"Ehem..." Deheman seorang pria dari arah samping Dhira dan Reza terdengar begitu jelas.
Dhira dan Reza menoleh ke sebelahnya secara bersamaan, sementara Noni yang berhadapan langsung dengan si pria hanya terkekeh geli.
"Eh... setan nongol." Membulatkan matanya. "Demi apa lo Ver ada disini?" Reza berteriak sedikit kencang hingga membuat para pengunjung lain meliriknya.
Hahahaha... Dhira dan Noni terbahak bersama saat melihat reaksi wajah Reza yang terkejut.
Celetak...
Vero memukul jidat Reza sedikit keras hingga mengeluarkan bunyi yang terdegar jelas.
"Sembarangan lo ngatain gue setan. Dasar kakek c***l," umpat Vero dengan tangan berkecak pinggang.
"Sumpah demi apa ya Vero, elo itu emang sebangsa setan atau jin atau apa lah. Tiba tiba pergi tiba tiba datang tanpa di suruh seenak jidat lo aja, kebiasaan banget sih lo," gerutu Reza dengan suara kemayunya.
"Setan ganteng kali Za," tambah Noni sembari terkekeh.
Vero menarik kursi kosong di samping Noni dan mendudukinya tanpa memperdulikan tatapan sinis Dhira.
"Idih... doi duduk di hadapan lo bos." Reza menyenggol lengan Dhira pelan sambil terkekeh.
"Tau tuh, sinting kali," sahut Dhira cuek.
"Astaga sayang, kamu mulai ketularan sakit jiwa ya sama kakek cabul." Dengan ekspredi yang di buat sedemikian rupa Vero mencoba menyentuh tangan Dhira, namun segera di tepis oleh Dhira.
"Hahaha... Ketularan c***l kali ah," sambar Noni sembari mengunyah.
"Ha, beneran? Aku mau dong di cabuli sama kamu sayang." Vero mengedipkan sebelah matanya dengan senyum menggoda pada Dhira.
"Noh banci banyak tuh, gue mah ogah di cabuli sama kamu. Reza nih dengan senang hati rela banget di cabuli sama kamu. Ya enggak?" Dhira memukul lengan Reza sambil terkekeh.
"OMG! Gini gini gue waras kali, mau lo masukin lewat mana? Lobang b****g? Ish... yang ada gue enggak bisa buang hajat nanti." Reza menggedikkan tubuhnya merasa geli. Membayangkannya saja sudah mau muntah.
Hahahaha... Keempatnya tertawa terbahak bahak hingga larut dalam suasana malam yang terasa begitu bersinar, yang seakan mendukung suasana mereka melepas rasa rindu akan kebersamaan yang telah lama terlewatkan.
"Eh coba lihat deh. Itu kayaknya pasar malam deh. Kesana yuk..." ajak Noni pada ketiga sahabatnya.
"Sumpah demi apa? Ayo dong kita naik bianglala berempat. Sudah lama banget kan kita enggak naik itu." Mata Dhira berbinar binar saat mendengar ada pasar malam di sana.
Mereka berempat berjalan menyusuri keramaian banyak orang yang menikmati suasana saat senggang di malam hari seperti ini. Hingga Noni dan Reza telah terlebih dahulu berjalan meninggalkan Dhira dan Vero yang terjebak karena kerumulan orang yang sedang mengantri di salah satu wahana permainan di sana.
Dhira tampak bingung karena banyaknya orang yang mendesak untuk lewat, dengan cepat Vero menggandeng erat tangannya untuk memastikan Dhira tetap bersamanya.
"Jangan di lepas, kamu mau hilang di sini?" ucap Vero saat menyadari Dhira hendak melepaskan tangannya.
Dhira pasrah karena sungguh ia sangat takut terperangkap di kerumunan ini. Vero dan Dhira bersusah payah untuk melewati antrian yang berdesakan itu hingga mereka tiba di tempat yang renggang.
"Huuuh..." Dhira menghela nafas kasar. Menghirup oksigen sepuasnya setelah merasakan sesak di d**a.
"Yakin kamu mau naik itu?" Vero menunjuk benda yang berbentuk roda besar dengan gantungan berbentuk keranjang yang berputar perlahan menaiki satu persatu pengunjung yang akan menaikinya.
Mata Dhira begitu berbinar mendapati bianglala atau kincir besar berada di depan matanya.
"Mau mau... Ayo kita naik," seru Dhira senang hingga tangannya menarik tangan Vero untuk menaikinya.
Vero tersenyum sumringah, ternyata gadis yang telah tumbuh dewasa itu masih dengan sikap manjanya.
