Kisya menatap bangunan setinggi 15 lantai itu dengan kagum. Dia tak menyangka akan berada di tempat tersebut, salah satu hotel terbaik dan terkenal di Jakarta, yang menjadi pilihan para pesohor dan orang-orang terkenal di dalam negeri.
"Ayo masuk?" Bara mengulurkan tangannya.
Kisya menatap tangan yang terulur itu untuk beberapa saat, lalu beralih menatap wajahnya.
"Belum resmi, tapi aku sudah merasa jika kamu adalah milikku," ucap pria itu dengan senyum manis yang menghiasi wajahnya.
"Selamat datang di Diamon Hotel. A shine through your life," katanya masih dengan senyum yang sama. Lalu mereka berjalan memasuki gedung tersebut.
Beberapa pegawai berjejer rapi untuk menyambut kedatangan sang pemilik hotel, lalu satu diantaranya dengan name tagg di kemejanya yang bertuliskan manager pun maju, mempersilahkan keduanya untuk masuk ke tempat dengan suasana yang khas.
"Kamu bekerja disini?" Kisya menatap sekeliling ruangan yang tampak begitu megah. Sebuah restoran di lantai lima gedung tersebut dengan kualitas pelayanan dan fasilitas hotel bintang lima memang begitu kentara.
"Mulai saat ini, kamu bisa menyebutnya begitu." Bara duduk di kursi tepat di samping Kisya, dengan makanan tertata rapi di meja mereka.
"Mulai saat ini?" gadis itu membeo.
"Ya, aku memutuskan untuk kembali mengurus hotel peninggalan orang tuaku," jelas Bara.
"Peninggalan orang tuamu?" Kisya kembali mengulangi kata-katanya.
"Ya."
"Kamu pemilik hotel ini?" mata Kisya membulat seketika.
"Secara teknis, iya. Tapi pengelolaannya masih di tangani oleh Arga dan keluarganya. Jadi, ... aku hanya akan memantau saja."
"Oh ya?" dirinya memang mengetahui jika Arga memang bekerja di hotel itu sejak dia lulus kuliah, namun tak tahu jika mereka adalah pemilik tempat tersebut.
"Makanlah, sebelum kita pergi ke kampusmu," ucap Bara yang memulai acara makannya.
***
"Jadi hotel itu milik keluargamu?" mereka kini dalam perjalanan ke kampus tempat Kisya menempuh pendidkan lanjutannya.
"Ya, jelasnya begitu. Ayahku pemilik sebenarnya. Tapi aku serahkan pengelolaannya kepada Tante Maria begitu orang tuaku meninggal saat aku baru saja lulus SMA."
"Orang tuamu meninggal bersamaan?"
"Ya, mereka meninggal dalam kecelakaan tunggal, saat dalam perjalanan ke sekolahku untuk menghadiri pesta kelulusan."
"Oh, astaga. Maaf, aku turut berduka cita."
"Terimakasih. Tapi itu sudah lama berlalu."
"Dan kamu baru saja pulang?"
"Setelah berusaha melupakan kesedihan sepertinya aku harus pulang."
"Dan selama itu kamu tidak pernah pulang sama sekali?"
"Aku pulang sesekali. Dihari raya, atau saat liburan. Tapi setelahnya kembali ke Turki untuk belajar dan bekerja."
"Hmmm ..." Kisya mengangguk-anggukan kepala.
"Bagaimana rasanya tinggal di luar negeri?" dia kemudian bertanya.
"Begitulah, ... setiap tempat memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tapi jika boleh memilih, aku ingin selamanya tinggal disini. Di tempat kelahiranku."
"Kamu tahu, terkadang aku punya keinginan untuk pergi dari rumah untuk hidup mandiri, dan menjalani hidupku sendirian. Apalagi jika bisa pergi keluar negeri, rasanya akan lebih baik lagi." Kisya menatap jalanan yang cukup ramai pada siang itu.
"Dan meninggalkan keluargamu?" Bara menghentikan laju mobilnya saat lampu lalu lintas berubah merah.
"Ya."
"Kenapa ingin meninggalkan keluargamu? bukankah merekalah satu-satunya keluarga yang kamu miliki?"
"Entahlah, ... rasanya aku hanya ingin menjauh dari mereka semua. Tapi nanti jika aku sudah mendapatkan pekerjaan, aku mau keluar dari rumah."
"Benarkah?"
"Iya."
"Apa mereka selalu memperlakukanmu dengan buruk?" Bara menatap gadis di kursi penumpang itu.
"Tidak juga, hanya saja ...
"Keberadaan Arga disana membuatmu merasa tidak nyaman?"
Kisya menoleh.
"Aku tahu dia mantan kekasihmu, dan bukan hal yang mudah hidup satu atap dengan seseorang yang telah memberikan kenangan buruk untuk kita. Itu juga yang membuatku memutuskan untuk pergi ke Turki."
"Oh ya?"
"Mm ... " Bara menggelengkan kepalanya sekilas. "Lalu, kenapa tidak kamu terima saja penawaranku? sehingga kamu bisa segera keluar dari rumah itu, dan lepas dari keluargamu." Bara dengan ide briliannya.
Kisya terkekeh pelan.
"Kamu masih membahas itu, Bara?"
"Tentu, karena itu juga tujuanku pulang kampung," pria itu menyunggingkan senyum lebar, menunjukan gigi putihnya yang berjejer rapi.
"Hhhh ..." Kisya menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi.
Mobil kembali bergerak setelah lampu berubah hijau. Dan tak lama kemudian mereka tiba di kampus yang dituju.
Kisya mengambil beberapa berkas, dan data-data yang dia butuhkan. Sekalian mengambil beberapa barangnya di dalam loker, sama seperti beberapa mahasiswa tingkat akhir lainnya.
"Jangan lupa daftar ke panitia berapa anggota keluarga yang ikut ya?" seorang mahasiswa seangkatannya menyebarkan undangan untuk acara wisuda.
Kisya meraih selembar undangan, lalu memasukannya kedalam kotak karton yang dibawakan oleh Bara.
"Kamu tidak mau daftar?" pria itu mengikuti langkanya keluar dari gedung.
"Untuk apa?" Kisya malah balik bertanya.
"Untuk keluargamu? mereka akan menghadiri wisudamu bukan?"
"Tidak akan."
"Benarkah?" Bara meletakan kotak berisi barang-barang milik Kisya di kursi belakang mobilnya.
"Tidak akan ada yang menghadiri acara wisudaku. Memangnya siapa juga yang mau?"
"Keluargamu?"
"Hahaha, ..." Kisya tertawa, walau tampak dia paksakan. "Sejak sd tidak ada yang pernah menghadiri acara kelulusanku. Mereka selalu sibuk dengan Mischa. Entah itu menghadiri kelulusan Mischa, ulang tahun Mischa, mengantar Mischa keruamah sakit, atau karena Mischa tidak mau ditinggal meski hanya sebentar. Jadi, sudah pasti kali ini pun tidak akan ada yang menghadiri acara wisudaku."
Bara terdiam.
"Aku tidak perlu siapapun untuk hadir. Diriku pun sudah cukup." gadis itu terkekeh getir.
"Kapan wisudanya?" Bara kemudian bertanya.
"Sekitar dua bulan lagi."
"Ya sudah," pria itu kemudian memutuskan untuk kembali kedalam gedung.
"Kamu mau kemana?"
"Tunggu disini, sebentar aku kembali," katanya yang bergegas.
Dan benar saja, Bara kembali setelah beberapa menit. Dia membawa beberapa lembar kartu undangan yang sama seperti yang Kisya dapat sebelumnya.
"Kamu simpan," dia meyerahkan benda tersebut kepada Kisya.
"Kamu daftar untuk wisuda siapa?" gadis itu mengerutkan dahi.
"Untuk wisuda kamu."
"Aku?" Kisya menunjuk wajahnya sendiri.
"Iya. Jika tidak ada orang lain yang bisa, maka aku yang akan menggantikan mereka."
Kisya tertegun.
"Jangan khawatir, kamu tidak akan sendirian lagi mulai sekarang. Ada aku," katanya, yang menepuk puncak kepala gadis itu dengan lembut.
"Boleh kan?" katanya kemudian.
"Boleh, kalau mau. Tadinya aku mau sewa orang untuk pura-pura jadi kerabatku. Tapi karena kamu sudah duluan mendaftar, sepertinya tidak perlu lagi," gadis itu tertawa.
"Baiklah."
"Tapi kamu daftar untuk undangannya kebanyakan. Seharusnya satu saja, hanya untuk kamu."
"Tidak apa-apa, mungkin orang tuamu mau ikut?"
"Tidak mungkin. Mereka akan sibuk dengan Mischa, apalagi sebentar lagi kemungkinan dia akan hamil." Kisya menyeringai sekilas.
"Apa?"
"Hmmm ...sepertinya akan ada kabar mengejutkan dari pengantin baru."
"Oh ya? kamu tahu sesuatu?"
Kisya hanya tertawa.
"Ki?"
"Hanya tunggu dan lihat sajalah, bukankah setiap pasangan menikah memang akan punya anak? begitu juga Mischa dan Arga."
"Memang, tapi sepertinya kamu tahu sesuatu yang lain?"
"Tidak, hanya menunggu saat itu tiba." dia kembali tersenyum.
"Tapi senyum kamu itu aneh, Ki." Bara berucap.
Gadis itu hanya menggendikan bahu, kemudian masuk kedalam mobil.
*
*
*
Bersambung ...