Wira melempar dahan kayu yang dipegangnya. Dia berjalan menuju Rinai yang tampak sedang memilah rempeyek yang masih bisa dijualnya. Wira menghampiri dan menyodorkan tissue pada gadis yang tengah membungkuk itu.
Rinai mendongak melihat benda putih yang disodorkan Wira. Dia mengerutkan dahi sambil menoleh pada Wira yang berdiri tak jauh darinya.
“Bang, itu buat apa?” Rinai menatap heran.
“Buat hapus air mata kamu,” ucap Wira sambil memperhatikan raut wajah cantik yang ada di depannya.
Rinai berdiri lalu meraih benda putih itu sambil tersenyum. Namun dia mendekat pada Wira yang mengenakan kaos tanpa kerah yang penuh coretan. Celana bahan dibawah lutut yang warnanya sudah pudar.
“Simpan saja buat Abang. Air mataku terlalu berharga untuk menangisi orang-orang seperti mereka,” jawab Rinai santai. Meskipun tampak ada gurat kesal membayang.
“Mereka saudara kamu?” Wira duduk pada tikar yang digelar oleh Rinai.
“Ya, harusnya kami bersaudara. Hanya saja mereka tak pernah menganggapku bagian dari keluarganya! Ada kasta membentang di antara kami. Bagi mereka aku adalah sudra. Kasta terendah yang bahkan tidak berhak bahagia,” ucap Rinai sambil kembali memilah rempeyek yang layak jual dan rempeyek rusak itu ke dalam sebuah plastik besar. Dan menata sisanya.
Beberapa pengendara yang berlalu lalang tampak tak acuh juga pada sekitar. Karena itu meskipun kerap kali kedua kakak beradik itu membully Rinai, hanya dirinya sendirilah yang bisa menepis dan melawan.
“Bang, kamu berani sekali merusak mobil mereka? Nanti kalau minta ganti rugi gimana?” Rinai kali ini yang merasa khawatir. Dia menatap Wira. Cemas juga dalam hatinya.
“Justru aku akan sangat senang jika mereka datang padaku dan meminta ganti rugi. Itulah saat-saat yang kunantikan.” Wira tersenyum sinis. Memang benar, dia ingin melihat dengan mata kepala sendiri wajah Rendi yang ternyata mengaku-ngaku kerabatnya. Jika perlu, dia ingin mereka datang ke hadapannya di depan semua orang.
“Astaghfirulloh, Bang. Jangan sembarangan kalau bicara. Harga mobil itu ratusan juta. Orang kaya kita mana ada uang sebanyak itu. Mending kamu pindah lokasi, Bang. Kelilingnya jangan daerah sini lagi. Aku tahu betul Tasya dan Tisya. Mereka tak akan tinggal diam. Bisa-bisa mereka datang dan mempolisikanmu.” Rinai menatap cemas.
Wira terkekeh. Lalu berdiri dari duduknya. Dia mengambil satu bungkus rempeyek dan membukanya. Lalu meminta Rinai membuat kopi hitam untuknya.
“Kopi hitamnya tanpa gula, ya!” Wira duduk sambil menikmati rasa gurih dari rempeyek. Wangi daun limau berpadu dengan krispi membuat dirinya ketagihan.
Selain berjualan rempeyek, Rinai juga menyediakan kopi dan air mineral di sana. Sesekali suka ada yang mampir membeli kopi. Rinai mengangguk, dengan cekatan dia membuatkan kopi pada gelas kecil untuk Wira. Pemulung tampan yang sudah jadi langganan rempeyeknya.
Beberapa anak sekolah yang tampak bergerombol, mampir. Mereka masing-masing mengambil rempeyek yang masih tersedia di sana.
“Mbak, Nay! Aku mau yang dua ribuan saja, lima bungkus, ya!” ujar seorang gadis dengan kerudung kuning.
“Dibawa pulang lagi, Yu?” tanya Rinai sambil tersenyum. Tangannya cekatan mengambilkan lima bungkus rempeyek dan disodorkan pada Ayu. Ditambahkannya satu sebagai bonus. Dia tahu, Ayu bukan gadis remaja kaya raya. Rempeyek itu kerap kali dibelinya untuk lauk makan sekeluarga.
“Iya, Mbak, Nay! Buat adik-adik makan,” ucapnya sambil menyodorkan uang sepuluh ribuan. Rinai menerimanya sambil berdoa dalam d**a. Semoga suatu saat bisa membantu Ayu. Gadis yang baru duduk di SMP dan memiliki cita-cita ingin menjadi guru.
Teman-teman Ayu hanya membeli satu bungkus. Rempeyek seharga lima ribuan. Mereka hanya membeli untuk camilan dikala senggang. Usai rombongan itu berlalu. Datang lagi serombongan ibu-ibu yang baru turun dari ojek sepulang dari pasar.
“Nay, peyek kacang ijo atau kacang tanah?” tanyanya. Satu tangannya menenteng plastik berisi sayuran.
“Kacang tanah, Budew!” jawab Rinai sambil tersenyum.
“Tumben tinggal dikit, buat dikit, ya?” tanyanya seraya memilah beberapa bungkus.
“Iya, Budew! Ini sebagian rusak, tadi jatuh!” ucap Rinai sambil menunjuk pada kantong plastik berisi remahan rempeyek yang remuk.
“Oalaahh! Hati-hati toh, Nay! Ini Budew beli segini!” ucapnya sambil menyodorkan beberapa bungkus. Rinai dengan cekatan memasukkannya ke dalam keresek berwarna hitam. Perempuan itu mengambil uang dari dalam dompetnya lalu menyodorkan padanya.
“Belum ada kembalian, Budew! Besok saja bayarnya!” Rina mengembalikan satu lembar uang berwarna merah itu. Perempuan itu tersenyum.
“Buat kamu saja sisanya. Bisa buat menutup modal. Peyek kamu banyak yang rusak dan tak terjual soalnya,” ucapnya sambil mengambil plastik peyek tersebut dan berjalan pulang.
“T—tapi, Budew!” Ucapan Rinai menggantung.
“Gak apa, Budew ikhlas! Semoga bisa menularkan kebaikan buat yang lainnya juga, ya!” ucap Budew sambil menoleh, lalu tersenyum. Kemudian dia melanjutkan kembali langkahnya.
Hati Rinai tersentuh. Ditatapnya selembar uang seratus ribuan itu dengan penuh rasa syukur. Ternyata memang, hukum tabur tuai itu ada. Sebungkus rempeyek untuk Ayu yang diberikannya ikhlas, langsung mendapatkan gantinya berkali lipat dari ketulusan hati Budew.
***
Tasya mengendarai mobilnya dengan keadaan marah, karena itu Tisya memintanya menepi. Lalu dia beralih menggantikan adiknya menyetir.
“Aku takut mati muda kalau kamu bawa mobilnya kayak gini, Sya!” ucap Tisya sambil mengambil alih kemudi.
Tasya merengut. Bagian depan mobilnya penyok cukup parah karena dihantam sekuat tenaga oleh Wira.
“Aku akan buat perhitungan sama pemulung sok jago itu, Mbak! Kayaknya dia naksir si Rinai, deh! Memang cocok banget, sih. Yang satu gembel yang satu pemulung. Jodoh kan cerminan diri,” celoteh Tasya sambil mencebik. Lalu dia ambil gawai dan mencari nomor seseorang.
“Awas saja, kamu pemulung sialan! Bersiaplah bersimpuh di kakiku untuk memint ampun! Aku akan menututmu! Kalau perlu segera menyeretmu ke kantor polisi biar kamu nangis darah sekalian!” gerutu Tasya sambil menunggu panggilannya terhubung.