Bab 2

1022 Kata
[Ibu Erni, minta tolong untuk cek plat nomor mobil ini. Apakah ini mobil inventaris perusahaan? Lalu minta cek juga wajah ini, apakah ini salah satu karyawan di perusahaan?!] sederet kalimat itu dikirimkannya pada Bu Erni---bagian HRD&GA. Wira kembali memasukkan gawai itu ke dalam saku lusuhnya. Dia memastikan tidak ada yang melihatnya atau semua penyamarannya akan berakhir. Dia bergegas mendorong kembali gerobak berisi sampah-sampah yang bisa didaur ulang. Penyamarannya kali ini bukan tanpa alasan. Namun dia sedang menyelidiki kasus pembengkakan anggaran untuk project pembebasan lahan. Sudah beberapa laporan masuk jika dana pembebasan lahan ternyata di luar perkiraan. Tanah yang diperkirakan hanya memiliki kisaran harga tiga ratus ribu rupiah permeter, pada kenyataannya dalam laporan, bisa menjadi naik tiga kali lipatnya. Hal itulah yang pada akhirnya membuat Wira memutuskan untuk menyelidikinya sendiri ke lapangan. Beberapa fakta mengejutkan terjadi. Pada kenyataan di lapangan, tanah yang sudah termasuk dalam laporan dan sudah mendapatkan uang pembebasan lahan, ternyata kebanyakan tanah girik. Bahkan ada tanah kosong yang memang milik negara yang berjejer di samping kali malang. Wira melakukan survey, beberapa orang menyebutkan betul jika ada orang yang memeberi mereka uang, akan tetapi karena tanah itu memang entah milik siapa, mereka pun hanya meninggalinya. Ada yang diberikan harga hanya 50.000 per m2. Bahkan ada juga yang tidak dibayar alias gratis hanya diberikan kesempatan untuk segera memindahkan barang-barang mereka. Hari itu Wira kembali berkeliling, masih butuh beberapa keterangan saksi lagi untuk menjerat pelaku. Dia menyusuri jalanan sepanjang kali malang itu sambil memunguti botol-botol bekas. Langkahnya terhenti ketika di teras sebuah rumah yang sangat kecil, tampak gadis yang tadi ditolongnya sedang membantu meminumkan obat pada seorang wanita sepuh yang duduk bersandar. Di depan rumah yang ditaksir hanya memiliki luas 24 m3 itu tampak ada kompor dan panci adonan. Langkah Wira terhenti, ia tertegun sejenak. Hati kecilnya merasa iba. Mungkin ini yang tadi dibilang Rinai---gadis penjual rempeyek itu jika dia sedang butuh uang. Gadis yang baru beberapa hari ditemuinya sedang berjualan di tepi jalan. “Rongsok! Rongsok! Ada botol aqua bekas? Panci bekas? Wajan bekas?!” Wira mendekat dan berdiri tidak jauh dari Rinai yang baru saja selesai memberikan obat pada ibunya. “Gak ada, Bang!” Rinai menjawab tanpa menoleh. Dia tidak menyangka jika Wira akan mengikutinya ke sana. “Saya mau beli rempeyeknya, Mbak,” ucap Wira sambil menatap rempeyek yang masih tampak berenang-renang di wajan. Rupanya Rinai tengah menyiapkan untuk jualan esok pagi lagi. Rinai menoleh. Selalu ada getar senang ketika ada orang yang berkenan membeli barang dagangannya. “Belum matang, Bang. Tunggu bentar, ya!” ucap Rinai. Namun netranya terkesima ketika ternyata yang berdiri itu seorang pemulung tampan yang tadi membeli semua dagangannya. Wira mendekat, lalu duduk pada balai-balai. Dia mengedarkan pandang. Rumah itu benar-benar kecil, jauh dibawah kata sederhana. “Saya nunggu di sini saja,” balas Wira. Rinai mengangguk. Dia beringsut ke dalam dan membawa semua bungkusan obat yang tadi diberikan pada ibunya. Tak berapa lama, dia keluar lagi dengan membawa secangkir teh manis pada nampan. “Silakan, Bang,” ucapnya sambil meletakkan gelas itu di samping Wira. “Kenapa dibuatkan ini? Saya bukan tamu.” Wira menatap garis wajah manis yang tampak penuh beban itu. “Anggap saja ucapan terima kasih, karena Abang membeli semua rempeyek saya tadi, saya bisa membeli bahan untuk berjualan lagi dan membelikan obat untuk ibu. Selain itu, tadi saya membeli gula dan teh manis … alhamdulilah bisa membuatkan ibu. Sudah lama, gula kami habis, Bang. Saya nggak ada uang buat beli,” ucap Rinai. Kalimat panjang lebar itu membuat hati Wira terenyuh. Ternyata beberapa lembar rupiah yang baginya tidak seberapa bisa begitu berarti buat gadis itu. Bahkan, dengan mata berbinar dia begitu bahagia ketika berbicara bisa membeli teh dan gula. Bisa membuatkan ibunya. Seolah teh manis itu minuman langkah. “Kamu hebat, Mbak. Kamu tampak begitu pekerja keras!” Wira memuji gadis itu dengan tulus. Selama ini tidak ada sosok unik seperti Rinai. Gadis-gadis yang dikenalnya rata-rata bergaya hidup hedon, suka menghamburkan uang, mengikuti trend mode dan sibuk dengan gosip-gosip murahan. “Saya bukan hebat. Keadaan yang memaksa saya menjadi seperti ini.” Rinai menjawab sambil mengangkat rempeyek yang sudah matang. Kemudian tangannya dengan cekatan kembali memasukkan adonan rempeyek itu ke dalam wajan. Membuat cipratan-cipratan minyak kecil dan suara gemericik. “Sudah matang, Bang. Tunggu dingin sebentar,” ucap Rinai sambil meniriskan rempeyek yang baru saja diangkatnya. Wira mengangguk sambil meneguk teh manis yang disuguhkan padanya. “Oh iya, kenalkan … nama saya Wira. Mbak namanya siapa?” Wira mengulurkan tangan. Rinai yang baru saja menyimpan centong adonan mengelap sebentar tangannya yang penuh minyak lalu menerima uluran tangan Wira. “Nama saya Rinai. Mungkin nggak usah panggil, Mbak! Sepertinya Abang lebih tua dari saya,” ucapnya sambil tersenyum samar. Wajahnya tampak semakin manis di mata Wira. Mereka melepas jabatan tangannya. Wira kembali duduk dan menikmati teh manisnya. Sementara itu, Rinai kembali fokus pada wajan berisi rempeyek yang sedang dimasaknya. Wira mengedarkan pandangannya, dia menangkap beberapa sosok berpakaian rapi sedang berjalan menyusuri pinggiran kali. Menatap bangunan-bangunan setengah kumuh yang berdiri di sana. Ada empat orang totalnya. Salah satu dari mereka mengenakan pakaian dengan lambang yang Wira sangat kenal. Dia sepertinya salah satu pegawai yang ditugaskan di lapangan dari perusahaannya. Keempat orang itu berpencar. Dua orang mendekat ke arah Wira dan Rinai. Sementara itu, dua orang lagi memasuki bangunan setengah kumuh lainnya. “Permisi, Mbak! Kenalkan, kami dari perusahaan Wira Eka Dharma yang bergerak di bidang property. Maksud kedatangan kami ke sini untuk mengurus pembebasan lahan karena kami sedang ada project komersil di daerah sini,” ucap salah satu memperkenalkan diri. Wira menunduk dan duduk menepi. Membiarkan dua orang itu duduk pada balai-balai dan lebih dekat pada Rinai. “Iya silakan duduk, Pak. Ada perlu apa, ya?” Rinai mematikan kompor. Mengelap tangan lalu duduk pada balai terpisah yang ada di sana. “Kami ingin membeli area ini. Ini juga ‘kan masih tanah pengairan ‘ya? Per meternya kami hargai lima puluh ribu rupiah. Ini sudah mutlak, semua harga di sini sama. Kalian bisa pindah dan mencari tempat lain nanti dengan uang yang kami berikan!” ucapnya. Sontak darah Wira mendidih. Mendengar dengan telinga sendiri sebuah kecurangan yang ada di depan matanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN