Kamu Bisa, Aku Pun Bisa

1066 Kata
Bagian 6 Lagi, karena rasa penasaranku, kubuka galeri ponselnya Mas Mulya. Mataku terbelalak saat melihat fotonya bersama perempuan itu. Mereka sedang tiduran sambil berpelukan. Mas Mulya hanya memakai hawai, sedangkan perempuan itu hanya memakai tank top. Hampir saja aku melemparkan ponsel ini karena tidak sanggup melihat foto mesra suamiku dengan perempuan itu. Tetapi, seketika aku sadar. Aku harus bisa mengontrol emosi. Sebisa mungkin, kuredam emosiku yang sudah bergejolak. Membaca chat mesra, serta melihat foto itu membuat dadaku semakin sesak. Tak bisa lagi kutahan bulir bening yang mulai menetes. Aku bukanlah wanita tangguh yang akan tetap kuat walau disakiti. Aku hanyalah manusia biasa yang hanya bisa menangis saat disakiti. Air mata ini adalah bukti, betapa hatiku sangat hancur saat ini. Saat ini juga, aku bertekad untuk membalas perlakuan suamiku. Setelah sadar, aku cepat-cepat mengelap air mata dengan punggung tangan. Tidak ada gunanya menangisi lelaki penghianat seperti Mas Mulya. Secepat kilat, kukirimkan lagi foto dan chat mesra tersebut ke ponselku. Suatu saat aku pasti membutuhkan foto in. Begitu mendengar suara pintu kamar mandi terbuka, aku langsung meletakkan ponsel Mas Mulya di tempatnya semula. Aku pura-pura merapikan sprei, agar Mas Mulya tidak curiga kalau aku sudah mengecek ponselnya. Saat Mas Mulya berpakaian, aku pun duduk dipinggir ranjang. Pikiranku mengembara, memikirkan penghianatan yang dilakukan oleh suamiku sendiri. Jujur, aku jijik melihat suamiku sendiri. Tubuhnya sudah kotor, ia sudah tidur dengan perempuan lain. Mas Mulya juga sudah menanamkan benihnya di rahim perempuan selingkuhannya itu. Aku enggan berbicara dengannya. Aku muak melihatnya. Rasanya aku ingin cerai saja darinya. Tetapi itu semua mustahil, mengingat saat ini aku sedang berbadan dua. Saat tersadar dari lamunan, kulihat Mas Mulya tidak memakai baju yang telah kusiapkan diatas kasur tadi. Tetapi, ia malah memilih sendiri baju yang akan dipakainya. Aku masih tetap diam, begitupun Mas Mulya. Sesekali, aku meliriknya. Ia terlihat berbeda malam ini. Sepertinya suamiku akan menghadiri sebuah acara penting. Tapi aku tidak tahu ia mau pergi kemana, karena aku tidak diberitahu sama sekali. "Mulya … ayo buruan! Nanti kita terlambat!" Terdengar suara Ibu memanggil Mas Mulya dari luar. "Iya, Bu! Sebentar." Mas Mulya buru-buru memakai jam tangannya. Menyemprotkan parfum, kemudian mengambil kunci mobil. "Mas pergi dulu," ucap Mas Mulya sambil mengambil dompet dan memasukkannya ke saku celananya. Kemudian ia menghampiri Ibu yang sudah menunggu di depan pintu kamar. Aku pun menghampiri suami dan ibu mertuaku tersebut untuk menanyakan mau pergi kemana mereka. Karena aku sama sekali tidak diberitahu. Saat di dalam kamar pun, Mas Mulya tidak memberitahu apa-apa. "Bu, Mas, mau pergi kemana?" tanyaku penasaran. "Kami ada acara pertemuan keluarga," jawab Ibu cuek. "Ayo Bu, buruan. Jangan sampai kita terlambat. Dia sudah otewe." "Ayo," sahut ibunya. "Tunggu! Ada acara pertemuan keluarga? Kenapa Aira dan anak-anak tidak diajak?" tanyaku kepada suami dan mertua. Jika aku tidak diajak ikut serta, berarti aku tidak dianggap sebagai bagian dari keluarga mereka. "Kamu nggak usah ikut, Ra. Kamu di rumah saja. Lagian, repot mau pergi kemana-mana kalau perut kamu sudah buncit seperti ini," ucap Mas Mulya sambil merapikan kerah baju kemejanya. "Iya, dengerin tuh, kata suamimu. Lagian, kamu bisa mengacaukan segalanya jika kamu ikut dalam acara itu," sahut Ibu, tatapannya begitu sinis. "Maksud Ibu, apa? Ngomong seperti itu?" Jelas saja, aku tersinggung dengan ucapan ibu mertua