Begitu mendengar kejadian yang menimpa kedua putranya, ayah Edo dan Arka memutuskan untuk pulang ke rumah. Meski ayah mereka dalam keadaan lelah dan pekerjaannya yang sibuk, beliau tetap menempuh penerbangan selama enam jam dari London. Demi menangani masalah kedua putranya.
"Seperti itulah masalahnya. Maaf, aku sudah membuat masalah dan merepotkan," kata Arka dengan menundukkan kepala, ditujukan pada ayahnya.
Ayah Arka diam selama mendengar penjelasan Arka. Sama sekali tidak bereaksi. Hanya memegang dagunya sambil menautkan kedua alisnya, nampak sedang berpikir. Edo maupun Arka sama-sama tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran ayahnya.
"Aku tidak menyangka Kak Arka bisa berbuat seperti itu," kata Edo pada Arka.
"Menurutku kau juga salah, Do!" sahut ayah mereka. Membuat Edo menoleh ke arah ayahnya.
"Aku, Yah?!" tanya Edo tidak menyangka.
"Kenapa menitipkan perempuan di rumah kita tanpa ijin ayah!"
"Tapi aku—"
"Sudah, cukup! Biarkan ayah bicara dulu! Bukankah katamu kau mau menikahinya?! Kenapa sampai sekarang kau belum memperkenalkan dengan ayah?!"
Edo tercekat sejenak mendengar ungkapan ayahnya. Edo pun jadi diam dan tidak bisa menjawabnya. Ia gantian meringkuk menundukkan kepala. Sedangkan Mentari, melirik ke arah Edo.
"Benar juga. Kenapa aku baru sekarang tahu ayah Edo? Padahal Edo menjanjikan akan menikahiku dalam waktu dekat ini," gumam Mentari dalam hati.
"Arka," panggil ayahnya pada Arka. Membuat Arka melihat ayahnya. "Tidak biasanya kau minum-minum. Memangnya kenapa? Apa kau ada masalah?"
"Sedikit, Yah."
"Jangan katakan ini masalah perusahaan.
"Sama sekali bukan, Yah."
"Ya sudah. Sekarang, menurutmu bagaimana menyelesaikan masalah ini?"
Ayah Arka bertanya pada putra pertamanya. Di sana, Arka terdiam sejenak. Ia melirik ke arah Edo yang juga dari tadi sedang memelototinya.
"Aku yang salah. Aku yang harus menanggung tanggung jawab ini," kata Arka.
"Apa maksudmu, kau ingin menikahi gadis itu?" tanya ayahnya lagi. Arka menoleh ke arah Mentari yang memancarkan sinar mata kegelisahan yang besar. Arka sendiri juga ragu-ragu dan sangat tidak yakin.
"Sebenarnya, aku memiliki dua pilihan solusi."
"Sebutkanlah agar kita semua bisa mendengarnya."
"Pertama, biarkan Edo menuntaskan janjinya pada Mentari. Menikahi Mentari, dalam waktu dekat ini. Tapi, setelah bayi itu lahir, aku yang akan membawanya," ujar Arka. Edo pun langsung membelalakkan kedua matanya terkejut akan saran dari kakaknya itu.
"Apa katamu?! Mana bisa begitu?!" ungkap Edo nampak refleks.
Mendengar itu, Mentari pun jadi terkejut. Ia tidak menyangka jika Edo akan langsung melakukan penolakan seperti itu. Bukankah ini satu-satunya cara Edo untuk menyelamatkan Mentari dari masalah ini? Dengan menikahinya. Namun, kenapa Edo malah menolaknya mentah-mentah?
"Edo ada benarnya," kata ayah mereka. Mentari semakin tercekat dan langsung menoleh ke arah ayah Edo dan Arka cepat. "Sebenarnya, agak tidak pas kalau Edo yang menikah. Karena memang sebenarnya itu menjadi tanggung jawabmu. Ayah tahu, memang dia kekasih Edo, tapi ini semua akibat perbuatanmu," ujar ayahnya semakin menyalahkan Arka.
"Aku tahu. Aku mohon, maafkan aku," ungkap Arka kembali.
"Lalu, apa solusi yang kedua?" tanya ayahnya lagi. Arka nampak menarik nafas sebelum menyampaikan solusi keduanya.
"Mentari sudah mengandung. Dia membutuhkan status atas calon janin di dalam rahimnya. Dan, jelas-jelas, calon bayi itu adalah darah dagingku. Jadi, tidak ada pilihan lain selain aku menikahinya," jawab Arka.
Mentari mencengkeram bajunya. Ia sangat menolak solusi kedua. Ia lalu melihat ke arah ayah Arka yang nampak diam sembari berpikir. Dilihat dari ekspresinya, sepertinya ayah Arka kelihatan setuju.
Mentari kemudian menolehkan kepala ke arah Edo lagi. Di sana, Edo hanya diam saja. Membuat Mentari frustasi sendiri dibuatnya. Kenapa Edo diam saja?! Bukankah seharusnya saat ini Edo menentang rencana Arka untuk menikahinya?!
"Ayah pikir, ayah akan setuju dengan saranmu yang kedua," ujar ayah Arka dan Edo. Mentari amat terkejut dibuatnya.
"Tidak bisa!" Mentari tiba-tiba saja berdiri secara refleks. Ia benar-benar tidak bisa hanya tinggal diam. "Aku tidak mau menikah dengan kak Arka!" sanggah Mentari. Membuat semua orang melihat ke arah Mentari.
"Ini hidupku! Aku juga berhak menentukannya!" lanjutnya. Mentari lalu menoleh ke arah Edo. "Edo! Apa yang kamu lakukan?! Kenapa kamu diam saja dan tidak mencegah kak Arka untuk menikahiku?!"
"Tari, kamu pikir apa yang sudah kamu lakukan?! Kalian berkhianat padaku!"
"Bukan aku! Ini semua salah kak Arka!"
"Tari, sudahlah. Bagaimanapun kamu menjelaskannya, mana bisa aku percaya begitu saja? Selama ini kalian tinggal bersama. Mana mungkin itu hanya kesalahan satu malam? Kalau memang iya, kenapa bisa sampai hamil?" ungkap Edo. Mendengarnya, Mentari bagaikan tersambar petir. Ia benar-benar tidak menyangka Edo bisa berbicara begitu dengan entengnya.
"Apa katamu? Kamu, tidak percaya padaku? Lantas kenapa kamu menitipkan aku pada kakakmu?!" tanya Mentari tidak sadar menaikkan nada bicaranya.
"Tari! Kamu sama sekali tidak mengerti masalahku! Aku masih tidak bisa menikahimu dalam waktu dekat ini! Apa lagi, kalau kamu sedang hamil!"
"Edo benar," ungkap ayah Edo tiba-tiba. Membuat Mentari jadi menoleh ke arah ayahnya kembali. "Edo sedang menjalin kerja sama kolega dengan perusahaan yang akan menjadi mitra perusahaan. Kalau dia terkena skandal, maka hancurlah citra baik perusahaan," ujar ayahnya.
"Tapi, Yah. Aku tidak mau menikah dengan kak Arka! Aku mencintai Edo!" Mentari kukuh tetap menolaknya.
"Lalu kenapa kamu tidak menolak Arka kemarin?"
"Aku dipaksa! Aku—"
"Kalau begitu itu adalah salahmu!" potong ayahnya lagi. Membuat Mentari tercekat dan akhirnya terdiam. "Aku tahu, kamu sedang dilema saat ini. Tapi, kamu juga tidak boleh egois. Perusahaan di London sedang membutuhkan Edo. Kalau Edo terkena masalah, maka perusahaan juga ikut terkena dampak masalah. Menyebabkan semua karyawan juga akan mendapat masalah juga. Ini bukan hanya tentang kamu, tapi tentang banyak orang," jelas ayah Edo. Mentari hanya diam dan tidak bisa menyangkalnya.
"Menurutku, tidak perlu pusing-pusing lagi. Bukankah ada Arka yang sudah bersedia bertanggung jawab menikahimu, kan?" ungkap ayah Arka lagi. Mentari semakin terdiam kaku dan tidak bisa menjawabnya.
"Jahat! Ternyata ayah Edo adalah seorang yang sangat jahat! Dia mengatakan begitu, justru membuktikan kalau dia yang egois!" gumam Mentari dalam hati.
Mentari hanya merenung dan pandangannya nampak kosong. Ayah Arka dan Edo lalu melihat jam tangannya. Ia lalu menghela nafas sejenak.
"Aku dan Edo harus kembali lagi ke London sekarang juga. Arka, uruslah masalahmu sendiri! Dan jangan sampai kau melupakan tugas di perusahaan juga!" pinta ayahnya.
Setelah itu, ayah Arka dan Edo pergi keluar melewati pintu. Membuat Mentari tidak percaya dengan sikap mereka. Mentari juga tidak bisa mencegahnya lagi.
Sedangkan Edo, melihat ke arah Mentari dengan tatapan ragu-ragu dan tidak yakin. Namun, pada akhirnya ia juga memilih pergi mengikuti ayahnya. Meninggalkannya sendirian bersama Arka di rumah mereka.
Mentari benar-benar tidak habis pikir. Ia akhirnya terjatuh di lantai dan duduk dengan linglung menghadapi masalahnya. Arka diam-diam, memperhatikannya. Arka pun menghela nafas sejenak.
"Tidak ada pilihan lain. Kita akan menikah dalam waktu dekat ini," ungkap Arka pada Mentari.