Arthur tampak tersenyum saat melihat putranya cemberut seperti anak kecil yang dilarang memakan permen lolipop. Ia bahkan sampai menutup mulutnya sebab khawatir kalau Alex akan menatapnya curiga dan malah kesal.
"Ada apa ini, Juan? Kenapa bos-mu ini datang-datang malah cemberut seperti itu?" tanya Arthur pura-pura tak tahu.
"Aku enggak tahu, Om. Mungkin lagi PMS kali, makanya bawaannya sensi mulu dari tadi."
Sontak Alex pun melotot, melihat sahabatnya yang tampak santai, tak peduli. Di sebelah Juan ada Natasha yang berdiri, bersikap begitu —aneh— ramah.
'Ada apa dengan perempuan itu? Kenapa ia bersikap demikian di depan papi?' batin Alex.
"Jadi, Pi, kalau boleh aku tahu, apa maksud Papi meminta perempuan ini juga nemuin Papi?" tanya Alex tanpa melihat ke arah Natasha sama sekali. Yang saat itu langsung menengok, melihat ke arah bos-nya itu.
Arthur hanya tersenyum, sama seperti Juan yang tak ikut berkomentar, hanya menyunggingkan senyum karena mendengar kalimat Alex yang sepertinya masih penasaran.
"Natasha itu 'kan sekarang asisten kamu. Ya ... jadi wajar aja dong kalo Papi minta dia selalu sama kamu."
"Asisten aku itu Juan, bukan dia. Mommy nyuruh dia buat jadi pembantu aku, bukan asisten."
"Berani kamu bilang begitu di depan mommy kamu, bisa dicoret kamu dari kartu keluarga Anderson." Arthur mengejek putra semata wayangnya itu, senang.
"Terus aku harus bilang apa kalau bukan pembantu? Pelayan? Apa bedanya?" Alex tampak tak peduli meski gadis yang berdiri di sebelah Juan itu menatap ke arahnya tajam, persis seperti orang yang memusuhi.
"Apakah ada pembantu atau pelayan di kediaman Anderson yang berani membangunkan kamu yang lagi tidur?"
"Enggak ada, cuma dia. Lain kali beri tahu dia untuk tidak mencampuri ranah pribadiku. Selama ini tak ada yang berani memasuki area kamarku. Aku butuh privasi, Pi!"
"Sayangnya mommy-mu yang memberinya tugas. Jadi, kamu katakan saja hal itu langsung pada mommy."
Alex terlihat melengos. Berbicara dengan sang papi tak ada bedanya. Lelaki paruh baya itu begitu mencintai istrinya. Mana mungkin ia akan membantunya.
Lantas, protes pada wanita yang saat ini sedang terbaring lemah di brangkar VVIP rumah sakit, apakah ia berani?
Tentu saja berani. Tapi, ia harus bersiap menerima drama yang dibumbui air mata sebab sang mommy yang memang sejak awal menginginkan dirinya mendapat seorang pengasuh, yang sialnya harus seorang perempuan dan itu Natasha.
Alex semakin kesal sebab gadis yang ia benci tersenyum seperti mengejeknya.
Ya, Natasha tersenyum sebab merasa menang. Ia yang sudah memantapkan hatinya menerima tugas dari Nyonya Renata, sebab sebelumnya sudah menganggap menjadi seorang pengasuh dari seorang Alex adalah sesuatu yang tidak mudah, tak ingin kembali diruntuhkan dengan sikap rewel pengusaha itu karena enggan dilayani olehnya.
"Baiklah, biar nanti aku bicara lagi sama mommy," imbuhnya masih berusaha terbebas dari sosok Natasha.
"Terserah kamu. Tapi, Papi harap kamu tidak membuat penyakitnya kambuh karena sikap manja kamu itu."
"Pi! Apakah sikap tidak suka karena satu hal selalu dianggap sikap manja? Kalau begitu aku tidak bisa lagi mengungkapkan pendapat aku dong! Semua harus mengikuti kemauan Papi dan mommy."
"Jangan berlebihan. Apa selama ini kami selalu melarang apa maunya, Lex? Setiap apapun yang kamu inginkan atau setiap pendapat yang selalu kamu berikan, kami selalu setuju. Tak pernah menolak. Kali ini, giliran mommy kamu menyampaikan satu permintaan saja selama hidupnya, kamu anggap sebaliknya? Aneh!"
Lelaki paruh baya itu tampak beranjak, lalu berjalan menuju meja kerjanya. Terlihat menggeleng demi melihat sikap Alex yang memang berlebihan.
"Alex, Alex. Baru begitu saja, apakah sudah mengaku kalah."
Alex terdiam saya mendengar kalimat sang papi. 'Mengaku kalah?'
"Apa Papi menganggap kalau ini adalah sebuah permainan?"
Suasana terasa hening. Baik Juan dan Natasha yang masih berada di dalam ruangan itu, yang hanya mampu mendengarkan percakapan anak dan ayahnya, memilih bersikap diam dan mendengarkan.
"Loh! Bukankah sebelumnya Papi pernah bilang begitu. Anggap saja ini sebuah permainan yang menyenangkan. Siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam rentang waktu setahun ke depan, seperti batas waktu yang mommy kamu berikan."
Juan menengok ke arah Natasha yang tampak bergeming. Pembahasan yang seharusnya tidak gadis itu dengar, nyatanya tidak membuatnya mengubah ekspresi.
***
"Apakah kamu sudah tahu mengenai hal ini sebelumnya, Nat?" tanya Juan di saat keduanya sedang menikmati makan siang di kantin rumah sakit.
Sebelumnya Natasha sudah menyiapkan makan siang untuk Alex di ruangan mommy-nya. Pengusaha itu ingin menemani sang mommy makan siang. Sebab waktu yang berkejaran karena Alex harus menghadiri meeting, makan di restoran seperti biasanya tidak bisa ia lakukan.
Kembali pada dua orang asisten yang sudah berteman baik sebelum dipasangkan menjadi asisten pribadi Alex, mereka tampak menikmati makan siang tanpa canggung dan sungkan.
"Tahu apa, Pak?" Natasha bertanya balik.
"Iya, itu ... menganggap kalau pekerjaan kamu sebagai pengasuh Alex, adalah sebuah permainan."
"Oh, tahu." Natasha menjawab santai.
"Hah! Terus kamu biasa aja gitu?"
"Biasa gimana?"
"Iya, enggak marah atau kesal gitu?" Juan menatap Natasha heran. "Tuan Arthur juga aneh, kok bisa-bisanya ngomong gitu di depan kamu. Enggak menghargai perasaan kamu, Nat!" sambungnya.
Terlihat Natasha hanya tersenyum. Tak ada raut kesal atau ekspresi aneh yang bisa Juan tangkap di wajah cantik gadis itu.
"Biasa aja, Pak. Karena Nyonya Renata juga bilang begitu sama aku."
"Hah! Serius?" Juan tampak terperangah. Tak percaya akan apa yang baru ia dengar.
Natasha mengangguk sambil mengunyah makanan di dalam mulutnya.
'Permainan macam apa ini? Bisa-bisanya Tuan Arthur dan Nyonya Renata melibatkan gadis seperti Natasha yang terpaksa tunduk pada perintah mereka.' Juan berbicara pada hatinya sendiri. Ia yang tidak dilibatkan, justru kesal sendiri.
"Aku menganggapnya biasa saja, Pak. Ya ... awal-awal diberi perintah memang terbebani. Tapi, aku berusaha untuk menanggapinya dengan tenang dan santai. Anggap tugas ini tak jauh berbeda dengan pekerjaan asisten pribadi lainnya."
Gadis itu memang terlihat santai. Keadaannya jika tidak sedang bersama Alex sungguh berbanding terbalik. Tapi, sebab Juan yang sudah mengenal Natasha sebelumnya, ia berpikir jika bekerja bersama Alex sungguh membuatnya terbebani.
Itulah mengapa ia merasa iba ketika mendapat kabar dari Arthur bahwa pekerjaannya sedikit berkurang karena dibantu oleh Natasha.
"Tapi, Nat. Asal kamu tahu, menjadi asisten Alex tidak bisa kamu samakan dengan asisten pribadi yang lain. Alex itu gila kerja. Ia bisa tidak pulang kalau ada pekerjaan yang belum selesai. Aku sudah mengalami makanya aku ngomong ke kamu."
"Tapi, Pak Juan bisa 'kan. Masa aku enggak?"
Entah apa yang Natasha pikirkan. Tekadnya yang kuat membuat Juan geleng-geleng kepala.
"Ya, semoga saja Alex tidak bertingkah macam-macam. Aku berkata begini karena aku tahu sahabatku itu tidak suka perempuan."
"Apakah Tuan Alex menyukai laki-laki?" Natasha menatap penasaran.
"Tidak. Jangan salah menangkap sebuah kalimat."
Natasha tergelak ketika melihat ekspresi Juan yang panik. Lelaki itu mungkin tak ingin dituduh menyebar berita bohong karena kenyataannya tidak demikian.
"Pak Juan sendiri yang bilang kalau Tuan Alex tidak menyukai perempuan. Lantas, lawan dari perempuan itu apa kalo bukan laki-laki," kekeh Natasha yang sudah selesai dengan makanannya.
"Intinya, Alex bisa melakukan apa saja karena ketidaksetujuannya atas permintaan sang mommy. Aku harap kamu menyiapkan siasat atau persiapan dalam menyikapi tingkah Alex."
"Makasih, Pak Juan, karena sudah diingatkan. Doakan saja aku bisa menjalankan tugasku dengan baik selama setahun ke depan."