Bagian 4
"Aira … Aira! Cepat kemari!"
Suara ibu mertua mengagetkanku yang masih berbaring di atas ranjang. Mungkin karena kurang tidur semalam, sehingga kepalaku terasa pusing.
Kulihat bantal dan selimut Mas Mulya, masih rapi. Berarti semalam Mas Mulya tidak pulang.
"Aira … Aira! Cepat ke sini. Buruan! Lelet amat, sih!" Masih terdengar teriakan Ibu dari lantai bawah.
Aku buru-buru mencuci muka dan memakai Khimar. Kemudian, aku segera menghampiri Ibu.
"Mana sarapan buat ibu? Kenapa kamu belum juga menyediakannya? Dasar menantu malas," bentak Ibu.
"Kan ada Bi Inah! Kenapa Ibu tidak menyuruh Bi Inah saja untuk membuat sarapan?" protesku.
"Kamu ini ya, dibilangin malah ngeyel. Orang hamil itu nggak boleh malas. Harus banyak gerak!"
"Kan biasanya Bi Inah yang melakukan semuanya! Maaf, Bu, Aira nggak bisa. Aira harus mandiin anak-anak sekarang." Aku kemudian meninggalkan Ibu yang masih mengomel.
"Tunggu, Aira!"
Suara seseorang menghentikan langkahku. Mas Mulya ternyata sudah pulang.
"Kamu enggak dengar perintah Ibu barusan?" tanya Mas Mulya, ia menatapku dengan tatapan tajam.
"Mas sudah pulang? Kenapa semalam Mas enggak pulang? Teleponku tidak diangkat dan pesanku juga tidak dibalas. Kenapa, Mas?"
"Aira, kamu nggak dengar perintah Ibu?" tanya Mas Mulya lagi. Sepertinya ia sengaja mengalihkan pembicaraan agar aku tidak membahas hal itu lagi.
"Bukan begitu, Mas! Aira 'kan harus memandikan anak-anak." Aku membela diri karena jujur saja, aku malas disuruh-suruh oleh Ibu.
"Alah, alasan saja! Bilang saja kalau kamu malas," sahut Ibu.
"Aira, biarkan anak-anak mandi sendiri agar mereka bisa mandiri. Sekarang, kamu pergi ke pasar. Beli daging dua kilo, terus kamu masak. Habis itu kamu makan yang banyak dagingnya. Kata teman-temanku jika makan daging banyak-banyak, besar kemungkinan melahirkan anak laki-laki!"
Apa lagi ini? Aku bisa kena darah tinggi jika makan daging sebanyak itu.
"Kamu harus bisa melahirkan anak laki-laki. Jika tidak, terpaksa Mas harus menikah lagi." Mas Mulya mengancamku.
"Iya, betul itu. Tuh dengerin," sambung Ibu.
Kembali hati ini teriris. Aku khawatir jika anak yang ada dalam kandunganku ini perempuan, maka dipastikan ayahnya tidak akan menyayanginya. Bahkan Mas Mulya mengancam akan menikah lagi jika keinginannya tidak terkabul.
Aku memilih diam. Malas berdebat dengan ibu mertua dan suamiku. Aku harus mengontrol emosi. Jika aku menuruti emosiku, ditakutkan akan berpengaruh buruk pada janinku.
"Ngapain masih bengong disini, Aira," tanya Mas Mulya.
"Baiklah, Mas!" jawabku pasrah.
"Ya sudah, Mas pamit dulu. Ada urusan!"
"Loh, Mas 'kan baru pulang, mau ke mana lagi pagi-pagi begini?"
"Mas hanya ingin berganti pakaian saja, habis itu pergi lagi. Masih banyak urusan," jawabnya singkat.
"Hey Aira, nggak usah kamu halang-halangi suamimu, dia itu urusannya banyak." Ibu mertua kembali ikut campur.
"Nanti Mas pulang agak cepat ya, jangan malam lagi," pintaku. Tetapi, Mas Mulya tidak menjawab.
Saat aku hendak mencium punggung tangannya, Mas Mulya menepisnya. "Mas buru-buru."
Semakin hari, sikap Mas Mulya semakin dingin terhadapku. Setelah ia tahu bahwa anak yang ada dalam kandunganku ini berjenis kelamin perempuan, ia seolah-olah tidak peduli lagi terhadapku.
***
Saat pulang dari pasar, tanpa sengaja aku melihat mobil Mas Mulya terparkir di depan sebuah kost-kostan khusus perempuan. Aku tahu itu kost-kostan khusus perempuan karena dulu teman kuliahku pernah kost di situ.
Aku memperhatikan plat mobil tersebut untuk memastikannya. Benar, itu adalah mobil Mas Mulya.
Ngapain mobil Mas Mulya pagi-pagi berada di kawasan kost-kostan yang diperuntukkan khusus perempuan? Apa yang dilakukan suamiku di sini?
Berbagai pikiran negatif pun muncul begitu saja. Aku harus memastikannya sendiri agar semuanya jelas.
"Pak, saya turun disini saja ya," ucapku kepada supir taksi yang aku tumpangi.
Saat aku hendak turun, aku melihat Mas Mulya berjalan bergandengan dengan seorang perempuan. Kemudian mereka masuk ke dalam mobil. Lalu mobil tersebut pun melaju dengan kecepatan sedang.
Siapa perempuan itu? Kenapa Mas Mulya menggandeng tangannya? Ada hubungan apa antara suamiku dengan perempuan itu? Berbagai pertanyaan menari-nari di dalam otakku.
"Saya nggak jadi turun disini ya, Pak. Bapak tolong ikuti mobil itu, jangan sampai kehilangan jejaknya," pintaku kepada supir taksi tersebut sambil menunjuk mobil Mas Mulya yang melaju di depan kami.
Jangan tanya bagaimana perasaanku. Hatiku sungguh sakit melihat suamiku menggandeng perempuan lain dan satu mobil dengannya.
"Jaga jarak ya, Pak! Jangan sampai mereka curiga."
"Baik, Neng!" Pak supir mengangguk patuh. Beliau terlihat fokus mengikuti mobilnya Mas Mulya dengan jarak yang lumayan jauh sesuai dengan perintahku.
Aku mengambil ponsel dan menghubungi nomor Mas Mulya, tetapi tidak diangkat. Lalu aku berinisiatif untuk mengirimkan pesan padanya.
"Mas di mana? Mas udah makan belum?" tanyaku berbasa-basi.
Tapi pesanku juga tidak kunjung dibalas.
Perasaanku semakin tidak tenang saat
Mobil Mas Mulya memasuki kawasan hotel bintang lima yang cukup terkenal di kota ini.
Apa yang akan Mas Mulya lakukan di hotel itu? Kenapa masuk hotel segala?
Dari kejauhan, kulihat Mas Mulya turun. Ia kemudian membukakan pintu dan mempersilakan perempuan itu untuk turun. Perempuan seksi yang memakai dress di atas lutut itu pun turun dari dalam mobil.
Sungguh romantis sekali, aku saja tidak pernah diperlakukan seperti itu.
Dadaku semakin bergejolak menahan emosi yang telah sampai ke ubun-ubun.
Ingin rasanya kulabrak mereka berdua. Tapi niatku kuurungkan. Aku harus mengumpulkan bukti terlebih dahulu. Aku tidak boleh ceroboh.
Jika benar kalau Mas Mulya telah bermain serong di belakangku, maka aku tidak akan memaafkannya.
Rumah dan usaha yang dikelola Mas Mulya adalah harta peninggalan orang tuaku. Tidak ada haknya di dalamnya. Akan kupastikan Mas Mulya menjadi gembel jika ia terbukti selingkuh.
Kuambil foto mereka berdua dari jarak yang lumayan jauh. Ini akan kujadikan bukti. Pasti suatu saat aku akan membutuhkannya.
Aku memutuskan untuk kembali ke rumah, takut anak-anak terlalu lama menungguku.
***
"Beli daging dua kilo aja lamanya minta ampun," sindir Ibu ketika aku sampai di rumah.
"Maaf, Bu! Tadi jalanan macet!" Aku sengaja berbohong agar Ibu tidak tahu apa yang tadi kulakukan.
"Ya sudah! Cepat sana, masak dagingnya. Nanti kalau sudah selesai, siapkan di meja makan! Lalu pangil ibu."
Ibu mertuaku seenaknya saja menyuruh-nyuruhku. Aku sudah seperti pembantu saja dibuatnya. Jika saja ia bukan ibu mertuaku, aku pasti sudah meremas bibirnya saking cerewetnya.
"Aduh … perut Aira sakit, Bu! Suruh Bi Inah saja ya, Aira mau istirahat." Aku kemudian masuk ke kamar anak-anak dan menguncinya dari dalam. Aku lebih senang menemani anak-anak daripada harus menuruti perintah ibu mertuaku yang super cerewet itu.
Aku menantu, bukan pembantu. Seenaknya saja ibu mertua menyuruh-nyuruhku. Aku bukan orang bodoh yang mau ditindas terus-menerus.
Setelah puas menemani anak-anak bermain, aku kembali ke kamar dan merebahkan diri di atas ranjang.
Tiba-tiba, mataku tertuju pada kemeja Mas Mulya yang digantung di salah satu paku dinding kamar. Entah kenapa, aku begitu penasaran untuk memeriksanya karena kemeja itu yang dipakai Mas Mulya semalam.
Aku yang memang menaruh curiga terhadap tingkah suamiku akhir-akhir ini, memberanikan diri untuk memeriksa kantong baju tersebut.
Ternyata kecurigaanku benar. Kutemukan nota pembelian cincin dan kalung emas yang nominalnya mencapai puluhan juta.
Mas Mulya tidak pernah memberiku hadiah. Lantas, untuk siapakah cincin dan kalung emas tersebut? Apakah Mas Mulya memberikannya untuk perempuan yang tadi kulihat bersamanya?
Jika Terbukti Mas Mulya bermain serong di belakangku, maka aku tidak akan tinggal diam. Aku akan mengembalikan Mas Mulya ke asalnya yang semula. Mungkin Mas Mulya sudah lupa, siapa dirinya sebenarnya.
Bersambung