Setelah membeli tiket, keduanya tengah bersiap untuk naik. Saat roda besar itu berputar perlahan untuk menaikkan pengunjung, tampak Noni dan Reza yang tengah duduk santai dengan senyum yang mengembang dibibir keduanya.
"Selamat menikmati kebersamaan kembali honey," teriak Noni dan Reza bersamaan.
Dhira berdecak kesal, mengerucutkan bibirnya dengan tangan yang bersidekap di depan d**a dan menghentakkan kakinya perlahan.
'Jadi ini semua akalan lo berdua ya. Gue hampir aja enggak bisa nafas. Sialan lo berdua, awas saja nanti,' gerutu Dhira dalam hati.
Sementara Vero membalas ucapan mereka dengan tangan yang membentuk simbol ok dengan senyum yang mengembang.
"Ayo naik," ajak Vero.
Keduanya duduk dalam keranjang yang sama dengan posisi bersampingan. Dhira menatap kesebelah kanannya, seolah tak ingin melihat atau pun berbicara pada Vero.
Roda besar itu terus berputar, sapuan angin malam di wajah Dhira membuatnya merasakan kenyamanan yang telah lama ia rindukan. Kehadiran Tama akhir akhir ini di fikirannya membuat mood Dhira tak terkontrol.
Tiupan angin beberapa kali membuat tubuhnya merasakan kedinginan, di tambah ia hanya memakai atasan blouse berlengan pendek dan celana jeans panjang. Kedua tangannya memeluk dirinya sendiri, sesekali bahunya bergedik saat hembusan angin melewati tubuhnya.
"Makanya, kalau pergi malam harus sedia jaket. Seenggaknya berlengan panjang kalau di outdoor gini," ucap Vero sembari menutupi tubuh Dhira dengan jaket yang telah di lepaskan dari tubuhnya.
Dhira menoleh pada Vero, perlakuannya membuat Dhira merasa bersalah karena selama ini telah mengacuhkan Vero.
"Makasih ya. Tapi, apa kamu enggak kedinginan?" tanya Dhira menatap Vero.
Vero hanya mengangguk pelan kemudian secara tiba tiba kedua tangannya memeluk tubuh Dhira dari samping merasakan kehangatan yang dulu sering ia rasakan, kemudian Vero mengecup singkat ujung kepala Dhira.
"Lepasin Ver, kamu keterlaluan ya." Dhira memukul lengan Vero beberapa kali.
"Sebentar saja, aku merindukan mu. Cuma peluk doang kok. Aku janji enggak akan cabuli kamu. Kecuali..." Vero menggantungkan perkataannya.
"Kecuali apa?" sahut Dhira ketus.
"Kecuali... kamu yang mintanya duluan." Vero terkekeh sembari meyandarkan pipinya di ujung kepala Dhira.
"Ih... enggak akan pernah. Otak kamu mulai m***m ya Ver semenjak tinggal di luar negeri. Atau jangan jangan kamu sudah pernah main kuda kudaan sama perempuan disana?" Dhira mendorong tubuh Vero hingga terlepas, lalu mendongakkan wajahnya untuk menatap Vero dengan mata penuh selidik.
"Hahahaha..." Vero tertawa terbahak hingga kedua bahunya berguncang.
"Jangan gila deh. Aku enggak sebangsat yang kamu fikir, Dhira ku sayang." Vero mencubit gemas kedua pipi Dhira.
"Ah, enggak percaya aku. Semua juga sudah tahu budaya barat gimana." Dhira memiringkan bibirnya.
Vero mendekatkan wajahnya di samping telinga Dhira. "Lebih baik aku nyabun, dari pada harus cucuk cabut gitu," bisik Vero sembari terkekeh.
Dhira tertawa terbahak bahak mendengar perkataan Vero sembari memukuli lengan Vero terus menerus. "Dasar kamu ya..." ucap Dhira.
Di seberang sana tampak kedua sahabat mereka sedang menonton adegan yang di suguhkan secara manis dari Dhira dan Vero, kedua bibir Reza dan Noni tampak menipis sejak tadi. Mereka bahagia melihat keakraban Vero dan Dhira terjalin kembali, walau mereka tahu itu hanya sebatas persahabatan. Setidaknya kebahagiaan yang dulu menghilang kini kembali sempurna dengan kehadiran Vero yang melengkapi persahabatan mereka.
Tapi, tidak dengan pria yang tengah menatap mereka dari bawah sana, tatapan mematikan yang menghiasi wajahnya. Entah sejak kapan pria itu berdiri di sana, yang pasti ia akan menunggu hingga yang di tatap turun dari atas bianglala tersebut.
'Beraninya kau bermesraan seperti itu dengan pria lain,' guman si pria dengan kedua tangan yang telah mengepal.