Racauan

1131 Kata
"Elindra, cukup. Kamu sudah terlalu banyak minum." Arjuna menyingkirkan gelas dan botol minuman beralkohol tinggi yang ada di hadapan mereka. Arjuna sangat lelah meladeni sang adik yang terus meracau tak menentu. "Sini mas, aku masih mau minum. Biarkan aku disini, kamu jahat sama aku mas. Aku adikmu adik kandung mu satu satunya tapi kamu gak pernah perduli sama aku." Elindra terus meracau hingga dirinya tak mampu lagi untuk berdiri. Arjuna memutuskan untuk mengangkat tubuh Elindra hingga ke dalam mobil dan membawanya kembali pulang. Tak perduli banyak pasang mata yang menyorotinya saat ini. Setibanya di dalam mobil, Arjuna menyandarlan tubuh Elindra di kursi depan dan memasangkan sabuk pengaman padanya. "Kamu ini selalu merepotkan jika sedang mabuk seperti ini. Hah..." Arjuna mencubit kecil pipi Elindra yang kini sedengah sadar. "Aaaww... Sakit." Elindra meringis kesakitan namun matanya tetap tertutup dan sesekali tertawa sendiri. Arjuna melajukan mobil pada kecepatan normal menembus dinginnya angin malam yang terasa menusuk di tulang. Sesekali matanya melirik pada Elindra yang terus saja meracau, ingin rasanya ia berteriak untuk menyudahi omelan tak jelas dari Elindra, namun rasanya percuma karena hanya akan membuang tenaga saja. "Apa kamu tidak pernah mencintainya mas? Kenapa kamu tega menyakitinya? hahaha..." Elindra terus meracau, entah siapa yang di maksudnya saat ini. Tak ada respon dari Arjuna, ia membiarkan Elindra mengoceh di alam bawah sadarnya. Ia tetap fokus pada jalanan, bahkan saat ini fikirannya tertuju pada Dhira yang tak bisa di antarnya pulang. "Kamu jahat mas. Bahkan kamu tidak sekalipun menanyakan kabar anak kalian hingga saat ini. Aku menderita mas, di bayang bayangi rasa penyeselan mendalam. Hiks hiks hiks..." ucapan Elindra berubah menjadi isak tangis yang terdengar memilukan. "Kamu tinggalkan mereka tanpa rasa iba sedikit pun, bahkan semenjak kepergiannya aku memutuskan untuk menjauh dari kota ini hanya karena tak sanggup di bayangi rasa bersalah. Hu hu hu..." Elindra semakin terisak pilu, sesekali ia kembali tertawa bahkan menarik narik rambutnya sendiri dalam keadaan mata yang terpejam. Mata yang sedari tadi fokos ke jalanan, kini teralihkan pada sang adik yang tampak meratapi kesedihan nya. Ia menghentikan laju mobilnya, di belainya lembut rambut Elindra, binar binar kesedihan tengah terlihat dari sorot matanya yang sendu. 'Maafkan aku, tapi aku tidak mencintainya,' batin Arjuna yang merasa terhanyut. "Hahaha... brengsek... ya, kamu brengsek... hahaha..." Elindra terus meracau semaunya bahkan kini tangannya sedang menunjuk nunjuk tak jelas. "Maaf kan aku sahabat ku, bahkan aku sendiri tak bisa mengurus keponakan ku. Aku tak tahu harus mencarinya kemana. Hiks hiks hiks..." Elindra terisak kembali mengingat saat saat menyedihkan itu. Beberapa saat kemudian isakan itu terhenti, menandakan Elindra telah tertidur dengan pulas. Arjuna menyeka air mata yang telah membasahi wajah cantik adiknya itu. Setelah itu ia kembali melajukan mobilnya menuju kediaman mereka. *** Udara dinginnya malam kian menembus hingga ke tulang, seakan tak memperdulikannya Dhira masih setia berdiri di depan jendela kamarnya yang sengaja di buka nya lebar lebar. Tatapan tertuju ke atas langit menatap bintang bintang yang tengah bersinar terang menghiasi gelapnya malam. Malam ini terasa sulit bagi Dhira untuk memejamkan matanya, padahal jam telah menunjukkan pukul dua dini hari. Kegelisahan Dhira semakin bertambah saat teringat pada sosok laki laki yang telah merebut kesucian bibirnya juga mencuri hati. Kejadian malam ini sungguh membuatnya hampir terlarut pada perasaan bodoh yang selalu saja luluh ketika berada dalam zona aman bersama Tama. Bagaimana tidak? Tama yang selalu mencecap lembut bibirnya mampu memberikan rasa yang berbeda dalam diri Dhira, anehnya tubuh nya selalu menerima sentuhan lembut itu walaupun hatinya merasa tersayat sayat. Bahkan ia nyaris tak pulang karena Tama seolah tak ingin melepas lumatan lembut bibirnya hingga tiga kali dengan waktu yang cukup lama. Tak dipungkiri bahwa telah lama Dhira sangat merindukan sentuhan itu juga aroma maskulin yang selalu menempel di indera penciumannya. "Ah, ada apa dengan ku? Kenapa tak pernah bisa melupakan nya. Sial," maki Dhira pada dirinya sendiri sembari menggigit bibir bawah nya seolah masih terasa begitu jelas sensasi lembut itu. Lalu ia teringat pada kata kata Tama saat di butik dalam mall, yang mengatakan bidadari ku pada Dhira. "Bidadari. Sudah lama sekali aku enggak mendengar panggilan khusus itu, kenapa harus dia yang mengucap kannya?" Dhira menghentakkan kaki nya kuat merasa kesal karena Tama memanggilnya dengan panggilan yang hanya di perboleh kan untuk satu orang saja. "Kakak tampan, dimana kamu kak? apa kabarnya kamu saat ini? Sungguh aku merindukan kamu kak. Jika saat ini kamu berada di samping ku, pasti aku tidak akan merasakan patah hati seperti ini," ucap Dhira lirih dengan genangan air mata yang siap untuk meluncur dari pelupuk matanya. "Aku masih berharap bisa bertemu dengan mu, dan jika saat ini kamu mssih sendiri aku akan meminta mu untuk menikahi ku kak. Tapi jika kamu telah memiliki kebahagiaan mu sendiri, maka aku akan berdoa untuk kebaikan mu dan keluarga kecilmu." Tak tahan lagi dengan genangan air yang kian meronta, sang pemilik mengizinkannya untuk terbebas saat itu juga. *** Di tempat yang berbeda, ada sebuah penantian yang selalu setia pada sang pujaan hati. Menantikan kehadirannya setiap malam bahkan setiap saat membuat nya seperti menggantungkan tali pada leher yang siap mengikat kapan pun. "Uek... Uek... Uek..." suara itu terdengar begitu jelas hingga membuat sang pemilik berhambur ke dalam kamar mandi untuk memuntahkan segala sesuatu yang terasa mengganjal di tenggorokan. "Awh... sakit sekali perut ku," ucapnya lirih. Perempuan berambut coklat itu menghidupkan kran air dan membasuh wajah nya yang terlihat pucat sembari menatap lekat wajahnya pada kaca wastafle kamar mandi itu. "Sampai kapan aku akan menyembunyikan ini semua. Aku lelah," ucapnya lirih sambil mengelus lembut perutnya yang masih tampak rata. Tak lama terdengar suara pintu kamar terbuka, seketika mata nya berbinar. Ia langsung mengelap wajahnya degan handuk yang tergantung rapi di sana dan segera melangkah kan kaki nya keluar kamar mandi. "Sayang, kau datang?" tanyanya dengan nada manja. "Cepatlah, aku sungguh tak tahan melihat mu." Sembari membuka baju kaos yang menutupi tubuh nya hingga menampilkan d**a polosnya. "Bahkan aku telah menunggu mu sejak tadi, kemarilah honey." Sama tak tahan nya dengan sang pujaan ia perempuan berambut coklat itu pun menanggalkan sendiri pakaian nya hingga terlihat begitu polos, menampilkan kemolekkan tubuhnya yang begitu menggoda. Seperti api yang tersambar bensin, dengan cepat si pria melumat habis bibir sexi nan menggoda itu, mencecap setiap jengkal tubuh wanitanya tanpa sisa mulai dari bibir, turun ke leher, bahu, hingga tiba di dua benda sintal yang besar itu, memainkan lidahnya dengan lihai hingga membuat sang wanita menggeram nikmat. Sementara jemarinya telah berkeliaran di bawah sana seakan membuka jalan untuk memasukkan keperkasaannya yang telah menegang sejak tadi. Dengan satu hentakan pedang itu menusuk tepat di lubang kenikmatan, membuat keduanya mendesah nikmat, erangan demi erangan serta jeritan manja dari sang wanita membuat tubuh mereka semakin panas hingga bermandikan keringat yang nikmatnya tiada tara. Cukup lama mereka menyatukan tubuh polos itu hingga mencapai klimaks dan menyemburkan lahar putih di dalam sana. Kini keduanya terkulai lemas hingga tertidur bersama dan saling memeluk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN