5. Hector

1609 Kata
“Setidaknya bisakah kau memberi tahuku namamu?” Scarlet mencoba sekali lagi disela suapan sarapannya. “Jika aku tidak selamat hari ini, setidaknya aku mengetahui nama pria yang menolongku.” Ivan yang sudah selesai makan meraih ke dalam saku celan dan mengeluarkan lembaran uang yang kemudian di letakkannya diatas meja untuk membayar makanan mereka. “Tidak perlu bersikap dramatis.” Ivan menyelipkan kembali dompetnya ke saku dan meraih gelas kopi yang tersisa sedikit. “Aku tidak layak untuk dikenang sebagai penolong.” “Lalu… apakah kau ingin dikenang sebagai pembunuh?” Scarlet bisa melihat kedutan di rahang pria itu akan pertanyaannya. Setelah beberapa saat, pria itu meletakkan gelas dan menjawab, “Tidak perlu mengenangku sebagai apa-apa.” Scarlet menghembuskan nafas. Upayanya untuk setidaknya memahami Ivan tidak juga membuahkan hasil. Mungkin ia sebaiknya kembali membungkam dan menyelesaikan makananya. Menit berlalu. Setelah suapan dan tegukan terakhir, Scarlet mengira itulah akhir dari percakapan mereka. Tapi mendadak Ivan bertanya, “Bagaimana kau mengenal Moxley?” Pertanyaan yang muncul tanpa diduga itu membuat Scarlet terdiam beberapa saat. Ia tidak mengerti mengapa mendadak Ivan ingin mengetahui tentang dirinya, mungkin mencari bahan hinaan lain? entahlah. Walaupun pertanyaan pria itu membuat tenggorokan Scarlet terasa tercekik, tapi percakapan apapun lebih baik dari pada kebungkaman yang canggung. “Ayah menyerahkanku kepada Moxley ketika aku berumur 18 tahun.” Ia menjawab setelah terdiam beberapa saat. Meski sudah terjadi lima tahun yang lalu, kenangan itu selalu pahit dalam benak Scarlet. “Ia membutuhkan biaya untuk pengobatan ibu dan Moxley bersedia membayar, dengan diriku sebagai jaminan. Sayangnya, pengobatan ibu tidak berhasil dan tanpa pekerjaan tetap, ayah tentu saja tidak mampu membayar hutangnya. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menjadi milik pria itu.” Scarlet mengalihkan pandangannya ke piring seakan ingin mendesak kembali kenangan menyakitkan itu masuk kembali ke dalam benaknya. Selama lima tahun ia tinggal dengan Moxley, ia sudah melihat berbagai macam kekerasan, pemerkosaan, transaksi narkoba, dan hal menakutkan lainnya. Tapi belum pernah pembunuhan. Semua sudah terjadi, tidak ada yang bisa di lakukannya untuk memutar balikkan waktu. Tidak ada gunanya menyesali yang sudah terjadi. Wanita itu memainkan garpu yang dipegangnya ke atas piring. Memilah-milah telur dan isinya. “Moxley selalu mengatakan bahwa aku adalah favoritnya. Jauh paling cantik dari yang lain, gadis yang dicintainya. Ia bahkan mengatakan ingin menikahiku suatu saat nanti.” “Ah… Begitukah…” Ivan menggumam, akhirnya paham akan motif Moxley. Pria itu bukan hanya menginginkan rekaman yang diambil oleh Scarlet, ia menginginkan Scarlet. Itu lah mengapa pria berbadan gorila yang kemarin diutus mengejar tidak langsung membunuh wanita itu begitu menemukannya melainkan membawanya dalam keadaan hidup. Merasa akhirnya mendapatkan perhatian Ivan, wanita itu melanjutkan. “Sebelum ibu sakit, keluargaku memang tidak punya banyak hal, tapi setidaknya kami bahagia. Walaupun tinggal di rumah sempit di lingkungan kumuh tapi aku tidak mengeluh. Aku baru saja lulus SMA ketika kemudian ibu di diagnosis mengidap kanker. Ketika itulah semuanya berubah. Ibu adalah cinta pertama ayah dan teman baikku. Kami berdua menyayanginya dan bersedia melakukan apapun untuk biaya pengobatan itu. Karenanya ketika Moxley menawarkan uang, aku dan ayah tidak berpikir dua kali.” Scarlet berhenti sejenak. Ia bisa merasakan wajahnya mulai memanas. Di letakkannya garpu yang dipegangnya sebelum kemudian melanjutkan ceritanya. Sudah lama sekali tidak ada yang peduli