3. Tanggung Jawab

1102 Kata
Arsel sudah mendaftarkan pernikahannya dengan Ara di kantor urusan agama. Saat ini Arsel kembali ke kantor, pun dengan Ara yang ikut juga. Saat ini Ara tidak mau bicara dengan Arsel, gadis itu hanya duduk di sofa ruangan kakaknya sambil diam saja. Sedangkan Arsel dan Dani tengah berbincang-bincang membicarakan urusan bisnis yang Ara tidak mengerti. “Kalau bisa secepatnya, Pak. Bahan-bahan yang kita gunakan sudah digunakan oleh tempat lain, kalau kita tetap pakai bahan yang sama, gak ada spesialnya lagi,” jelas Dani. “Kamu ada info dimana kita bisa mendapatkan pemasok kakao yang kualitasnya bagus?” tanya Arsel. “Ada di Sulawesi dan Sumatra,” jawab Dani. Arsel mengangguk, “Aku akan ke sana secepatnya.” “Kalau bisa yang lama sekalian di sananya, Pak!” pinta Dani seraya menahan senyumnya. Arsel menatap Dani dengan pandangan penuh curiga. Senyum Dani bisa jadi berarti tidak baik untuknya. Arsel memutari tubuh Dani dengan tatapan mengintimidasi. “Eh, kenapa, Pak?” tanya Dani bingung yang mendapat tatapan seperti itu. “Kenapa aku mencium aroma tidak beres darimu?” tanya Arsel balik. “Kamu senyum saat aku pergi, jangan-jangan kamu sedang memikirkan rencana buruk,” hardik Arsel. “Mana mungkin aku berencana buruk? Aku sudah menjadi asisten pribadimu hampir lima tahun, bahkan saat aku masih kuliah aku juga sudah di sini. Kalau aku berencana buruk, aku sudah melakukannya sejak lama,” elak Dani. Arsel masih menatap Dani, hingga dia bisa melihat kalau Dani sedang mencuri-curi pandang pada adik cantiknya. Dani menatap Ara yang saat ini memainkan hp, sungguh Dani sangat mengagumi Ara, gadis cantik yang baik dan tidak neko-neko. Biasanya gadis seumuran Ara sudah keluar masuk club untuk berpesta dan memakai baju yang pusarnya kelihatan, tetapi Ara tidak pernah melakukan demikian, gadis itu selalu sopan berpakaian. “Woy!” bentak Arsel menangkup wajah Dani dan memaksa cowok di depannya untuk menatapnya. “Astagfirullah, Pak!” keluh Dani yang kaget. “Jangan menatap calon istriku kalau gak ingin kucolok matamu!” bentak Arsel lagi. “Pasti Pak Arsel bercanda, gak mungkin kalau Pak Arsel menikah dengan Ara,” kata Dani mencoba berpikir positif. Arsel mengambil kertas di meja kerjanya, “Nih, buka matamu lebar-lebar! Aku sudah mengantongi surat konfirmasi pernikahan dari KUA, jadi bulan depan aku bisa menikah dengan Ara,” seloroh Arsel. Dani menatap tercekat pada surat yang ditunjukan bosnya. Dia belum berhasil mendapatkan Ara, dan sekarang Ara sudah diserobot Arsel. Haruskah Dani mengalah? “Ara, kenapa kamu malah menikah dengan Kakakmu? Selama ini aku kau anggap apa?” tanya Dani menghampiri Ara. Namun, kerah belakang bajunya ditahan oleh Arsel. “Jaga jarak sama istriku!” bentak Arsel. “Pak Arsel, sebelum janur kuning melengkung aku masih bisa menikung,” jelas Dani. “Cocotmu ilo,” ujar Arsel menatap Dani. Buru-buru Dani menutup bibirnya. (Cocotmu ilo = mulutmu itu) “Kamu tau, merusak hubungan orang yang mau serius itu dosa! Aku dan Ara mau menikah, membina rumah tangga yang baik, kalau kamu datang merusak sama saja kamu kayak setan yang senang merusak rumah tangga orang,” oceh Arsel. “Pak Arsel sendiri setannya. Dia adikmu, Pak, kenapa malah kamu nikahi demi dendam kamu sama Wulan? Kamu gak kasihan sama Ara?” tanya Dani bertubi-tubi. “Dia memang tidak punya hati,” ketus Ara menatap Arsel dengan tajam. “Aku punya hati, Ara. Aku menikahimu satu buat selamanya, aku juga akan menyayangimu sebaik aku menyayangi orang tuaku,” jelas Arsel pada Ara. “Aku juga akan membahagiakanmu lebih dari yang kamu pikirkan. Mau bulan madu kemana pun aku juga mau, karena aku kaya,” tambah Arsel yang kumat sombongnya. “Kaya setan,” batin Dani. “Tapi sama saja kamu menikahiku demi dendam,” kata Ara. “Jangan mempersulit, Ara. Kita akan menikah, kamu dan aku kalau menikah perpaduan bibitnya akan unggulan. Hidungku mancung, hidungmu kecil, pasti sangat pas hidung anak kita. Terus aku tinggi, kamu kecil, nanti gennya ikut aku. Aku pintar, kamu pintar, nanti anak kita juga pintar. Aku memiliki badan yang bagus dan kamu—” Ocehan Arsel terhenti, pria itu menatap tubuh atas Ara. Bagi Arsel, tubuh Ara tidak ada sexy-sexynya sama sekali. Tubuh Ara juga tidak ada menggodanya. Namun, keputusan Arsel untuk menikahi Ara sudah bulat. “Kenapa kamu menatap dadaku?” tanya Ara segera menyilangkan tangannya di d**a. “Cuma lihat,” jawab Arsel. “Dasar m***m!” teriak Ara segera berdiri dan meninju perut Arsel. Bugh! “Akhhhh!” Arsel mengerang kesakitan saat Ara meninju perutnya. Kali ini tinjuan Ara sangat kuat. Dani yang melihat keadaan runyam pun segera pergi, “Tidak mau ikut campur prahara rumah tangga,” kata Dani seraya kabur. Arsel menjatuhkan dirinya di sofa, pria itu mengerang kesakitan. Ara yang melihat itu menjadi kalang kabut. “Mas, Mas beneran sakit?” tanya Ara panik. “Ara, sakit banget,” keluh Arsel memegangi perutnya. “Mana yang sakit? Yang ini?” tanya Ara lagi sambil menyentuh perut Arsel. Arsel semakin berteriak kesakitan, “Mas, jangan bercanda!” pinta Ara. “Aku gak bercanda, Ara. Ini sakit banget,” keluh Arsel seolah menjadi orang paling sakit sedunia. “Aku akan membelikan obat,” kata Ara. “Tidak, Ara. Aku butuh kompres,” ujar Arsel. Ara segera ke kamar mandi di ruangan Arsel, perempuan itu mengambil air hangat dan handuk. Buru-buru Ara menghampiri Arsel. Ara tersentak saat Arsel sudah melepaskan bajunya. “Kenapa bajunya dilepas?” tanya Ara membulatkan matanya. “Ini kan mau dikompres,” jawab Arsel. Ara segera mengompres perut Arsel pakai air hangat. Arsel memejamkan matanya menikmati kompres hangat. “Aaah.” Suara desahan keluar dari bibir Arsel. Sesekali Arsel akan membuka sedikit matanya untuk melihat reaksi Ara. Dia sengaja mendesah agar Ara tergoda dan suka rela menikah dengannya. “Aaah … Uh ….” Arsel kembali mendesah setiap Ara menekan kompresnya. Ara menatap Arsel yang mendesah, saat ditatap pun Arsel terus memejamkan matanya. “Aaah … eum ….” “Kenapa kamu mendesah?” tanya Ara menyentak. “Ini menikmati kompresan kamu,” jawab Arsel. “Aaah … Ara,” desah Arsel. “Jangan mendesah, Mas! Apa yang orang-orang pikirkan kalau mendengar desahanmu?” tanya Ara kesal. “Tidak akan ada yang mendengar,” jawab Arsel. Cowok itu terus mendesah untuk menggoda Ara. “Kompres saja sendiri!” bentak Ara melempar kompresnya ke perut Arsel, gadis itu segera pergi meninggalkan Kakaknya yang saat ini masih merebahkan diri. “Ara, jangan kabur!” teriak Arsel. “Kamu harus tanggung jawab, Ara!” teriak Arsel lagi. “Aku tidak menghamilimu, aku tidak harus bertanggung jawab,” ujar Ara. “Tapi aku akan menghamilimu,” jawab Arsel. “Akhhh!” Ara menjambak rambutnya frustasi mendengar ucapan kakak angkatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN