Mentari membuka pintu hotel. Ia lalu melangkahkan kaki masuk dengan membawa satu kantung plastik berisi kebutuhan yang baru dibelinya. Setelah itu ia meletakkan kantung plastik itu di atas meja.
Dua Minggu sudah berlalu sejak kejadian nahas yang menimpanya malam itu. Sejak saat itu, Mentari memilih untuk pindah dari rumah Arka yang juga merupakan rumah kekasihnya. Saat ini ia sedang menginap di hotel. Sesuai kalimatnya pada Arka terkahir kali, Mentari tidak sudi melihat wajah Arka.
Sekarang Mentari benar-benar sangat membenci Arka. Meskipun malam itu Arka terpengaruh alkohol, tetap saja nasi sudah menjadi bubur. Kehormatan Mentari sudah terenggut oleh calon kakak iparnya sendiri. Meskipun dua Minggu sudah berlalu, tapi tetap saja ia tidak bisa melupakan kejadian malam itu. Mentari mendadak jadi teringat kejadian saat ia keluar dari rumah Arka.
"Mau ke mana kamu?" tanya Arka pada Mentari yang keluar kamar sambil membawa kopernya.
"Aku tidak ingin tinggal di sini lagi! Selagi menunggu Edo pulang, aku akan pergi dari rumah ini!"
"Kita akan mencari solusinya!"
"Kita?! Jangan libatkan aku! Di sini Kak Arka-lah yang salah! Jangan pernah sebutkan kata kita! Tunggu sampai semua ini aku beritahu pada Edo!" Mentari lalu kembali melanjutkan jalannya.
"Lalu apa?! Setelah kamu mengadu pada Edo, aku pastikan kalian akan putus!" ujar Arka. Mentari pun terhenti melangkah. Ia kemudian kembali berbalik ke arah Arka.
"Kenapa kamu bicara begitu?" tanya Mentari.
"Aku sangat kenal adikku! Dia pasti akan marah dan memutuskan pertunangan kalian."
"Apa yang kamu katakan?! Aku ini korban di sini! Kamu yang tiba-tiba datang dan merenggut kehormatanku! Kamulah yang seharusnya mendapat kemarahan dari Edo!"
"Memang kamu pikir Edo akan percaya dengan semua kalimatmu?"
"Tentu saja! Edo sangat mencintaiku! Aku ini pacarnya! Sudah pasti dia akan percaya!"
"Aku juga kakak kandung Edo!" seru Arka. "Berapa lama kalian pacaran? Aku sudah jauh lebih lama bersama dengan Edo sejak dia lahir. Siapa yang akan ia percaya? Aku atau kamu?"
"Jadi apa rencanamu? Apa kamu akan menjelek-jelekkanku di depan Edo?!"
"Anggap saja di antara kita tidak pernah terjadi apapun. Itu hanya rahasia kita berdua. Kita bisa menganggapnya selesai!"
"Kamu mengatakan begitu karena kamu hanya ingin selamat, kan?!"
"Dengar Mentari! Aku tidak masalah jika Edo marah padaku. Tapi bagaimana denganmu?! Apa kamu yakin Edo akan meneruskan hubungannya denganmu?!"
Suara ponsel tiba-tiba membuyarkan lamunan Mentari. Mentari melihat ke arah ponselnya. Ada notifikasi pesan masuk. Mentari melihat ada pesan dari Amara, sahabatnya. Mentari membaca dan membalasnya. Setelah itu, ia melempar ponsel di sampingnya lagi.
Mentari kembali merenung. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya. Kembali mengingat kalimat Arka. Benarkah Edo akan marah kalau mengetahui masalah ini?
Kenyataannya sampai sekarang Mentari juga tidak berani mengatakan pada Edo soal itu. Diam-diam Mentari juga menuruti rencana Arka untuk tidak mengatakan pada Edo. Menganggap bahwa malam itu tidak pernah terjadi apa-apa.
Lagi pula, setiap kali saat Mentari menghubungi Edo, kekasihnya itu selalu bilang dia sangat sibuk bekerja. Mentari juga bisa paham, Edo selalu bilang kalau ia bekerja keras demi masa depan mereka. Kalau Mentari terus menghubungi Edo, Mentari takut kalau justru akan memaksakan kehendaknya dan tidak menghargai Edo sebagai kekasihnya.
Mentari menghela nafas beratnya. Karena itulah sampai sekarang ia sendiri juga tidak mengatakan apa pun pada Edo. Ia juga merahasiakan kejadian malam itu seperti kata Arka.
"Baiklah! Kali ini aku memang sependapat dengannya! Anggap saja selesai! Tapi jangan harap kalau aku mau melihat wajahnya lagi!" gumam Mentari berbicara sendiri dengan nada kesal.
Sekian detik kemudian Mentari menundukkan kepala. Mendadak ia merasa dadanya sesak. Ada sebuah kegetiran di dalam hati.
Mentari melihat ponsel miliknya. Ia memandangi benda pipih itu. Pada wallpaper layar ponsel itu, ada gambar dirinya dan Edo saat mereka berlibur di pantai. Mengingat memori itu, Mentari jadi ingin menangis.
"Edo? Kamu sedang apa? Aku sangat merindukanmu. Aku membutuhkanmu," gumam Mentari berbicara pelan.
Mentari hanya bisa memandangi potret kekasihnya melalui layar ponsel. Terakhir kali Mentari menghubungi Edo, sekitar satu Minggu yang lalu. Edo juga mengatakan hal yang serupa.
"Tari, aku masih sibuk sampai bulan depan. Kalau tidak ada hal penting, kita tidak perlu bicara dulu. Satu bulan lagi aku akan pulang, tunggu sampai aku pulang dan kamu bisa menceritakan semuanya padaku."
Seperti itulah kalimat Edo sekitar satu Minggu yang lalu ketika Mentari menelponnya. Mentari pun jadi tidak enak kalau ia mengganggu pekerjaan Edo. Tidak! Dia sendiri juga harus memiliki kesibukan sendiri.
Mentari kemudian berdiri. Namun, begitu berdiri kepalanya sangat pusing. Sampai-sampai, di sekitarnya terasa berputar-putar. Membuatnya terhenti sejenak sembari memegangi kepalanya.
"Ada apa denganku ini? Kenapa akhir-akhir ini aku sering merasa pusing dan lemas?" gumam Mentari berbicara sendiri. "Mungkin karena stress yang berkelanjutan," tebaknya sendiri.
Mentari lalu kembali duduk lagi. Mengurangi sedikit rasa pusing. Masih memegangi kepalanya. Sekian detik berlalu, rasa pusing sudah mendingan.
Mentari kemudian kembali berdiri. Ia berjalan mendekat ke arah meja. Di atas meja, ada kantung plastik berisi kebutuhan yang ia beli tadi dari supermarket terdekat. Mentari mencari obat masuk angin yang ia beli tadi.
Mentari akan meminum obat itu agar ia sembuh. Ketika akan minum, mendadak ponselnya kembali berdering. Mentari mengurungkan niat untuk minum obat. Ia mengambil ponsel, lalu melihat layar ponsel. Ada nama Amara, sahabat Mentari yang sedang menghubunginya. Mentari pun mengangkat panggilan dari Amara.
"Halo?" sapa Mentari lebih dulu.
"Tari? Hari ini tolong antarkan aku ke toko buku, ya!"
"Maaf, Am. Hari ini seharian aku merasa lemas. Rasanya tidak enak. Aku tidak enak makan dan rasanya lesu."
"Oh! Jangan-jangan kamu sakit?"
"Mungkin masuk angin. Aku juga merasa pusing dan mual-mual."
"Apa karena efek datang bulan? Setiap kali datang bulan kamu selalu seperti ini, kan?"
"Tidak kok. Aku tidak sedang datang bulan."
"Benarkah?! Padahal datang bulanmu selalu tepat waktu. Aku saja sudah selesai masa datang bulanku. Biasanya kan kamu dulu, baru aku."
"Entahlah? Aku juga baru kali ini telat datang bu ...."
Mentari menghentikan sendiri kalimatnya. Seolah ia sedang tersadar akan sesuatu. Jantung Mentari mendadak berdebar sangat kencang. Ada sebuah kecemasan yang sangat besar muncul dari dalam dirinya begitu saja.
"Halo?! Tari?! Kamu masih di sana, kan?" panggil Amara yang merasa aneh tiba-tiba Mentari jadi terdiam.
"Iya. Aku dengar," jawab Mentari.
"Kenapa kamu diam saja?! Apa mungkin kamu mau ke dokter? Atau—"
"Am!" potong Mentari membuat Amara terdiam. "Aku tutup dulu ya. Nanti, aku hubungi lagi."
"Lho?! Kenapa Tari?! Hal—"
Mentari segera menutup panggilan dari Amara begitu saja. Ia menjauhkan ponsel dari telinga dan segera menggeser kursor warna merah. Setelah itu, Mentari terduduk dan kepalanya terasa linglung. Ada sebuah hipotesa yang muncul di benak Mentari saat ini.
"Tidak mungkin. Jangan-jangan ... aku hamil?" gumam Mentari kembali berbicara dalam hati.