13. Korban Pertama

1930 Kata
Ivan duduk di meja makan dalam kegelapan kabin entah berapa lama. Satu sikunya menyandar ke atas meja sementara jemarinya bergerak memainkan pematik api. Membuka tutup benda stanless steel itu dengan ibu jarinya, menyalakan apinya, dan menutupnya kembali, berulang. Remang-remang cahaya subuh mulai membuat ruangan terlihat lebih abu-abu dari pada hitam pekat. Bukan urusannya wanita itu memutuskan untuk kembali, pikirnya. Ia sudah melakukan sebisanya untuk menjaga wanita itu tetap hidup. Bukan kewajibannya untuk menemani wanita itu dalam misi bunuh dirinya. Ia bahkan seratus persen yakin, Moxley pasti sudah membunuh pria itu walaupun Scarlet memutuskan untuk kembali. Salah satu alasan mengapa ia sengaja tidak menunjukkan rekaman itu kepada Scarlet. Toh ayah wanita itu juga tidak memikirkan keselamatan putrinya selama ini. Ia layak untuk menerima apapun yang diberikan oleh Moxley. Tapi kini sendirian di dalam kabinnya, perasaan itu kembali. Perasaan yang membuatnya memutuskan untuk membantu Scarlet ketika pertama kali bertemu di diner pagi itu. Perasaan yang muncul setiap kali melihat wanita itu dalam bahaya. Katakan penyesalan. Katakan rasa kasihan. Katakan keinginan untuk pengampunan. Pria itu menemukan dirinya berdiri dan meraih tas jinjing nya di dalam lemari dan mulai berbenah. Sejam kemudian, ia sudah berada di dalam sebuah mobil yang baru saja di jarahnya dari pasangan kurang beruntung yang melintas dan kini dalam perjalanan menuju Metro. Ivan mengendarai mobilnya bak seorang maniak. Tanpa mengindahkan rambu atau lampu lalu lintas, ia menarik lebih banyak perhatian daripada yang seharusnya. Ia bahkan terlibat dalam pengejaran mobil polisi begitu melintasi kota Fortdale karena caranya mengemudi yang ugal-ugalan. Yang tentu saja akhirnya berhasil dikecohnya. Jika ia diminta untuk bercerita tentang apa yang terjadi sepanjang perjalanan, Ivan tidak akan bisa menjelaskannya. Semua terasa kabur karena pikirannya sedang tidak tertuju pada dirinya. Ia tidak sadar bagaimana dan berapa lama ia berada di perjalanan, tapi yang pasti pria itu akhirnya tiba kembali ke Metro. Gerbang kediaman Moxley terbuka lebar. Tidak seperti biasanya. Ivan pernah datang ke kompleks itu ketika ia melakukan pekerjaan untuk Moxley beberapa bulan sebelumnya, jadi ia tahu tidak seharusnya gerbang yang biasa tertutup rapat, kini ditinggalkan tanpa pengawasan. Sesuatu pasti terjadi. Ivan membelokkan mobilnya masuk dan berjalan perlahan melintasi jalanan menuju ke gedung utama. Sebuah minivan terparkir di depannya yang ia tahu adalah mobil yang dikendarai Scarlet. Dengan pistol di tangan, Ivan keluar dari mobil, menunduk dan mengendap diantara minivan sebagai tameng sementara ia mengamati keadaan di dalam rumah. Tidak ada gerakan sama sekali dari dalam gedung. Semuanya terasa lebih sepi dari seharusnya. Tetap menundukkan tubuhnya, Ivan bergerak tanpa suara menuju ke dinding luar gedung utama. Seorang pria muncul dari dalam rumah tak lama setelah Ivan melintasi jarak antara minivan dan tembok putih di sebelah pintu masuk. Ia meraih tenggorokan pria itu, sangat cepat hingga musuhnya tidak sempat bereaksi. Kemudian menggunakan momentum dan kekuatan tangannya, Ivan menjatuhkan tubuh pria itu ke lantai. Pistol di tangan musuh Ivan terlempar, lepas dari genggaman, bersamaan dengan tembusnya peluru dari pistol Ivan ke pelipis pria itu. Seorang pria lain memanggil. Mungkin mencari pria yang baru saja dibunuh oleh Ivan. Tidak menunggu pria itu keluar dan menemukan dirinya, Ivan berdiri dan mengacungkan senapannya ke wajah pria itu. Bahkan sebelum lawannya menyadari apa yang terjadi, Ivan sudah menembakkan pistolnya. Tubuh pria itu terjatuh ke belakang, terkapar diatas lantai marmer. Ivan menunggu beberapa detik, berjaga jika ada orang lain lagi yang mendadak muncul, sebelum kemudian menyerbu ke dalam rumah melewati pintu depan. Terlalu terburu-buru membuat Ivan tidak berhati-hati. Karena baru satu langkah masuk, sebuah peluru mendesing dari dalam rumah melewati sisi kepalanya. Ia bahkan bisa melihat kilasannya di ujung matanya ketika peluru melintas hanya beberapa mili dari pelipisnya. Ia menunduk. Terlambat untuk mundur kembali keluar, pria itu mengambil resiko dengan berlari melintasi ruang depan menuju sofa yang ada di dalam ruangan dan hendak menggunakannya sebagai tameng. Melewati desingan-desingan peluru yang tidak juga berhenti, berharap tidak ada satupun yang mengenai sasarannya, pria itu bergerak rendah dan cepat. Ivan tahu keberuntungan tidaklah cukup dalam bidang kerjanya. Baru saja ia hendak mencapai sofa yang di tuju, salah satu peluru yang beterbangan mengenai punggungnya. Ia bisa merasakan nyerinya yang menjalar dari tulang pinggulnya hingga ke ujung kakinya yang kemudian membuatnya menggeram. Setidaknya ia berhasil sampai ke belakang sofa. Kini terlindung, ia memiliki kesempatan untuk memeriksa lukanya. Ditariknya jas yang di pakainya nya dan seketika ia melihat bagian pinggang kanan kemejanya memerah, dipenuhi oleh darah yang merembes. Ivan menyelipkan tangan kirinya, menekan ke bagian luka, semakin banyak darah keluar tapi ia bisa merasakan pelurunya tidak mengenai organ vital atau tulang. Hanya luka luar, ia akan bisa bertahan. Pria itu kembali mengalihkan perhatiannya ke orang-orang yang menembakinya. Dari suara tembakan ia bisa mengira-ngira lokasi mereka. Tiga orang. Dari lorong yang ada di ujung ruang depan. Ia menunggu, semua peluru akan habis, cepat atau lambat. Dan ia akan menggunakan kesempatan untuk menyerang. Benar saja, tak salah suara tembakan terdengar berkurang. Salah satu penembak melakukan reload. Ivan langsung menaikkan tubuhnya dari belakang sofa dan membidik. Satu. Seorang pria yang berdiri paling depan terpental dengan kepala berlubang ke belakang. Ivan kembali menurunkan kepalanya bersembunyi, tepat dengan suara peluru beruntun yang menembakinya dari dua orang yang masih tersisa. Kembali ia menunggu. Reload. Pria itu kembali membidik. Dua. Pria ketiga terlihat linglung melihat ia tinggal satu-satunya yang masih hidup. Yang langsung digunakan Ivan untuk menyarangkan peluru kelimanya diantara dahi pria itu. Dengan nafas terengah, pria itu kembali menundukkan tubuhnya, menempelkan punggung ke belakang sofa sementara ia mengecek amunisi senjata dan mengisi ulang. Tangannya yang bersarung kulit bergerak dengan cekatan seolah apa yang dilakukannya sama mudahnya dengan mengikat tali sepatu. Tidak lebih dari tiga detik, ia sudah kembali berdiri dan mengawasi sekelilingnya. Keadaan di dalam ruangan kini terlihat layaknya medan perang. Barang-barang berceceran, kertas, pecahan kaca, serpihan. Tapi tidak terdengar lagi suara apapun dari dalam ruangan. Ivan memutuskan untuk kembali bergerak. Ia menyusuri ruangan demi ruangan perlahan dan metodis, tidak melewatkan satu celahpun hingga akhirnya tiba di ruangan paling ujung dengan pintu terbuka lebar. Pria itu bisa mencium aroma mesiu dan darah begitu masuk ke dalam ruangan. Kemudian ia melihat tubuh yang terbujur kaku di dekat meja. Tubuh Moxley. Lalu… “Scarlet?” Ia memanggil ketika melihat wanita itu terduduk meringkuk di sudut ruangan, tersembunyi dalam kegelapan. Ivan melangkah mendekati wanita itu, tetap menjulurkan senapannya ke depan. “Scarlet?” Ivan kembali memanggil begitu berdiri disebelahnya. Wanita itu tidak menjawab bahkan setelah Ivan menunduk di sebelahnya, ia tidak juga bereaksi. Matanya masih menatap lurus ke depan, sementar tangannya memeluk lututnya erat sambil menatap lurus ke arah tubuh Moxley yang terbujur kaku. Ivan meraih sebuah pistol yang tergeletak di kaki wanita itu dan menyelipkannya ke balik punggung. Kemudian kembali mengalihkan perhatiannya kepada Scarlet. “Ia sudah mati.” Wanita itu menggumam. Kalimatnya terdengar jauh seolah tidak ditujukan pada Ivan melainkan pada dirinya sendiri. “Ia sudah membunuh ayah.” Wanita itu akhirnya mengangkat wajahnya. Pandangan Scarlet yang penuh luka, ketakutan dan kebingungan terlihat ketika wanita itu mentap wajah Ivan . “Ia sudah membunuh ayah. Dan ia akan membunuhku. Jadi aku membunuhnya. Aku membunuh Moxley.” Ivan menjulurkan tangannya dan meraih tubuh Scarlet, membawanya ke dalam pelukannya. “Aku akan membawamu keluar dari sini.” Ia berkata. Scarlet tidak menjawab, tidak bersuara, tapi wanita itu berpegangan erat ke pundak Ivan. Seolah takut pria itu akan melepaskannya atau mungkin menjatuhkannya dan meninggalkannya sendirian lagi di dalam rumah. Dengan hati-hati, pria itu membawa Scarlet keluar dari dalam rumah dan memasukkannya ke dalam salah satu mobil yang terparkir di depan. Ia memilih minivan yang dibawa Scarlet, mengingat polisi sudah mengejar dan menandai mobil yang di pakainya kemari. Sirine mobil polisi terdengar meraung menuju kediaman rumah Moxley beberapa menit setelah mobil Ivan keluar dari kompleks. Yang kali ini dikemudikan olehnya perlahan, tanpa melanggar rambu-rambu lalu lintas dan menarik perhatian. Selama perjalanan, Scarlet tetap tidak bersuara. Sementara mobil kembali melaju menjauhi Metro, wanita itu hanya terdiam menatap keluar jendela tanpa bergerak. Tidak yakin apa yang bisa diucapkannya untuk menghibur, Ivan memutuskan untuk membiarkan wanita itu dalam gemelut benaknya sendiri sementara ia menjalankan mobilnya menuju kembali ke kabin di dalam hutan. Tempat persembunyian teraman yang diketahuinya saat ini. *** Beberapa jam berlalu. Beberapa kali Ivan melirik ke samping untuk melihat keadaan Scarlet. Tapi wanita itu masih menyandarkan kepalanya ke sisi jendela. Ivan tahu ia tidak tertidur karena ia bisa melihat bayangan wajah Scarlet dari sisi jendela. Dan untuk pertama kalinya sejak wanita itu menemukan dirinya di diner, Ivan diam-diam merindukan percakapan satu arah atau pertanyaan-pertanyaan mengganggu yang sering dilakukan oleh wanita itu. Tapi yang dilakukan Scarlet adalah hal yang wajar. Wanita itu baru saja kehilangan satu-satunya keluarga yang dimilikinya dan membunuh pria yang sudah menyekapnya selama bertahun-tahun di hari yang sama. Ivan tahu hidup wanita itu tidak akan pernah bisa kembali normal setelah ini. Korban pertama adalah yang terberat, yang tidak akan bisa terlupakan seumur hidup. Dan korban pertama adalah yang menentukan titik balik hidup seseorang. Apakah rasa bersalah itu akan menerkam wanita itu utuh, atau ia akan berhasil dan menjadikan rasa bersalahnya sebagai bagian dari, semua tergantung pada Scarlet. Ketika akhirnya keduanya sampai, ia mengangkat tubuh Scarlet masuk ke dalam kabin dan membaringkannya keatas ranjang. Mungkin setelah ini ia harus memikirkan tempat lain bersembunyi. Mungkin keluar dari negeri ini untuk sementara waktu lebih bijaksana. Kematian Moxley pasti akan berdampak besar untuk negara ini. Tidak masalah, ia sudah terbiasa dengan hal semacam ini. Pekerjaannya mengharuskannya untuk tidak pernah menetap di suatu tempat dalam jangka waktu yang lama. Selain kematian, hanya kesendirian dan kesunyian yang selalu mengikutinya. Scarlet berbaring miring. Kepalanya tersandar ke atas bantal. Ivan melepaskan jaketnya dan meletakkannya tersampir ke kursi meja makan. Ia hendak berjalan menuju ke lemari untuk mengambil gelas. Tapi suara Scarlet menghentikan langkahnya. “Pistolnya tidak berpeluru.” Berdiri di sisi meja makan, Ivan menolehkan wajahnya kembali ke arah ranjang. Pria itu berjalan kembali mendekat, perlahan, sambil melepaskan kancing di lengan kemejanya. Ia menunggu dengan Sabar untuk Scarlet melanjutkan ceritanya. Pandangan wanita itu masih tidak terarah pada Ivan melainkan lurus ke depan menatap ke ruangan hampa di depannya. “Jika tidak aku pasti sudah mati.” Sunyi sesaat. Ivan masih melanjutkan langkahnya, tapi tidak ingin terlalu mendekat seolah takut mengganggu pikiran Scarlet dengan kehadirannya. Ia berhasil melepaskan kancing kedua lengan kemejanya dan kini menggulungnya hingga ke siku. “Aku membeku ketika ia menembakku.” Scarlet melanjutkan, mengingat kejadian di dalam benaknya. “Aku mengira itulah akhir dari hidupku. Yang bisa kulakukan hanyalah berdiri dan menunggu. Aku ingat aku terus berpikir… setidaknya setelah ini… aku tidak lagi perlu merasakan apa-apa. Semua akan berakhir. Tidak perlu lagi aku membuka mata ku untuk menghadapi rasa takut itu setiap hari. Tidak perlu lagi menghadapi rasa kesepian itu. semua akan berakhir.” Wanita itu kemudian menolehkan kepalanya, tidak banyak, hanya sekadar cukup untuk bisa melihat ke arah Ivan. “Aku tidak tahu bagaimana, tapi wajah Moxley ketika menyadari bahwa pistolnya tidak berpeluru, menyentakku terbangun. Mengingatkanku bahwa aku rupanya masih hidup. Yang lalu membuatku dipenuhi dengan kebencian yang amat sangat. Kebencian dan kemarahan. Pada pria itu. Pada ayah. Pada diriku sendiri. Aku tidak ragu-ragu. Detik itu, hanya satu yang ingin kulakukan. Membunuh pria itu.” Scarlet kembali mengalihkan pandangannya ke depan. “Dan itulah yang kulakukan,” tambahnya lebih pelan kali ini. “Ia layak mendapatkannya.” Ivan menjawab pelan. Kepala Scarlet mendadak tersentak menatap kembali ke arah Ivan. Seolah ia baru menyadari kehadiran pria itu, seolah suara pria itu baru saja membangunkannya dari sebuah mimpi. Scarlet mengangkat tubuhnya dari ranjang. Ivan terdiam di tempatnya, mengamati apa yang hendak di lakukan oleh Scarlet dengan pandangan tidak bisa diartikan. Ia bisa melihat tangan Scarlet mulai gemetaran sementara nafasnya kian memburu tidak beraturan. Wanita itu mengepalkan tangannya dan meremas jemarinya sendiri hingga memutih. Lalu mendadak, ia menyerang. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN