Adhisti langsung merasa panik ketika gerakan anaknya sudah tidak dia rasakan lagi.
"Tidak! Tidak mungkin, anakku! Anakku! Ibu mohon, bergeraklah! Ibu mohon nak!" Teriak Adhisti dengan wajah yang penuh dengan air mata. Tubuhnya terasa semakin sakit dan darah segar pun terus keluar tiada henti.
Membuat Adhisti merasa seluruh tubuhnya semakin lemas dan pandangannya kini mulai meredup dan tidak lama kemudian, dia pun pingsan.
Dari luar. Seseorang menyimpan sebotol obat yang dia masukkan ke dalam makanan Adhisti sebelumnya dan menyimpannya didalam laci yang berada tidak jauh dari tempat tidurnya. Setelah itu, dia pun segera pergi meninggalkan Adhisti yang masih dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Tidak lama kemudian, tabib dan pelayan pun datang. Mereka pun langsung memeriksa keadaan Adhisti dan bayinya.
Tabib itu pun menggelengkan kepalanya dan merasa sedih, karena dia tidak bisa menyelamatkan bayinya.
"Tabib, bagaimana dengan bayi Yang Mulia Ratu? Apakah bayinya baik-baik saja?" Tanya pelayan itu dengan gugupnya.
"Saya minta maaf, tapi bayinya Permaisuri, tidak bisa diselamatkan. Beruntung saja, Permaisuri masih bisa diselamatkan dan ini sebuah keajaiban yang Dewa berikan kepadanya," ucap sang tabib dan pelayan itu pun menangis. Dia selalu berada disamping Adhisti dan dia tidak menyangka, jika dia tidak bisa mengetahui jika Adhisti tiba-tiba mengalami keguguran. Padahal, sebelumnya. Adhisti baik-baik saja.
Setelah itu. Bayi yang sudah keluar dan masih berukuran kecil pun keluar dari rahim Adhisti. Tabib itu membersihkan pendarahan dan juga merapihkan keadaan Adhisti.
Hingga, Adhisti pun berbaring diatas tempat tidur dengan keadaan sudah berganti pakaian dan lukanya pun sudah diobati oleh sang tabib.
Pelayan itu pun mencari teman pelayannya yang bertugas untuk memanggil Aryasetya. Namun, dia tidak kunjung kembali.
Malahan yang datang adalah Dewi Amita dan juga Widuri.
Mereka berpura-pura bersimpati dan menangis saat melihat jasad bayi yang sudah meninggal hendak dikebumikan.
"Kasihan sekali, bayi yang tidak berdosa ini. Harus menjadi korban dari kekejaman ibunya," ucap Dewi Amita sambil menitikkan air matanya.
Saat dia mengatakan itu, Aryasetya sudah ada dibelakangnya dan dia pun merasa terkejut saat melihat bayinya sudah ada diluar perut Adhisti dan tidak bergerak sama sekali.
"Ini! Ini ada apa? Ibu! Ada apa? Kenapa ibu memanggil aku kesini? Apakah ini …," Aryasetya pun berteriak dan langsung meraih bayinya yang hendak dikebumikan.
Dia pun menangis sambil memeluk bayi yang sudah tidak bergerak itu.
"Anakku! Apakah kamu anakku? Kenapa kamu tidak bergerak, kenapa?" Teriak Aryasetya dan air mata pun mengalir dari sudut matanya. Dia merasa hatinya sangat hancur, karena anak yang sudah dia tunggu kelahirannya. Harus pergi sebelum dia bisa memeluknya dalam kasih sayang sebagai seorang ayah.
Dewi Amita pun mendekati Aryasetya dan ikut menangis bersamanya.
"Arya, kamu jangan bersedih lagi. Kamu masih bisa memiliki anak dilain hari. Masih ada Widuri dan juga Ishana yang siap menjadi ibu dari anak-anak kamu. Tidak seperti Adhisti. Dia wanita yang sangat kejam. Dia rela membunuh bayinya hanya karena kamu sudah tidak memberi perhatian padanya. Dia benar-benar wanita yang sangat kejam!" ucap Dewi Amita. Dia sengaja mengatakan itu, karena kondisi emosi Aryasetya sedang tidak stabil dan memicu api amarah yang semakin besar.
"APA! Apa maksud ibu mengatakan itu? Adhis, dia tidak mungkin melakukan hal itu? Ibu. Ibu tahu darimana jika Adhis melakukan hal sekeji itu?" Tanya Aryasetya dan dia masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Dewi Amita.
Dewi Amita pun memanggil pelayan dan dia pun datang sambil membawakan botol kecil yang ternyata isinya adalah sebuah obat.
Pelayan itu pun menyerahkan botol itu kepada Aryasetya dan Aryasetya langsung mengambilnya.
"Obat! Obat apa ini ibu?" Tanya Aryasetya dan dia masih belum mengerti.
Datanglah seorang tabib dan dia pun menjelaskan tentang obat itu.
"Mohon maaf Yang Mulia Raja dan Yang Mulia Ibu Suri. Obat ini adalah obat penggugur kandungan dan obat ini, saya temukan di laci dekat tempat tidur Yng Mulia Permaisuri," ucap tabib itu dan dia memang tidak berbohong sama sekali.
Mendengar hal itu, Aryasetya pun merasa seluruh tubuhnya lemas dan api amarah dan kebencian pun membakar hatinya.
Aryasetya meremas botol itu hingga hancur dan dia pun langsung berjalan secepatnya menuju kamar Adhisti.
Di dalam kamar, Adhisti baru saja bangun, lalu dia pun langsung menyentuh perutnya yang kini terlihat sudah rata.
Adhisti pun menangis dan merasa sangat sedih, karena dia harus kehilangan anaknya.
Saat Adhisti menangis tersedu-sedu.
Aryasetya pun datang dan kini berdiri tepat didepannya dengan tatapan penuh amarah dan juga kebencian kepadanya.
Adhisti melihat itu semua dan dia merasa jika Aryasetya benar-benar sudah tidak memiliki perasaan apapun padanya.
"Setya. Kenapa kamu memandang aku dengan tatapan seperti itu? Apakah kamu tega kepadaku? Aku baru saja kehilangan anak kita tapi kamu …," Adhisti menghentikan karena Aryasetya menarik keras tangannya dengan sangat kasar.
"Tega? Siapa yang tega? Kamu yang tega Adhis. Kamu membunuh anak kita karena aku tidak memperdulikan kamu? Kamu benar-benar ibu yang sangat kejam. Aku sungguh tidak menyangka jika kamu sangat kejam seperti ini," ucap Aryasetya. Dia menatap tajam wajah Adhisti seakan-akan dia ingin membunuh Adhisti saat itu juga.
"Kamu wanita yang sangat kejam. Akibat kecemburuan kamu, kamu mendorong Widuri ke kolam dan Widuri hampir saja mati karena dia tidak bisa berenang di kolam itu. Aku diam karena aku ingin kamu merenungkan kesalahan kamu. Tapi, kamu rela mengorbankan anak kita hanya untuk membalas dendam kepadaku! Benarkah itu Adhis!" Teriak Arya dengan suara keras dan tidak ada kelembutan sama sekali.
Adhisti sudah membuka mulutnya dan hendak menjelaskannya. Tapi, Aryasetya kembali berbicara, "Kamu wanita yang sangat kejam. Aku sungguh menyesal karena pernah mencintai kamu. Sungguh aku sangat menyesal!" Ucap Aryasetya dan dia menghempaskan tangan Adhisti dengan kasar dan Aryasetya langsung memalingkan wajahnya.
Mendengar itu semua, Adhisti merasa seluruh tubuhnya lemas dan hatinya benar-benar sangat hancur.
Dia sudah di fitnah dan satu-satunya orang yang harus mempercayainya, kini sudah meninggalkannya bahkan dia sudah membencinya.
"Setya. Kamu membenci aku? Dan kamu … kamu percaya jika aku seperti itu?" tanya Adhisti dengan wajah yang penuh dengan air mata. .
Aryasetya tidak berani menatap wajah Adhisti, karena dia tidak sanggup jika harus melihat air mata yang jatuh dari sudut mata Adhisti.
Namun, ketika dia mengingat jika Adhisti rela membunuh anaknya. Membuat api amarah didalam hati Aryasetya semakin membakar hatinya.
"Cukup! Aku tidak mau mendengar apapun dari mulut kamu. Semua sudah terbukti dan kamu akan mendapat hukuman! dan itu Setelah kamu sembuh. serta … jangan panggil aku Setya lagi. Karena kamu tidak pantas memanggilku dengan panggilan itu," ucap Aryasetya dia pun mengibaskan jubah kebesarannya dan dia pun bersiap untuk melangkah pergi meninggalkan Adhisti yang masih dalam keadaan lemah dan wajahnya dipenuhi dengan noda air mata.
"Mulai saat ini. Kamu harus memanggilku Yang Mulia. Sama seperti yang lainnya dan aku, aku tidak mengizinkan kamu untuk keluar dari kamar ini tanpa seizinku. Daan kamu, dilarang menemui aku terlebih dahulu, sebelum aku yang datang kesini," ucap Aryasetya dan dia pun pergi meninggalkan Adhisti begitu saja tanpa melihat kearahnya sama sekali.