Bab 9

1002 Kata
Rika berjalan keluar ruangannya dalam keadaan ngambek. Rendi menatap punggung perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu. Sementara itu, otaknya memutar cara agar bisa bisa mengendalikan Rika dan tidak merusak reputasinya. Namun dering telepon yang teronggok di mejanya mengalihkan perhatian. Rendi segera mengangkatnya dan menyapa seseorang dari seberang sana. “Selamat pagi, Pak Rendi!” sapa Haris---personnel General Affair. “Pagi!” Rendi menarik napas lalu membuangnya kasar. “Pak Rendi, berdasarkan informasi dari bagian lapangan, mobil operasional yang Pak Rendi pakai untuk meeting kemarin belum kembali, ya?” selidiknya. “Iya Pak Haris, minta maaf banget … hmm … kemarin waktu saya sedang mengajak klien makan, bagian depan mobilnya tertimpa dahan di parkiran, jadi agak penyok. Makanya saya titip di bengkel untuk diperbaiki dulu,” ucap Rendi. “Kan ada asuransi, Pak! Kenapa Bapak harus merogoh kocek sendiri! Bisa cabut saja, Pak! Biar saya yang urus ke asuransi!” ucapnya. Rendi terdiam sebentar, lalu memutar otak mencari alasan agar tidak terjebak dengan jawaban yang salah karena mobil itu sebetulnya sedang pura-pura diberikan pada Taysa, gadis yang tengah digandrunginya saat ini. Gadis ranum yang sudah membuatnya mabuk kepayang. “Bisa bahaya kalau mau ke asuransi, bisa-bisa ketahuan semua kebohonganku. Bahaya, nih … gak bisa ikut promosi kenaikan jabatan nanti!” batin Rendi. “Hallo, Pak Rendi! Pak Rendi!” Suara Haris membuat kesadarannya kembali. “Emhhh, gini, Pak! Sebetulnya saya sudah bayar DP, jadi gak apa lah … biar di bengkel sana saja! Toh kalau asuransi ‘kan posesnya lama!” kilah Rendi. “Hmmm, nanti saya coba tanyakan pada Bu Erni. Soalnya tadi Bu Erni yang ngecheck ke lapangan. Saya malah yang kena, karena lupa kemarin itu mobil yang itu dipakai Bapak.” Haris lalu menutup panggilan. Rendi mengusap wajah kasar. Memang semua ada risiko. Demi mendapatkan kegadisan Tasya, tak apa dirinya harus berakting, memberi mobil untuknya, meskipun sebetulnya hanya dia pinjamkan sementara. Rendi menatap rancangan project yang tengah ditanganinya. Sebuah apartemen river side yang menggunakan konsep Japanese modern. Drawing konsep dari bagian design sudah diterimanya, diamatinya baik-baik. Konsep dari pemilik perusahaan langsung itu cukup menarik dan unik. Membeli area lahan di tempat yang sedikit masuk ke area kampung yang masih sejuk dan membuat satu komplek pemukiman modern, termasuk satu buah mall yang terintregasi langsung dengan bangunan itu cukup menarik untuk para investor. Hanya saja, dirinya dan beberapa tim di lapangan memang sengaja mengambil keuntungan dari sela-sela project besar ini. Setengah hari sudah Rendi berkutat dengan pekerjaannya. Sebagai seorang manager operasional dan purchasing, kredibilitasnya memang tidak diragukan. Perusahaan sudah memberinya kepercayaan penuh untuk mengurus beberapa project penting. Namun, ternyata semua kewenangan tersebut membuat Rendi melihat peluang. Peluang untuknya memperkaya diri sendiri sehingga mendapatkan pendapatan yang berkali-kali lipat dari pekerjaan tercelanya itu. Dering gawainya kembali berbunyi. Nama Dirman terpampang di sana. Rendi bergegas mengangkatnya. Hari ini Dirman akan kembali menyisir para penghuni yang masih bertahan dan melakukan negosiasi lagi. “Hallo! Selamat siang, Pak Rendi!” Dirman menyapa lelaki yang dikenalnya sebagai bos itu. “Siang, Pak Dirman! Ada kabar apa? Bagaimana prohress di lapangan?” Rendi bertanya antusias. “Hanya tinggal dua rumah yang membangkang, salah satu dihuni oleh seorang gadis dan ibunya yang sakit-sakitan, sementara itu satu rumah lagi dihuni oleh satu keluarga. Ada lima orang anak, satu orang perempuan dewasa dan lelaki yang tengah sakit-sakitan juga. Mohon arahannya, Pak!” ucap Dirman dari seberang sana. “Lakukan seperti biasa! Namun pastikan sudah berkoordinasi dengan apparat setempat! Sumpal dulu mulut mereka dengan uang! Jadinya ada pengaduan apapun tak akan sampai diproses dan rencana kita tetap berjalan lancar!” titah Rendi. Keberhasilannya pada pembangunan seratus minimarket pada project sebelumnya membuatnya besar kepala. Dia yakin, sang pemilik perusahaan tidak akan campur tangan dan memeriksa pekerjaannya, toh mereka sudah percaya. Dirman menutup panggilan. Dia menatap perempuan yang tengah terbatuk-batuk di teras rumah yang terbuat dari papan itu. Harum---ibunya Rinai tengah menunggu Rinai pulang. Biasanya menjelang makan siang, Rinai akan pulang membawakannya nasi bungkus dan mereka akan makan bersama. “Bu, kalau Ibu sayang dengan anak gadis ibu! Dengarkan kami! Tinggalkan rumah kumuh ini segera! Ini kompensasi dari kami!” Dirman melempar satu buah amplop berisi uang yang tak seberapa. Ditatapnya wanita yang wajahnya tampak pucat itu sambil menyeringai. “Pak, s—saya mohon! Ini tempat kami berteduh satu-satunya! Tanah ini pun tanah waqaf untuk panti sosial setahu saya. Dulu dari perangkat desa memang membolehkan kami tinggal di sini dengan membayar murah, akan tetapi tidak semurah harga yang Bapak berikan pada kami, Pak!” Bu Harum berkata panjang lebar. Ditengah batuk dan tekanan darah rendah yang menimpa dirinya, dia masih bisa berpikir rasional. “Berarti kamu memang mau melawan kami! Asal Ibu tahu, perangkat desa semua sudah ganti. Kini semuanya baru dan kami sudah mendapatkan izin untuk membangun di wilayah ini! Jadi Ibu tidak ada pilihan lain selain mengambil uang kompensasi dari kami dan pergi meninggalkan tempat ini!” hardik Dirman. Lelaki itu mendekat dan menendang meja kayu yang biasanya digunakan Rinai untuk membuat rempeyek. Kompor dan wajan berisi minyak yang ada di atasnya tumpah berhamburan. Harum memegang dadanya, cukup shock dengan perlakuan kasar Dirman. “Hentikan! Kalian tidak berhak berbuat onar di tempatku!” Rinai yang baru saja pulang berjualan berteriak. Dilemparkannya panci yang dibawanya sehingga mengenai kepala Dirman. “Rupanya besar juga nyalimu, siapa namamu, Manis? Apa kau tidak takut padaku, hah?” Dirman mendekat sambil mengusap pelipisnya yang terkena panci. Rinai mundur beberapa langkah ke belakang, langkahnya sudah tiba di halaman rumah sempitnya. Namun tak ada lagi benda yang bisa dipakainya untuk membela diri. Amarah sudah membuat kelakuannya tergesa. “Kamu mau dibayar mahal? Ayo kita main-main sebentar?” ucapnya sambil menyeringai. Langkahnya dengan cepat mendekat dan menarik lengan Rinai hingga tubuh mereka nyaris tak berjarak. “Lepas!” bentak Rinai seraya memberontak. Namun dia kalah. Tenaga Dirman jauh lebih besar berkali-kali lipat. Satu tangan lainnya kembali menjawil dagu belah yang membuatnya semakin gemas itu. Pletak! Tanpa disangka, satu buah lemparan batu dari jauh mengenai dahi Dirman hingga berdarah. Lelaki itu menoleh ke samping, arah dari mana datangnya batu itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN