25. Annoyed

1915 Kata
Tak bisa dibohongi lagi, di sepanjang jalan menuju rumah pun Zulla masih mengumpati Lingga tiada henti. Kekesalannya sampai mendarah daging hingga detik ini. Tak habis pikir, kenapa di saat seperti itu harus ada Lingga di sekitarnya. Zulla masih bermain dengan kata andaikan. Banyak yang dia awali dengan kata itu. Semacam, andaikan tadi dia tidak mengajak Lingga meninggalkan Vanko dan Becca. Andaikan Lingga tidak pernah ikut ke mall. Andaikan tadi Zulla tidak mengajak Becca dan Vanko ke mall atas pendengaran Lingga. Andaikan Lingga tidak menjadi teman sebangkunya. Dan masih banyak kalimat yang diawali andaikan di kepala Zulla sekarang. "Hah... Waktu enggak akan pernah bisa diputar ulang." Zulla mendesah pelan di dalam taksi seraya mengurut pelipisnya yang terasa pening. Tangannya kini ganti merapikan tasnya dan menyiapkan uang. Tak lama kemudian, taksi berhenti di depan rumah keluarga Fabiano. Segera saja Zulla turun. Kakinya melangkah gontai melewati gerbang. Bahkan saat satpam dan sopir menyapanya, Zulla hanya mengangguk ogah-ogahan menanggapi mereka. "Kakak pulang." ujarnya pelan tak bersemangat. Sesampainya di rumah, ternyata Zulla mendengar suara berisik di dapur. Gadis itu menuju ke sana untuk mampir minum. Zulla melihat Alexa sedang merapikan meja makan usai makan malam. "Loh... Kakak kapan pulang? Kok Bunda enggak denger teriakannya?" kaget Alexa saat melihat anak sulung suaminya membuka lemari pendingin. Sebelum menjawab, Zulla lebih dulu menghabiskan minuman dinginnya. Gadis itu berharap otak dan hatinya bisa ikut dingin karena ini. Tapi setelah dirasa-rasa, hanya perutnya saja yang terasa dingin. Sedangkan kepala dan dadanya masih panas. "Barusan, Bun." sahutnya lirih tanpa minat. Zulla memasukkan lagi botol berisi air dingin yang dia ambil tadi dan menaruh gelas bekas minumnya ke wastafel. Saat melihat ke meja makan, tidak ada siapa-siapa di sana. "Bunda makan sendirian? Yudha ke mana?" tanyanya heran. "Enggak, tadi Bunda makan sama Ayah. Baru aja Ayah berangkat ke rumah sakit. Kalau Yudha, dia lagi latihan." jelas Alexa secara rinci. Kepala Zulla mengangguk saja. Tak heran kalau Yudha latihan sampai jam sebegini kalau adiknya itu mau lomba. Sudah bukan hal aneh. "Kakak udah makan? Mau Bunda ambilin makan?" Pertanyaan dan tawaran dari Alexa ditolak menggunakan gelengan kepala oleh Zulla. Bukan karena Zulla tidak mau makan masakan Alexa, tapi Zulla sedang tidak bernafsu saja kalau mengingat kejadian tadi. "Kak Zulla emang udah makan?" "Udah Bun, tadi makan steak di kafe bareng temen-temen." angguknya agar Alexa tidak terlalu khawatir padanya. Sekarang ganti Alexa yang menganggukkan kepala paham. Hal biasa juga bagi anak muda makan di luar bersama teman-temannya seperti Zulla sekarang. Alexa juga begitu dulu, sering makan di luar bersama sahabat baiknya yang menjadi adik iparnya. "Aku ke atas dulu ya, Bun." pamit Zulla yang langsung meninggalkan dapur. Alexa melihat kepergian anak gadisnya. Dia mendesah pelan saat mengira bahwa hari-hari Zulla sebagai pelajar begitu berat. Sebagai ibu sambung, Alexa tak ingin terlalu mengekang atau menekan Zulla. Kebebasan namun tetap dalam pengawasan adalah sistem mengasuh anak yang Alexa terapkan sekarang karena wanita itu juga merasa bahwa dia pernah muda. Bahkan sekarang usianya juga masih muda untuk mengurus anak remaja. "Hah... Waktu cepet banget berlalu. Padahal dulu dia masih anak SD berusia tujuh tahun." gumam Alexa tersenyum melihat putrinya tumbuh menjadi gadis pandai yang membuatnya terus merasa bersyukur karena memilikinya. Zulla sampai di kamarnya, dia langsung mengunci pintu kamarnya dan menggantung tasnya ke tempat biasa. Tanpa duduk dulu, Zulla segera menanggalkan seragam sekolahnya dan masuk ke kamar mandi buat membasuh badan. Gadis itu ingin segera mandi, siapa tahu panas yang dia alami cepat hilang. Dua puluh menit berlalu, Zulla sudah keluar dari kamar mandi dan tubuhnya kini terbalut baju tidur berwarna kuning. Warna kesukaannya sedari kecil. Tanpa membuang waktu lagi, Zulla langsung mengeringkan rambut basahnya. "Ish... Kenapa tadi gue ngalah sih? Siapa tahu Om dokter beli n****+ itu bukan buat sepupunya, tapi buat pacar atau gebetannya." Setelah dipikir-pikir, tiba-tiba Zulla menyesali keputusannya tadi yang mengalah dan membiarkan Alfa mengambil n****+ bersampul biru itu. Saat tadi, Zulla tidak berpikir yang aneh-aneh dan dia hanya ingin terlihat baik di depan Alfa meski gagal. Tapi sekarang, Zulla baru kepikiran kalau bisa saja Alfa tadi berbohong padanya. Siapa tahu n****+ itu mau diberikan kepada perempuan yang sedang dia dekati. "Ish... b**o banget sih gue." umpat Zulla atas keputusannya tadi. "Kenapa gue enggak kepikiran sampai sana? Bisa aja 'kan Om dokter enggak jujur." desahnya lagi sembari mematikan hairdryer dan meletakkan di atas meja riasnya. Beres menyisir dan merapikan rambutnya, Zulla melangkah menuju ranjang. Punggungnya begitu merindukan rebahan setelah sekolah lanjut jalan-jalan seharian ini. Zulla kembali teringat pada wajah Alfa saat di toko buku tadi, tampak bahagia dan terus tersenyum. Semakin membuat Zulla curiga saja, apakah Alfa jujur atau bohong padanya. "Apalagi orang dewasa tuh seringnya nyembunyiin hubungan mereka. Bilangnya enggak ada apa-apa, sepupu, temen, rekan kerja, kenalan biasa, tapi tahu-tahunya nyebar undangan nikah." Tak tahu kenapa, Zulla jadi berspekulasi sendiri. Padahal belum tentu juga Alfa berbohong, tapi Zulla jadi sulit percaya. "Aish... b**o, b**o, b**o!" umpatnya lagi memaki dirinya sendiri. Kedua kaki Zulla bergerak secara bergantian bagaikan orang sedang renang di atas kasur. Dia berguling ke kanan, ke kiri dan bahkan beberapa kali Zulla menjambak pelan rambutnya sendiri. Sudah seperti cacing kepanasan di malam hari. "Enggak, Zul! Om dokter enggak mungkin bohong! Gue harus percaya kalau Om dokter beli n****+ itu memang buat sepupunya." Zulla menyentak dirinya beberapa kali agar tidak terlalu larut dalam kejadian tadi. Kepala Zulla menggeleng beberapa kali supaya lebih merasa yakin kalau Alfa bukan tipe lelaki yang suka berbohong. "Arh... Pengen cepet-cepet jadi anak kuliahan, KOAS dan ngedeketin Om dokter." katanya lirih. Inginnya memang segera, tapi mau bagaimana. Zulla saja baru menjadi siswi berseragam putih abu-abu. Dan masih butuh waktu beberapa tahun lagi agar dirinya bisa menjadi mahasiswi. Tak ada yang bisa Zulla lakukan sekarang ini. Kecuali kalau Zulla mau menerima risiko dari Marsel kalau dia mendekati Alfa dari sekarang. Mendekati Alfa buat sekarang bukanlah hal yang mudah bagi Zulla.   ***   Pagi-pagi begini, Zulla diberi suguhan penampilan mesra dari Vanko dan Becca. Hal itu cukup membuat Zulla kesal karena kalaupun dia bisa mendapatkan Alfa, maka dia tidak bisa melakukan hal seperti pasangan ketika di sekolah. Bahkan hari ini, kekesalan di wajah Zulla terlihat sangat kentara. "Gue minta lo dateng pagi, malah berangkat bareng Vanko." semprot Zulla saat Becca lewat di samping bangkunya. Sadar bahwa yang disindir Zulla barusan adalah dirinya, Becca seketika menolehkan kepalanya dan membiarkan Vanko duduk di bangkunya terlebih dahulu. Becca nyengir kuda lalu duduk di bangku Lingga. "Gue enggak berangkat bareng Vanko kali. Kita berdua enggak sengaja ketemu di depan terus ke sini bareng." jelas Becca tak bohong. Bibir Zulla menggumel tanpa suara menirukan apa yang Becca katakan. Hal itu sampai membuat Becca terkikik geli. Tidak biasanya Zulla seperti ini. "Masalah gue enggak berangkat pagi, itu karena tiba-tiba bonyok gue balik tadi subuh. Saking senengnya ngobrol sama mereka, gue jadi lupa waktu. Hehehe... Peace." Becca mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V. Kekesalan Zulla karena Becca tak berangkat pagi seperti apa yang dia inginkan, hilang seketika saat dia mendengar orang tua Becca pulang. Tak bohong, Zulla ikut senang mendengarnya. "Eum... Gue maafin. Tapi gue minta ganti rugi." Masih tetap saja, walau kekesalan Zulla hilang, tapi dia tetap tidak mau rugi. Zulla masih ingin meminta waktu pribadi Becca agar bisa bercerita tentang kejadian kemarin saat di toko buku. Kening Becca mengerut, dia memikirkan apa yang sekiranya ingin Zulla ceritakan sampai temannya seperti ini. "Oke, lo minta apa?" angguk Becca menyanggupi seraya bertanya apa yang sebenarnya Zulla inginkan. Zulla melambaikan tangannya meminta Becca mendekat sampai membuat Vanko yang duduk di belakang begitu penasaran. Becca ikut saja apa yang diminta Zulla. Kepala berbentuk oval itu mendekati Zulla dan tiba-tiba temannya membisikkan sesuatu di telinganya. "Oke." angguk Becca setuju. "Kalian yakin enggak mau ngasih tahu gue juga?" Vanko memajukan badan atasnya sampai di tengah-tengah antara Zulla dan Becca. Vanko melihat Becca, berharap kekasihnya itu mau memberi tahunya. Tapi Becca hanya tersenyum padanya lalu menatap ke depan. Kali ini ganti Vanko menatap Zulla, tapi respons gadis itu tidak beda jauh seperti Becca. "Ini urusan cewek, lo enggak boleh tahu." kata Zulla karena Vanko tak juga berhenti melihatnya. "Emang ada yang kek gitu? Enggak usah bohong." Vanko tak percaya akan alasan yang diberikan Zulla. "Ada lah, contohnya kalau Becca datang bulan tiap bulan. Dia enggak mungkin cerita ke lo, pasti ke gue. Itu yang nama- empt...." bibir Zulla terbungkam oleh tangan Becca. Seketika, Vanko merasa blank dalam waktu beberapa menit usai mendengar Zulla mengatakan tentang datang bulan. Hal yang tidak banyak dia ketahui karena Vanko tidak mengalaminya. Lelaki itu hanya tahu kalau setiap perempuan memang mengalaminya setiap bulan. Tapi Vanko tidak pernah tahu apa yang perempuan rasakan di saat mereka mengalami tanggal merah. Apa yang dikatakan Zulla tidak salah. Selama ini, Vanko tidak pernah tahu kapan Becca datang bulan di setiap bulannya. Becca tidak pernah mengatakan hal itu sedikit pun padanya. Dan Vanko juga tidak pernah merasa penasaran lebih dalam. Jika Vanko sedang mencoba mengembalikan kesadarannya, berbeda dengan Becca yang menahan malu karena Zulla dengan mudah mengatakan hal yang begitu privasi buat dibagi dengan lelaki. Sedangkan Zulla, dia berhasil menangkis tangan Becca. Tawanya menggelegar di antara Becca dan Vanko melihat ekspresi kedua temannya. "Mulut lo rusuh banget sih." Becca jadi sedikit kesal pada Zulla, tapi tak digubris olehnya dan tetap tertawa. "Jadi asli, Becca enggak pernah cerita kalau dia lagi dapet?" Zulla semakin ngakak saja. Mata Becca kembali melebar sempurna karena Zulla mulai menyinggung lagi tentang hal itu. Ingin sekali Becca menginjak kaki Zulla agar temannya itu diam. Tapi Becca juga tidak setega itu menyakiti Zulla. "Ya ampun, seger banget pagi-pagi masuk kelas disuguhin ketawanya My Princess." Suara dan kata-kata yang membuat Zulla berhenti tertawa seketika. Mood-nya musnah bersama dengan napas mulutnya yang menguap barusan. Zulla bahkan malas hanya sekedar melirik ke arah Lingga. Memangnya, siapa lagi yang memanggilnya My Princess kalau bukan Lingga. "Apa lo lihat-lihat?" sengak Becca saat Lingga melihatnya tanpa berhenti. "Hehehe... Gue mau duduk." cengirnya. Mana berani Lingga mengusir Becca secara terang-terangan. Jadinya, dia menggunakan kata-kata halus saja agar Becca peka. "Becca duduk sama gue." sahut Zulla cepat tanpa menatap ke arah Lingga. "Eum... Gue duduk di sini. Lo bisa duduk di belakang." tunjuk Becca pada bangkunya yang kosong. "Kenapa tiba-tiba begini?" Bukan Lingga yang bertanya, tapi Vanko yang baru sadar dari perkataan Zulla. Lelaki berdagu tirus itu juga kaget mendengarnya. Lingga mengangguk, mengiyakan pertanyaan Vanko. "Bosen gue duduk sama lo." suara Zulla masih terdengar sewot. Becca memberi isyarat pada Lingga agar dia mau duduk di belakang bersama Vanko. Paling tidak untuk sementara waktu sampai kekesalan Zulla pada Lingga lenyap. Lamun, Lingga tak kunjung paham dan malah membuat Becca ikut bertambah kesal. "Lo duduk di belakang bege!" sentak Becca pelan seraya berdiri lalu di mendorong tubuh Lingga agar mau duduk di belakang. "Ish... Cewek lo garang banget sih, Van." Lingga mendesah mendapat perlakuan sedikit kasar dari Becca. Ekor mata Vanko melirik Lingga. Lelaki itu yakin, pasti ada sesuatu yang terjadi kemarin kalau Zulla sampai enggan duduk bersebelahan dengan Lingga lagi. Semakin penasaran saja Vanko untuk mengetahui apa yang tadi Zulla bisikkan ke telinga Becca. Tidak mungkin kalau hanya sekedar membahas tentang datang bulan atau masalah lainnya yang hanya dialami oleh para wanita. "Perasaan lo aja kali. Becca sama gue lembut-lembut aja." balas Vanko agar tidak kelihatan kalau dia sedang memerhatikan Zulla dan Becca. Perkataan Vanko barusan, tanpa sadar mampu membuat Becca tersenyum. Dia senang mendengar Vanko mengatakan bahwa dia orang yang lembut. Hening, di antara empat remaja itu tidak terjadi obrolan. Mereka sama-sama diam dan sibuk sama pikiran masing-masing. Tapi beda dengan Lingga yang hanya fokus pada Zulla meski hanya bisa melihatnya dari belakang. *** Next...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN