"Selamat pagi, dok." sapa sebuah keluarga pasien yang anggota keluarganya dirawat oleh Alfa.
"Pagi..." sapanya balik secara ramah.
Dokter tampan yang memiliki cekung di pipi serta senyuman manis itu baru saja selesai memeriksa beberapa pasien yang dirawat atas tanggung jawabnya.
Setelah berjaga semalaman, Alfa akan langsung pulang pagi ini. Tubuhnya terasa lelah, ingin segera dia mandi dan berbaring di atas ranjang empuknya.
"Pak dokter, saya boleh minta waktunya sebentar enggak?"
Dalam perjalanan melewati beberapa kamar rawat, tiba-tiba ada seorang perempuan yang mencegat Alfa dan mengajaknya bicara. Alfa menoleh ke sekitar dan dia mengangguk lalu mengikuti ke mana perempuan itu mengajaknya. Ternyata, wanita itu mengajak Alfa ke kantin rumah sakit.
"Pak dokter pasti belum sarapan 'kan, biar saya pesankan makanan dulu."
Alfa sudah berusaha mencegah dan ingin menolak karena dia tidak mau berlama-lama di sana. Tapi gadis itu seperti tidak mengindahkan penolakan Alfa dan tetap memesan dua porsi nasi soto lalu kembali ke tempatnya.
"Maaf, Bu. Tapi saya tidak punya banyak waktu." tolak Alfa penuh sopan santun.
"Hanya sebentar saja, dok. Dan tolong, jangan panggil saya Bu." pintanya disertai dengan nada candaannya.
"Kalau Mbak Hani mau menanyakan tentang kondisi Pak Haris, bisa langsung datang ke ruangan saya. Tapi untuk sekarang, saya sudah harus pulang. Jam kerja saya sudah habis." ujar Alfa mencoba membuka obrolan.
"Maaf, tapi saya sedang tidak ingin membicarakan tentang Papa saya." senyum perempuan yang bernama Hani.
Alfa mengangguk saja, dia memilih diam daripada berbicara hal yang menyinggung Hani nantinya akan membuatnya merasa bersalah.
"Ini buat dokter."
Setangkai mawar merah disodorkan oleh Hani pada Alfa. Jujur saja, Alfa tidak paham kenapa tiba-tiba putri dari salah satu pasiennya memberinya bunga mawar. Padahal sekarang bukan hari ulang tahunnya. Dan lagi pula, kalau dia sedang berulang tahun juga tidak mungkin Hani tahu.
"Kalau Mbak Hani mau berterima kasih, tidak perlu memakai bunga segala." Alfa masih berusaha sopan.
"Saya mengajak dokter Alfa ke sini, untuk membicarakan tentang perasaan saya ke Pak dokter. Beberapa minggu selalu bertemu dengan Anda, melihat Anda begitu perhatian pada Papa saya, membuat hati saya bergetar. Dan setiap saya melihat dokter, jantung saya berdebar kencang." kata Hani mengakui perasaannya bahwa dia menyukai Alfa.
"Saya tahu, Anda berusaha mengambil hati saya lewat Papa saya dan apa yang Anda lakukan berhasil. Anda berhasil mengambil hati saya, dok." lanjut Hani, dengan kata-kata yang semakin tidak diduga oleh Alfa.
Alfa terpaku, dia tidak menyangka kalau pagi-pagi begini mendapat pengakuan dari orang yang bisa dibilang asing dengannya. Selain karena hanya sekedar dokter dan wali pasien, tidak ada lagi kisah antara mereka yang terjadi di luar itu.
"Tapi, Mbak..."
"Saya tahu apa yang mau Anda katakan. Kita berdua sudah sama-sama dewasa. Saya siap kalau kita langsung saja ke pernikahan tanpa pacaran. Lagi pula, umur kita juga sudah matang untuk membangun rumah tangga. Saya siap menjadi ibu dari anak-anak Pak dokter. Saya akan senantiasa melayani Anda sebaik mungkin, menjadi istri dan ibu yang baik. Tapi saya juga mau, dokter tetap mengizinkan saya bekerja setelah menikah nanti. Karena menjadi pengacara adalah cita-cita saya."
Alfa tak tahu, kenapa ada perempuan yang nyalinya sebesar ini. Padahal, Hani belum tahu bagaimana perasaannya sebenarnya.
"Saya..."
"Saya setuju saja, Pak dokter mau konsep bagaimana. Mau indoor, outdoor, mau adat mana saja, saya setuju. Untuk undangan pernikahannya, kebetulan saya punya teman yang memiliki percetakan dan akan saya pastikan harganya bisa lebih murah. Buat katering, nanti kita bisa mencarinya bersama." lanjut Hani kembali menyela kata-kata Alfa.
"Mbak, tolong..."
"Iya dok, saya paham. Meski nanti saya sibuk sebagai seorang pengacara, tapi saya akan tetap memerhatikan keluarga. Terutama urusan Pak dokter, sebisa mungkin saya tidak akan lalai dan akan selalu mengutamakan Anda lebih dari apa pun."
Emosi Alfa sudah sampai di ubun-ubun. Tangannya terkepal kuat-kuat. Dia kesal dan marah karena Hani tidak mau mendengar kata-katanya dulu dan selalu bicara apa saja yang ada di pikiran Hani.
"Mbak Hani, sa..."
"Buat fitting baju pengantin dan foto prewedding, saya ikut jadwal Pak dokter saja. Kapan pun Anda ada waktu, saya usahakan bisa." sela Hani lagi.
"Saya tidak akan ada waktu untuk memikirkan hal itu." ujar Alfa secepat kilat sampai membuat Hani melongo karena tak paham apa yang barusan Alfa katakan. Mungkin kalau tidak bicara cepat, kata-katanya bisa disela oleh Hani lagi.
"Maaf, Pak dokter barusan bilang apa?" dengan tak punya malunya, Hani menanyakan hal itu dan semakin membuat Alfa marah.
Sembari meredam amarah yang terkumpul di dalam relung jiwanya, Alfa memejamkan diri sebentar dan menarik napas panjang lalu dia menatap Hani serius. Hal ini, membuat jantung Hani berdegup kencang dan menjadi salah tingkah. Hanya seperti ini saja!
"Kita tidak saling kenal lebih dari dokter dan keluarga pasien. Jadi saya mohon, Mbak Hani bersikap sewajarnya saja. Lagi pula, saya tidak memiliki waktu untuk mengurusi ilusi Mbak Hani sampai sejauh itu." katanya cukup tajam untuk sebuah penolakan yang singkat dan begitu jelas.
Alfa berdiri, tidak ada niatan untuk terus berada di sana lebih lama lagi. Apalagi mendengar ocehan ngelindur Hani yang tidak mungkin dia wujudkan. Membayangkan menjalin kasih dengan wanita itu saja tidak, apalagi menikah.
"Maaf kalau saya lancang berbicara seperti itu, kalau begitu saya permisi." pamitnya sopan meninggalkan Hani di kantin rumah sakit sendirian tanpa memikirkan soto yang sudah dipesan akan siapa yang bakal memakannya.
Ketakutannya tentang menyakiti atau menyinggung keluarga pasien tadi berubah menjadi kelegaan. Lagi pula, dia punya hak untuk menerima atau menolak. Terlebih lagi, ini konteksnya beda. Bukan tentang pasien yang mereka bicarakan.
Tanpa menghiraukan perasaan Hani, segera Alfa ke ruangannya dan mengganti jasnya. Tapi tanpa sadar, dia membawa bunga mawar pemberian Hani tadi sampai di ruangannya.
"Kenapa juga kamu ikut-ikutan ke sini?" desahnya sambil melemparkan mawar merah di tangannya ke meja secara kasar.
“Ya, lagi pula kamu tidak salah. Kamu cuma bunga yang ditanam, dipetik, lalu dijual dan kamu tidak bisa memilih siapa yang akan membelimu.” desahnya sembari menggantungkan jas dokternya di gantungan baju yang ada di ruangannya.
Cepat-cepat Alfa mengemasi barangnya dan bersiap pulang. Bunga mawar tadi kembali dia ambil untuk dibuang di tempat sampah. Tapi dia tidak mau membuangnya di tempat sampahnya sendiri, takut nanti ada gosip beredar tentangnya yang disukai keluarga pasien. Akhirnya, Alfa menyembunyikan bunga di tangannya menggunakan tas agar tidak ada yang melihat. Sebelum benar-benar turun, tentunya Alfa akan mampir ke mesin finger print untuk absen terlebih dahulu.
"O', Om dokter." pekik Zulla ketika tak sengaja bertemu Alfa yang baru selesai absen.
"Loh... Kamu pagi-pagi sudah di sini. Ada perlu sama dokter Marsel?"
"Iya..." angguknya cantik.
"Om dokter mau pulang atau baru datang?" Zulla sengaja berbasa-basi agar perbincangan mereka berlanjut.
"Ini saya baru mau pulang. Kamu mau ke mana?" tanyanya sambil masuk ke lift khusus, dan diikuti oleh Zulla tanpa ragu.
Hanya ada mereka berdua di sana, karena memang tidak sembarang orang yang bisa lewat sana. Sementara Zulla, dia malah lebih sering lewat lift itu kalau sedang bersama Marsel.
"Oh... Gitu." angguk Zulla.
Dari sudut ekornya, Zulla tak sengaja melihat setangkai bunga mawar yang digenggam Alfa. Dia jadi penasaran, itu bunga dari siapa atau untuk siapa. Tapi Zulla tidak berani menanyakannya.
Ting!
Dengan langkah perlahan, kedua anak manusia itu keluar melewati pintu lift secara hati-hati. Niatnya, Zulla akan pulang menggunakan taksi saja. Tapi lagi-lagi dia mendapatkan tawaran dari Alfa untuk pulang bersamanya.
"Makasih Om, udah bikin aku ngirit ongkos lagi hehehe..." kekeh Zulla sembari membuka pintu mobil dan duduk manis di samping Alfa yang sedang sibuk memakai sabuk pengaman.
Satu hal lagi yang baru Zulla sadari, Alfa lagi-lagi tidak menuju basement langsung melainkan lewat pintu depan bersamanya. Mungkinkah memang Alfa ingin melakukannya atau dia melakukan itu karena Zulla? Gadis itu juga tidak tahu yang mana kebenarannya.
"Hahaha... Sebenarnya tidak gratis sih." godanya sambil melajukan mobilnya meninggalkan area rumah sakit.
"Jadi, kali ini aku disuruh bayar begitu?" dengusnya pura-pura kesal.
Tawa renyah dari bibir Alfa terdengar di daun telinga Zulla. Bagi Zulla, semua yang ada di dalam diri Alfa membuatnya kecanduan. Di sela-sela kekocakan tingkah mereka, Zulla masih melirik-lirik mawar yang masih disembunyikan Alfa.
Untuk membuat Alfa menunjukkan bunga itu, Zulla sengaja menyalakan radio. Dia sebenarnya sudah hafal dengan area depan di dalam mobilnya Alfa, tapi dia punya rencana sendiri.
"Om, kalau yang buat ganti channel yang mana ya? Aku lupa." tanyanya sambil berpura-pura mencari-cari tombol yang dipakai mengganti stasiun radio.
Alfa ikut melihat ke mana arah Zulla melihat sambil sesekali memperhatikan jalan agar tidak terjadi hal-hal tak diinginkan.
"Yang ini." tunjuknya sambil menekan salah satu tombol di sana menggunakan tangan kirinya.
Dan, usaha Zulla berhasil. Tanpa sengaja dan tanpa sadar, Alfa memperlihatkan bunga mawar di tangannya tadi kepada Zulla. Hal ini membuat Alfa sedikit kaget, tapi Zulla masih bersikap biasa saja seolah-olah tak tahu apa-apa. Namun akhirnya, Zulla sok-sokan kaget sambil tersenyum ceria menatap Alfa.
"Wah... Om Alfa mau ketemu ceweknya ya?" godanya.
Anjir... Mulut gue lemes bener. Rutuknya dalam hati.
"Cewek apaan? Enggak ada. Nih buat kamu aja bunganya." Alfa meletakkan bunga tadi ke tangan Zulla begitu saja sehingga hampir terjatuh tapi Zulla menahannya dengan apik.
Jantung Zulla berdetak tiga ribu kali lipat, bagaikan sedang naik roller coaster di Negeri Tirai Bambu. Pagi-pagi, tidak sengaja bertemu, diantar pulang, lalu diberi bunga. Tepat sekali, hal yang bisa membuat Zulla salah paham pada Alfa.
Om dokter juga suka sama aku? Tanyanya dalam hati masih sambil mengontrol perasaannya.
***
Dengan segenap usaha menyembunyikan tangkai bunganya di balik jaket yang dia pakai agar tidak terlihat oleh anggota rumah lainnya, akhirnya Zulla berhasil membawanya sampai kamar dengan selamat. Segera dia mencari vas kaca di salah satu laci mejanya dan diisi air agar bunganya tidak layu.
"Tenang aja, gue bakal jagain lo. Jangan layu cepet-cepet ya." Zulla bahkan sampai berbicara pada bunga yang sudah dia taruh di vas barusan.
Senyumnya tak bisa pudar, khas orang jatuh cinta pada umumnya. Bayangan Alfa ketika memberinya bunga tadi terus saja terputar di otak Zulla bagai kaset rusak.
Kini, dia duduk di kursi yang selalu dia duduki ketika sedang belajar. Kotak P3K milik Alfa yang masih dia simpan, dia keluarkan dari dalam laci. Lollipop yang sudah lama tidak dia lihat itu kini dia perhatikan lagi. Berulang kali dia menatap lollipop lalu ke bunga kemudian ke lollipop lagi. Terus saja begitu sampai beberapa kali.
"Haruskah aku mengungkapkan perasaanku ke Om Alfa sekarang?" tanyanya pada dua benda yang dia miliki dan sama-sama ada hubungannya dengan Alfa.
Perasaan berdebar-debar masih saja mengikuti Zulla meski dia sudah tidak bersama Alfa. Hanya karena melihat lollipop dan mawar saja bisa membuat jantungnya tak karuan. Tanpa Zulla tahu bahwa bunga itu sebenarnya dikasih oleh perempuan yang menyukai Alfa tapi perasaannya langsung ditolak begitu saja.
***
Next...