yang mengatakan kalau aku akan mengacaukan acara mereka jika aku ikut bersama mereka. "Udah, ah. Lebih baik kita pergi saja, yuk?" Ibu pun menarik tangan Mas Mulya. Saat Ibu dan Mas Mulya sedang menuruni anak tangga, tiba-tiba Nisa berlari menaiki tangga, kemudian memeluk ayahnya. Kamar anak-anak memang berada di bawah, sedangkan kamarku dan Mas Mulya berada di lantai dua. "Ayah, Nisa kangen," ucap Nisa sambil memeluk kaki ayahnya. Tubuh Nisa yang masih kecil, hanya mampu menggapai kaki ayahnya. Diluar dugaanku, Mas Mulya melepaskan tangan Nisa secara kasar. "Apa-apaan, sih, pake peluk-peluk segala? Ayah buru-buru!" "Maaf, Ayah. Nisa cuma mau peluk Ayah sebentar aja. Nisa kangen Ayah," ucap Nisa dengan polosnya. "Ya udah deh, kalau Ayah lagi sibuk, Nisa peluk Nenek saja ya!" Nisa pun beralih memeluk neneknya. "Nisa sayang Nenek." "Lepasin! Tanganmu kotor, nanti baju Nenek kotor," bentak Ibu kepada Nisa. Nisa memperhatikan kedua telapak tangannya. Gadis kecil itu terlihat mengernyitkan keningnya. "Tangan Nisa enggak kotor kok' Nek, kenapa Nenek nggak mau meluk Nisa?" Nisa mulai menangis. "Udah, nggak usah cengeng. Sana main sama kakak dan adikmu." Ibu malah mendorong bahu Nisa. "Iya, sana! Jangan ganggu Ayah sama Nenek. Ayah masih banyak urusan," sambung Mas Mulya. Nisa terlihat begitu sedih dan kecewa karena Ayah dan Neneknya tidak mau memeluknya walau hanya sebentar. Aku yang sedari tadi menyaksikan bagaimana perlakuan Mas Mulya dan Ibu kepada Nisa, merasakan sakit hatiku kian bertambah berkali-kali lipat. Aku masih bisa terima jika Mas Mulya mengabaikanku. Tetapi, tidak bisa kuterima jika Mas Mulya sudah bersikap kasar pada anak-anak dan melukai perasaan mereka. "Mas, Bu, apa susahnya sih, meluk Nisa sebentar saja, nggak akan makan waktu lama kok. Nisa hanya pingin meluk kalian sebentar saja." Aku yang sudah tidak tahan, akhirnya mendekati mereka. "Aira, kamu 'kan tahu kalau Mas dan Ibu akan menghadiri acara penting. Jika Nisa mengotori baju kami, gimana?" Mas Mulya membentakku dan menatapku dengan tatapan tajam. "Iya nih. Harusnya kamu suruh dong anakmu ini buat cuci tangan. Jangan main peluk-peluk sembarangan," sahut Ibu. "Lihat, Mas, Bu! Telapak tangan Nisa bersih. Jadi bagaimana mungkin Nisa mengotori baju kalian?" "Memang tidak terlihat kotor, namun penuh dengan debu dan kuman," ucap Ibu dengan sombongnya. "Mama, tangan Nisa bersih kok. Tadi sebelum meluk Ayah, Nisa udah cuci tangan terlebih dahulu." Air mata gadis kecilku itu sudah berderai di pipinya. "Sudah lah, kami buru-buru," Ayo Bu!" Mas Mulya menggandeng tangan ibunya, lalu berjalan melewati kami tanpa peduli bagaimana perasaan Nisa, anak kandungnya sendiri. Benar-benar tega! Karena kasihan pada anak-anak, akhirnya terlintas di pikiranku mengajak anak-anak ke mall untuk menghibur mereka. "Tunggu, Mas. Aira minta uang, mau bawa anak-anak jalan-jalan. Kasihan anak-anak, nggak pernah diajak jalan-jalan lagi," pintaku kepada Mas Mulya sambil menadahkan tangan. Aku sengaja meminta uang sebelum pergi. Mas Mulya pun mengeluarkan dompetnya, ternyata tidak ada uang cash. Mas Mulya malah memberiku ATM-nya. "Ingat, jangan boros-boros. Pergunakan seperlunya saja. Ini PINnya," ucap Mas Mulya sambil menunjukkan nomor PIN yang ditulis pakai spidol di bagian belakang kartu tersebut. Karena Mas Mulya orangnya pelupa, jadi pin ATM-nya pun ditulis menggunakan spidol di bagian belakang kartunya. Aku hanya menjawab Mas Mulya dengan anggukan kepala. Sekaranglah saatnya. Akan kukuras uang yang ada di ATM-mu ini, Mas! Berani bermain-main denganku, maka aku juga akan bermain-main denganmu. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN