Pupil Mata

1794 Kata
"Hai". Sapa perempuan berparas cantik dengan make up sempurna dibalut gaun setengah terbuka. Hendra meliriknya malas tidak peduli. Tania memutar kursinya mengarah kepada Hendra. Memiringkan kepala sedikit agar dia terlihat makin cantik dengan rambut terurai menyentuh meja, memastikan wajahnya tertangkap bola mata pria itu. "Oh, ya tuhan... Sobat ku yang tampan ada apa dengan mu". Tania mencoba membuat ungkapan semenarik mungkin agar Hendra menoleh padanya, ternyata tidak. "Kali ini apa lagi? Bahkan sekertaris mu tidak ada bersama mu?". Tambah Tania menangkap suasana muram dalam diri Hendra. Pria itu meneguk minumannya. "Pergilah.. kau menggangu ku". Tania tersenyum manis, menahan kesabaran. mungkin sudah ribuan kali pria ini melempar ucapan serupa. Dan sebanyak itu pula perempuan ini mengabaikannya. Anak SMA yang dia temui di atap sekolah, saat dirinya berada pada titik terendah dalam hidup. Suatu titik yang mendorongnya mengumpulkan keberanian untuk melompat dari sana. "Tunggu, jika kamu berniat mengakhiri hidup. Aku pergi dulu dari sini". Bocah itu sama sekali tidak tertarik dengan dirinya yang bersiap melompat dari atap gedung, bahkan tidak membujuknya untuk berhenti. "Mengapa kamu malah pergi". _Mengapa tidak membujuk ku, aku benar-benar sedang butuh dukungan_ "Apa lagi?! Tentu saja aku tidak mau menjadi saksi perilaku bodoh, kau yang mati aku yang akan di interogasi berjam-jam". Entah mengapa berbicara dengan Hendra kala itu membuat Tania kehilangan tekat. Dia melirik kebawah. Tepian atap menjadi begitu menakutkan. Dia bergerak menjauh. "Kau tidak ingin membujuk ku". Tania merasa butuh pertolongan, minimal sedikit bujukan. "Hah, Kau sudah kehilangan keberanian?!". Timpal Hendra dengan ekspresi merendahkan. "Pastikan kau melompat setelah aku selesai menuruni tangga". Pemuda itu sama sekali tidak peduli, pergi begitu saja meninggal Tania. Tania yang mulai takut dengan dirinya sendiri, berlari membuntuti Hendra. Bersama langkah kakinya yang secara spontan seirama dengan langkah kaki Hendra, Tania bertekad akan selalu berada di dekat bocah itu. Seseorang yang benar-benar jujur, tidak seperti teman-temannya, mengaku peduli nyatanya sekedar pura-pura. Tania lahir dari keluarga selebriti, kedua orangtuanya adalah artis. Sehari-hari mengisi acara di berbagai stasiun televisi. Ketika perceraian orangtuanya berlangsung, seluruh media menjadikan hal tersebut sebagai topik utama, ditambah bumbu-bumbu pemanas suasana. Termasuk KDRT yang diterima ibunya dan perselingkuhan ayahnya. Tania sang bintang sekolah berubah drastis menjadi aib sekolah. Semua orang berbicara tentang keluarganya. Bahkan teman-teman yang selalu manis, menjadi kasar dan berani mengungkapkan kebencian terhadap Tania. Semenjak bertemu Hendra dan mulai membuntutinya, tidak ada lagi yang berani mencibir Tania terang-terangan. Mereka bahkan dianggap sebagai couple goal sekolah seiring kasus perceraian orangtuanya mereda. "Ah, lain kali kau harus menggunakan ungkapan pria dewasa". Tania harus berhasil kali ini. Bagaimana pun caranya, atau Hendra akan menjadi mangsa yang lain. "Semacam pergilah bersama ku.. kau sudah menggoda ku". Bisik Tania, mendekatkan bibirnya di telinga Hendra. Spontan Hendra menangkap wajah Tania dengan satu telapak tangan dan mendorongnya menjauh. Tania mendapati teman-temanya di ujung sana sedang tertawa cekikikan, menunggu kegagalannya. "Apa kau lupa prinsip ku, aku selalu sukarela membantu mu. Sayangnya jika kamu menolak, aku siap mengganggu mu". Tania memainkan rambutnya masih berusaha mencari celah supaya Hendra minimal meliriknya. Pria itu berhenti sejenak, menatap kosong. Menggali isi otaknya yang kacau beberapa hari ini. "Kau yang memintaku untuk menerima bantuan, jangan menyesal". Hendra melempar jasnya, merasa risih dengan gaun Tania. Perempuan itu berjalan membuntuti Hendra dengan lambaian tangan bangga, mengirimkan pesan kemenangan pada teman-temannya. Sejak pria itu membuka pintu mobil untuk Tania hingga mereka sampai di depan pintu kamar hotel milik keluarganya. Tak terdengar sedikitpun suara Hendra. Tania begitu banyak bicara, berusaha menarik minat Hendra agar mengomentari ucapannya. Sayangnya Hendra konsisten mengabaikan perempuan tersebut. "Masuklah". Hendra mengintruksikan kalimat perintah mengejutkan. Terlalu mengejutkan ketika dia membuka pintu kamar pribadinya di lantai eksekutif lounge. _Bukankah dia alergi berada dalam satu kamar atau ruang dengan perempuan?_ Batin Tania. Menyadari betul sisi lain Hendra yang disembunyikan dari banyak orang, termasuk dirinya. Jantung Tania berdetak kencang ketika pria itu menyalakan lampu kamar. Lalu dia duduk di salah satu sisi mengarah pada ranjang abu-abu miliknya. Ruang dengan interior putih abu, tempat yang menggambarkan kepribadian pemiliknya, misterius. "Kau benar-benar ingin membantu?". Ucapan yang dilemparkan Hendra, membuat Tania memerah. Antara terlalu bahagia dan takut. Apa pun yang terjadi sudah tak mampu dia prediksi. Bahkan Tania tidak mengerti kenapa dirinya merasa lebih bahagia ketimbang takut. Mengangguk kecil malu-malu. Sebuah pernyataan iya dari Tania. Sayangnya ekspresi berbeda di sajikan oleh Laki-laki yang duduk di sofa. Dia tampak penuh konsentrasi. Seolah sedang mencari-cari cara menyelesaikan soal matematika yang disajikan dalam ujian akhir. "Berbaringlah di situ dan tutup mata mu". Pinta Hendra. "Ah, apa??". Tania terkejut. Tidak yakin apa yang barusan diucapkan Hendra. Namun tekatnya yang kuat tentang pria ini mengalahkan logika apa pun. Dia menuruti saja maunya Hendra. Hendra terdiam, diamnya pria itu seakan menghentikan dunia bagi Tania. Tapi tidak untuk Hendra, pria itu benar-benar melakukan pengamatan. Eksperimen gila untuk dirinya sendiri. Denting jam dinding, menjadi bagian dari irama pengamatannya. Awalnya Hendra berpegang kuat pada sofa tempatnya duduk, mungkin dia bisa ketakutan atau lebih buruk lagi pingsan. Ternyata itu tidak terjadi. Tembok ruangan juga tak menunjukan perubahan, meluntur seperti yang dia alami ketika bersama Aruna. _Ada apa dengan ku?_ Hendra mencari-cari ketakutannya yang mengerikan itu, justru dia baik-baik saja. Hatinya tidak berdesir sedikit pun. Hendra kecil sudah mengalami uji coba semacam ini ratusan kali, mulai melihat gambar pada layar kaca hingga uji coba langsung seperti sekarang, sebelum dia siap kembali ke sekolah kala itu. Dan setelah mampu melewatinya. Dia tetap berusaha menghindari kejadian serupa. Dia butuh alasan mengapa dirinya tidak sanggup melihat Aruna, meletakkannya dikamar dalam kondisi tertidur pulas saja sudah menciptakan gejolak hebat dalam hatinya. Mengapa dia baik-baik saja sekarang. Bukankah Tania juga perempuan, dia juga berbaring di atas ranjang. _Mengapa hasilnya berbeda??_ Tanpa sadar pria itu menghabiskan 15 menit dalam pengamatan. "Sudah selesai keluarlah sekarang". Pinta Hendra merasa telah cukup. Tania bangkit terkejut. "Apa maksud mu". Ada kesan kekecewaan dan marah yang di sajikan perempuan tersebut. "Yach, aku sudah cukup menerima bantuan mu". (Sekarang aku butuh istirahat) "Hendra!! Kau tak sadar sudah melakukan penghinaan pada ku". Tania merasa tersinggung. "Terserahlah, jika tak mau keluar dari kamar ku, aku yang keluar". Hendra, pria ini terlalu naif. Betul-betul melangkah kearah pintu. "Kau sudah menatap tubuh ku, tapi tidak menyentuh ku". Gadis itu berlari memeluk punggung Hendra. "Apa!? Maksudmu?!". Ada ledakan kemarahan. Refleks Hendra melepaskan diri dan melempar tangan Tania. Air mata Tania mengalir deras. Penolakan Hendra kali ini sungguh menghancurkan harga dirinya. Harapan yang dia susun bertahun-tahun menjelma jadi penghinaan. Dia sudah terlalu kebal menerima perlakuan Hendra. Tapi, mengapa malam ini begitu berbeda. Atau karena impian di luar ekspektasi terlanjur membuncah di d**a. Perempuan itu tersungkur dilantai, duduk tak berdaya dengan derai air mata. Hendra masih berdiri di ambang pintu. Jika itu orang lain dia pasti langsung pergi. Tania, perempuan itu sudah banyak membantu. "Bangun, aku antar kau pulang". Sekali lagi permintaan Hendra tak bisa dia tolak. *** "O..oh, aku terkejut". Perempuan paruh baya masuk kedalam ruang kerjanya. Dengan warna rambut bercampur hitam putih, tetap anggun menawan. "Ternyata tuan kecil ku masih membutuhkan perempuan tua ini, aku sungguh tersanjung". Dokter Diana mendekati Hendra yang secara suka rela membaringkan tubuhnya pada kursi konsultasi milik sang spesialis bergelar Sp.KJ. Hendra meliriknya, mengetuk-ngetukan jari pada pegangan kursi empuk tepat di tengah-tengah ruangan. "Jangan mengancam.., harusnya perempuan tua ini yang marah". Diana mengingat jelas perilaku tuan kecilnya, tidak banyak berubah. Setelah sekian tahun lamanya dia muncul dengan kasus yang sama. "Anda sudah minum obat yang saya berikan?!". Tanpa jawaban, Diana seolah sudah bisa menangkap ungkapan 'belum' dari ekspresi Hendra. Perempuan itu tersenyum sambil geleng-geleng kepala. "Sayang sekali.. padahal obat tersebut memudahkan anda istirahat". Hendra hapal betul kebiasaan Diana, suka memberikan kuliah umum sebelum sesi konseling. Akhirnya dia duduk di kursinya. Dekat tempat Hendra berbaring. "Sekarang, saya boleh tahu? Bagaimana anda bisa tergerak sampai disini?". Tanya Diana lembut. "Mengapa aku hanya bereaksi pada perempuan tertentu". Pernyataan Hendra tengah membatasi dirinya. "Reaksi semacam apa?". Tambah Diana "Ya... Aku takut melihatnya berbaring diatas tempat tidur. Hanya dia, tapi tidak pada yang lain". Penjelasan Hendra belum bisa terang-terangan. "Hanya dia?". Diana mengulang ungkapan Hendra "Tidak pada yang lain?". Dokter itu menerka-nerka. "Hah, aku kecewa anda masih sama". _Bocah ini masih saja melakukan uji coba sendiri_ batin Dr. Diana Hendra memahami kata-kata dokter Diana. Kenakalan masa lalu yang kini dia lakukan. "Anda bisa melaksanakan pengamatan bersama kami, bukankah anda sendiri tahu masalah yang timbul akan lebih banyak". Dr. Diana kecewa. Kebiasaan pasiennya tidak berubah dari dia kecil hingga sekarang. Berusaha mencari solusi sendiri. Tanpa keahlian. "Sudah terlanjur, percuma kau kecewa". Tanggapan Hendra datar. "Baiklah.. boleh aku tahu siapa yang anda sebut 'hanya dia' yang membuat khawatir". Gali Dr. Diana "Aku tidak ingin sejauh itu". Hendra keberatan mengungkapkan identitas Aruna. Dr. Diana tersenyum, meyakinkan Hendra. Semua ucapan pasien akan aman dalam ruang kerjanya. Sayang lawan bicara psikolog tersebut tidak menghiraukan ucapan dokternya. "Apakah anda menaruh perasaan pada 'dia' ". Dr. Diana berusaha mengulik. Hendra menggelengkan kepala. _Ah' pertanyaan ku salah_ Dr. Diana terlalu menyamakan bocah kecilnya dengan pasien yang lain. Itu salah besar. Butuh strategi berbeda sekedar untuk menggali informasi dari pewaris Djoyodiningrat. "Bagaimana dengan rona di wajah anda, pernah merasakan panas atau memerah ketika mendapatkan perilaku tertentu dari 'Dia' ". Sekali lagi pertanyaan Dr. Diana didiamkan Hendra. Pria itu menerawang dirinya sendiri. Dr. Diana menemukan sedikit celah yang mengarah pada ungkapan tertentu. Hanya butuh beberapa konfirmasi lagi. "Saya rasa anda lebih banyak bicara ketika bersamanya". Dr. Diana masih belum menyerah. Hendra tak menemukan jawaban. "Merasa senang berada di dekat 'Dia', itu normal, tidak masalah". Pernyataan Dr. Diana diselipi strategi. _Senang didekat Aruna?. Ah' mustahil, dia merepotkan_ tergambar senyum kecil di raut muka Hendra, ketika pria itu mengingat Aruna. "Jantung berdetak ketika menatapnya sangatlah wajar, ". Bisikan dokter Diana mendebarkan hati Hendra. Pupil matanya melebar. "Oke, sesi kita selesai". _aku sudah menemukan jawabannya_ Pupil mata tidak akan berbohong. Bahkan seseorang tidak mampu mengendalikan gerakan refleks pupil matanya. Ketika pria tertarik dengan sesuatu, atau ada lawan jenis yang menarik perhatian mereka, maka secara otomatis pupil matanya melebar. Begitulah hasil penelitian yang dilakukan oleh psikolog Eckhard Hess. Dr. Diana menulis resep obat. Perempuan itu sesekali menilik pasiennya yang kini tumbuh dewasa. "Aku punya dua resep obat, yang satu akan membantu mu istirahat dengan baik. Tidak ada masalah jika kamu membuangnya, aku yakin CEO gagah sesibuk anda tidak membutuhkan waktu tidur". Sebuah sarkasme yang nyentrik special untuk CEO muda Djoyo Makmur Grup. Dan resep satu lagi adalah tulisan pada Post it (note tempel) warna kuning. *Jujurlah pada diri sendiri, agar aku lebih mudah membantu mu Hendra keluar dari ruang praktek Diana, Walau pun tak banyak bicara. Diana bersyukur bocah kecilnya masih mampu bersuara. Perempuan paruh baya tersebut membuka celah diantara pintu. Menatap punggung Lelaki yang selalu tampak sebagai anak berusia 6 tahun di matanya. "Dasar nakal!". Dokter Diana mengeluh, melihat Hendra berhenti sejenak di dekat tong sampah. Psikolog itu berfikir pasiennya akan membuang resep obat. Ternyata dia meremas post it lalu melemparnya kedalam tong sampah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN