tadi.
"Oh... Aku yang salah denger kali tadi, kirain ada cewek di situ. Soalnya tadi pas aku nelfon, yang ngangkat kayak suara cewek." jelas Zulla.
Gladys ngapain juga sih, main terima aja telfon dari Kak Zulla di HP gue. Gerutu Yudha dalam hati.
"Kak Zulla salah denger kali. Tadi emang aku yang nerima panggilannya, tapi tadi baru bangun banget. Ya mungkin kedengerannya sama Kak Zulla, kayak suara cewek." kekehnya meski tak yakin Zulla akan percaya atau tidak.
"Oh... Iya mungkin."
"Ada apa nelfon tiba-tiba gini, Kak?"
"Bunda cemas banget karena kamu enggak bisa dihubungi. Mending sekarang kamu cepetan kasih kabar ke Bunda deh, biar enggak cemas banget." titah Zulla.
"Iya, aku bakal kasih kabar ke Bunda sekarang."
Sambungan telepon terputus seketika. Yudha menyiapkan mentalnya untuk menghubungi Alexa dan dia akan berusaha bersikap seperti orang baru bangun tidur.
***
Next...