dengan keadaannya. Selama lima tahun bersama Moxley, ia tidak memiliki teman ataupun tempat untuk bersandar. Pria itu tidak peduli dengannya, yang diperlukan Moxley hanyalah tubuhnya. Kini ia tidak peduli bahwa Ivan mendengarkan atau tidak, ia hanya perlu mengeluarkan uneg-unegnya. “Sayang, tidak ada yang bisa melawan takdir. Ibu meninggal sekitar setahun setelah memulai pengobatan, ketika aku berumur 19 tahun. Dan kudengar, tak lama setelah kematian ibu, ayah menghilang dari Metro. Entah kemana. Mungkin ia merasa bersalah karena tidak bisa menebusku. Kuharap ia tahu, bahwa aku tidak pernah menyalahkannya. Jika saja aku diberi kesempatan untuk mengulang pilihan hidupku, aku pasti akan melakukannya hal yang sama.” Scarlet menarik nafas ketika ceritanya berakhir. Ia menolehkan kepalanya ke arah pintu kafetaria bersamaan dengan terbukanya pintu kaca itu ke dalam. Tiga pria berbadan besar, terlihat tidak seharusnya berada di tempat itu berjalan masuk. Bahkan Scarlet bisa merasakan sesuatu yang tidak enak akan terjadi. Apalagi ketika ia mengenali dua orang yang berjalan di belakang sebagai anak buah Moxley. Seorang pria yang berjalan paling depan, ia tidak kenal siapa. Dari pakaiannya yang berjas rapi, ia terlihat bukan dari golongan orang-orang suruhan Moxley. Langkah kaki pria yang paling depan terlihat pasti dan tegap. Ringan, berbeda dengan yang lain. Bagaimana mereka bisa menemukannya secepat itu? Scarlet tidak paham. Jantung wanita itu mulai berdetak tidak karuan melihat ketiganya mulai berjalan ke meja mereka. Perutnya mulai bergelembung, terasa mual, sementara nafasnya kian sesak. Ia mulai tidak bisa berpikir karena panik. Refleks, Scarlet menyelipkan tubuhnya ke tepian bangku, mungkin hendak kabur, hingga sebuah geraman menghentikan wanita itu. “Duduk.” Suara Ivan yang tenang terdengar. Scarlet menoleh ke arah Ivan. Pria itu tampak siap dan tenang. Wanita itu kembali mendudukkan tubuhnya ke atas bangku sementara Ivan meraih tas yang tadinya ada diatas meja dan menurunkannya ke sebelahnya. “Masuk ke bawah kolong meja, jangan keluar sebelum aku memberi tahu.” Ivan memberi perintah tanpa mengalihkan pandangannya dari ketiga pria. “Hah?” Scarlet mengedip kebingungan. Ia merasa sangat ketakutan hingga ia yakin jika saja Ivan tidak ada di situ ia pasti sudah terkencing-kencing. Pria itu kini menatap ke arah Scarlet dengan keseriusan yang tidak ingin dibantah dan mengulang, “Salah satu dari mereka adalah rekan ku. Seorang pembunuh. Jadi membungkuklah dibawah meja. Jangan naikkan kepalamu dan jangan bergerak. Paham?” Scarlet mengangguk cepat. Ia menurunkan tubuhnya ke bawah kolong meja, meraih kepalanya dengan kedua tangan dan menunduk. Begitu memastikan wanita itu meringkuk dan tersembunyi, hanya ada satu hal yang perlu dilakukan Ivan. Melakukan satu-satunya hal yang ia bisa. Membunuh. Suara kokangan senapan membuat tubuh Scarlet membeku. Disusul dengan sebuah suara tembakan. Wanita itu kian mengeratkan cengkeramannya ke kepalanya sendiri, membungkuk lebih rendah dan memejamkan matanya lebih erat. Tidak peduli seberapa ia berusaha menutup telinganya dengan telapak tangan, suara tembakan yang berentet tetap terdengar membuat badannya makin gemetaran. Peluru melayang kemana-mana. Beberapa melubangi meja tempatnya berlindung. Scarlet mendengar gelas pecah, teriakan. Ia tidak bisa menebak siapa yang berteriak tapi yang pasti bukan suara Ivan. Suara langkah kaki orang yang berlarian terdengar, diikuti dengan lebih banyak tembakan. Umpatan dan makian berbalapan dengan suara desingan peluru yang sepertinya tidak kunjung habis. Meja tempat Scarlet berlindung terasa bergoncang, serpihan kayu dari meja yang tertembak berhamburan keatas kepala Scarlet. Debunya terasa menyesakkan nafas Scarley dan membuatnya menahan nafas agar tidak menghirup lebih banyak. Suara seseorang yang terlempar ke atas meja dengan suara krak yang keras terdengar, diikuti erangan dan lebih banyak goncangan ke meja yang dijadikannya sebagai tempat berlindung. Lalu, setelah entah berapa menit yang terasa berjam-jam, seketika semuanya sunyi. Bau mesiu dari peluru tercium pekat di udara. Kini, yang terdengar di telinga Scarlet hanyalah detak jantung dan suara nafasnya yang menderu. Saking takutnya, ia bahkan sudah tidak lagi gemetaran. Air mata berhenti mengalir dari wajah Scarlet dan wanita itu kini hanya bisa meringkuk tanpa bisa menggerakkan badannya. Membeku karena syok. Apakah pria yang menolongnya mati? Apakah mereka semua mati? Apa yang harus dilakukannya sekarang? Itulah yang pertama kali melintas di benak Scarlet sambil ia mulai melepaskan dekapan tangannya dari atas kepalanya dan membuka matanya. Kemudian suara erangan seorang pria terdengar. “Fck you, Ivan! Bukan hanya Moxley, Chad juga akan membunuhmu.” Ivan? Itukah nama pria yang menolongnya? Dari bawah kolong meja, benak Scarlet yang mulai bekerja menebak. Hening kembali sejenak. Lalu suara Ivan yang tenang membalas, “Ia tidak akan bisa membunuh orang yang sudah mati, Hector. Sampaikan pesanku pada mereka. Aku akan mengembalikan barang bukti yang diambil oleh Scarlet, asalkan ia berhenti mencari wanita itu.” Perlahan, Scarlet menyembulkan kepalanya ke atas meja, berusaha keras untuk tidak menyenggol reruntuhan dan kaca yang berceceran di mana-mana. Piring dan gelas yang barusan di gunakannya untuk makan kini sudah hancur berkeping. Scarlet menjulurkan tangannya meraih sandaran bangku, menarik tubuhnya kian naik. Pandangannya langsung melihat punggung Ivan, berdiri membelakanginya tak jauh dari pintu masuk yang kini tinggal kusennya tanpa kaca. Pria berjas yang disebut sebagai rekan Ivan duduk di atas kursi, wajah penuh peluh dan darah mengalir dari betisnya yang terluka. Pria itu mencengkeram erat pahanya, sepertinya berusaha untuk menghentikan aliran darahnya. Matanya masih membelalak penuh perlawanan sementara ia meludah ke kaki Ivan. “Bukan dirimu yang mengeluarkan perintah.” Pria itu menggeram. “Kali ini, itulah yang terjadi.” Ivan membalas tenang. “Aku memiliki barang yang mereka inginkan, jadi kali ini, aku yang akan mengajukan kesepakatan.” Scarlet kini sudah berdiri tegak. Tangannya menyenggol sesuatu diatas meja yang membuatnya menoleh ke samping. Tubuh salah satu anak buah Moxley terkapar dengan lubang peluru didahi. Sudah tidak bernafas. Scarlet menarik nafasnya kaget, terlalu keras membuat pria yang ada di depan Ivan melirik ke arahnya. “Inikah wanita yang dicari-cari seisi kota? Hey… Sweetheart! Bagaimana kalau kau pulang, hah?” Pria itu berteriak dengan suara lantang. “Tuan Moxley sangat merindukanmu.” Merasakan perhatian pria itu teralih ke arahnya, Scarlet kembali membeku. Ia memundurkan tubuhnya ke belakang dan berharap agar pria itu berhenti mengamatinya dengan wajahnya yang menyeringai. Hector menyentakkan wajahnya kembali ke depan, seakan Ivan baru saja melakukan sesuatu yang membuat perhatian pria itu kembali kepadanya. “Jika kau mengira Moxley dan Chad akan melepaskan kalian begitu saja, maka kau lebih bodoh dari yang kukira. Kau sudah berani melawan, Ivan. Mereka tidak akan pernah menerima tawaranmu.” Hector masih menyeringai. “Ingin menjadi pahlawan, huh Ivan? Itukah yang kau lakukan?” Pria itu meneruskan dengan nada penuh sarkasme. Ivan tidak membalas. “Bukan dirimu yang mengambil keputusan. Sampaikan saja apa yang kukatakan.” Ia akhirnya menjawab. “Dan jika ia menolak?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN