1- Undangan dari Mantan
“Ra, ini beneran undangannya Daffin, kan?” tanya gadis berambut hitam pendek dengan kacamata yang bertengger manis di hidung mungilnya. Ia sampai mendekatkan surat undangan berwarna peach itu ke depan matanya, takut penglihatannya salah atau ternyata minus kacamatanya bertambah. Padahal ia sudah meminum jus wortel setiap hari jadi rasanya tak mungkin minusnya bertambah.
“Nggak tahu lah, Far. Aku bingung banget rasanya. Apa yang salah dari aku sampai dia mengkhianati aku begini.” Gadis berambut hitam panjang yang dikuncir kuda itu pun menghela nafas panjang. Kedua matanya terlihat sembab dan meninggalkan lingkaran hitam di kantung mata. Tak lupa hidung mancungnya yang memerah seperti habis menangis semalaman.
“Emang sebenernya gimana sih? Kok bisa... Refina ini sahabatnya Daffin, kan?” Gadis berkacamata yang bernama Fara itu mengingat betul siapa Daffin dan Refina karena mereka berdua adalah temannya semasa kuliah dulu. Pertemuan Daffin dan Ara pun karena Fara bersahabat dengan Ara sejak kuliah meski mereka beda jurusan. Sejak saat itu Daffin dan Ara meresmikan hubungan mereka. Setahu Fara, Refina adalah satu-satunya sahabat perempuan yang Daffin miliki karena kedekatan keluarga mereka. Jelas Daffin tak ada rasa pada sahabatnya itu, tapi kenapa malah menikahinya?
“Kamu paling tahu soal Daffin, Far. Aku bener-bener... “ Ara mengusap wajahnya dengan kasar. “Sial! Maskara aku luntur,” racaunya saat melihat jejak hitam di telapak tangannya. Ia pun mengambil cermin kecil dari laci meja kerjanya dan menatap wajahnya di cermin.
Kacau.
“Cuci muka gih biar seger.”
“Masih pagi, Far. Percuma dong skin care aku tadi pagi.” Ara mendengus sebal. “Semua ini gara-gara Daffin sialan! Awas aja kalo aku ketemu dia di kantin nanti.”
“Mau kamu apain?” tanya Fara penasaran. Padahal biasanya hubungan Ara dan Daffin sangat harmonis. Keduanya jarang bertengkar hebat. Ara tipe gadis yang suka bercanda sementara Daffin memang agak cuek. Keduanya pun sudah menjalin hubungan selama lima tahun. Jadi, melihat nama Daffin di sebuah undangan bersama gadis yang bukan Ara, rasanya sangat asing. Padahal tadinya ia kaget saat mendapat undangan dari Daffin, ia pikir Ara dan Daffin sengaja menyembunyikan rencana pernikahan mereka. Nyatanya... zonk!
“Mau aku geprek pake sambel matah. Udah ah!” Ara segera beranjak dari kursinya dan berjalan menuju toilet untuk sekedar mencuci wajahnya yang ternodai ini, tapi noda di wajahnya tak seberapa dengan noda yang Daffin torehkan di hubungan mereka. “Daffin sialan! Aku sumpahin pas malem pertama nggak bisa diri anunya!” Ia memaki bayangannya sendiri di cermin seolah itu adalah Daffin. “Malam pertama?” Ara kembali menangis, mengingat pria yang ia cintai akan melakukan malam pertama dengan wanita lain. Setega itukah Daffin padanya?
......................
“Makin dingin aja dia kayak es lilin,” gumam Fara ketika tanpa sengaja melihat Daffin yang sedang memesan makanan di bagian penjual soto mie bogor di kantin kantor.
Ara mendengus sebal, tak ingin menoleh pada pria yang telah melukai hatinya itu. Hatinya terlanjur sakit. Ia dan Daffin tidak bekerja dalam satu perusahaan, tapi perusahaan mereka memang berada di kantor yang sama. Awalnya memang itu rencana mereka agar bisa pergi dan pulang bersama saat bekerja. Karena terkadang dalam satu nama perusahaan tidak boleh ada yang memiliki hubungan, jadi mereka cari aman dengan bekerja di perusahaan berbeda. Tak disangka, rencana manis yang berhasil mereka wujudkan malah membuat Ara seketika menyesal. Karena itu artinya ia bisa kapan saja bertemu dengan Daffin tanpa disengaja sekalipun. Masa resign? Sayang banget udah hampir dua tahun bekerja di sini. Dan resign karena mantan, kok kayaknya nggak bisa move on banget?
Daffin pun duduk di sebuah kursi kosong bersama teman-temannya yang lain, tak sekalipun menoleh ke arah Ara. Seperti yang gadis itu lakukan.
“Cieee yang mau kawin. Persiapannya apa aja nih?” Sepertinya itu suara temannya Daffin.
“Hajar j*****m jangan lupa, Fin. Biar lama mainnya. Kamu kan lurus aja pacaran sama si onoh.” Sebuah suara lagi terdengar, membuat Ara mengepalkan tangannya dengan kesal.
“Ngaco! Sok tahu banget kamu. Emang kamu tahu kapan Daffin pernah cek in apa engga sama pacarnya?”
“Ya tahu lah, ceweknya aja dulu galak begitu. Boro-boro bisa dicolek. Iya nggak, Fin?”
Ara mendengus kesal dengan Fara yang terus mengusap punggungnya seolah menenangkan sahabatnya itu.
“Tapi sayang banget lima tahun pacaran nggak diapa-apain. Iya nggak?”
“Ya, seenggaknya ceweknya nggak rugi deh ditinggal nikah. Apalagi Refina badannya beuhhhh... semok cuy!”
“Tapi Ara juga cakep ah.”
“Tipis tapi. Nggak enak dipegang kayaknya.”
Brak!
Ara tak tahan lagi. Ia sampai menggebrak meja di depannya dengan kesal. Matanya menatap tajam ke arah meja Daffin dan teman-temannya yang kebetulan berada cukup jauh dari mejanya. Semua teman Daffin tampak mengatupkan bibir mereka rapat-rapat. Padahal biasanya mereka cukup dekat dengan Ara dan sering makan siang bersama, sementara Daffin... entahlah. Tatapan pria itu terlihat khawatir. Tapi Ara tidak mau tertipu, pria itu telah mengkhianatinya.
Fara menatap Ara dengan wajah takut, takut jika Ara lepas kendali dan menyerang Daffin seperti keinginannya saat tadi pagi. Tapi untungnya Ara hanya melengos pergi setelah mengibaskan rambutnya, seolah ucapan teman-teman Daffin tak lebih dari sebuah angin lalu. Ia pun memilih untuk mengikuti Ara.
“Ara patah hati tuh.”
“Udah biarin aja. Cewek mah gampang move onnya. Sekarang aja sok keliatan galau.”
“Mau deh gantiin Daffin, nggak apa-apa tipis juga. Tinggal disetting dikit.”
“Dikira motor apa!”
Daffin hanya menghela nafas, melihat punggung Ara yang semakin menjauh dan hilang ketika gadis itu keluar dari kantin. Ada perasaan bersalah dalam benaknya. Sangat, tapi ia tidak berdaya. Ingin rasanya ia meminta maaf dan memeluk Ara seperti biasa, ketika Ara marah. Sayangnya sekarang sudah tak mungkin lagi. Yang ada ia akan ditampar bolak balik sama Ara kalo sampai berani memeluk gadis itu setelah mematahkan hatinya.
.....................
“Emang ya cowok tuh kalo ngobrol pada nggak disaring. Seenaknya aja.” Ara menghentakkan kakinya di depan lift, menunggu lift sampai di lantai yang ia pijak sekarang. Rasanya lama sekali.
“Tahu tuh! Ngomongnya pada nggak diayak.”
Ara menatap pantulan dirinya di pintu lift yang masih tertutup. “Emang aku tepos ya?”
“Eh?” Fara terlihat bingung. “Nggak lah. Kamu Cuma agak kurus aja.”
Ara mendelik ke arah Fara. “Nggak usah bawa-bawa berat badan, Far. Kamu tahu aku pemakan segalanya tapi nggak bisa gemuk. Mending gitu gemuk dikit ke d**a atau paha kek. Ini ke perut kalo nggak pipi.” Ia mengembungkan pipinya yang mulai terlihat chubby.
“Ya udah bersyukur aja, masih ada yang bulat-bulat.” Fara terkekeh geli tepat ketika pintu lift di depan mereka terbuka.
“Sialan!”
Setelah sampai di lantai lima belas, mereka berdua pun turun dan masuk ke dalam ruangan kerja. Belum banyak karyawan yang kembali setelah makan siang. Biasanya masih berkumpul di kantin atau coffe shop di lantai dasar.
“Kamu liat-liat apaan sih daritadi?” tanya Fara penasaran karena sejak di lift Ara fokus dengan ponselnya. “Daffin ngehubungin kamu?”
“Nggak lah. Nomor dia aja udah aku blokir. Males banget nyimpen kontak mantan.” Ara bergidik ngeri seolah menyimpan nomor Daffin di ponselnya adalah sesuatu yang terlarang.
“Ntar kangen loh. Biasanya paling suka liat story atau baca-baca chat dari Daffin. Bucin banget.” Fara tergelak.
“Ogah! Amit-amit!”
“Terus ngapain?” Fara mengintip benda tipis di tangan Ara. “Krim pembesar p******a?” Ia kembali menahan tawa. “Kamu mau pesen?”
“Daripada aku pake implan?”
“Omongan temen-temennya Daffin nggak usah didenger lah, Ra. Kamu gedein pun buat siapa coba? Orang sekarang jomblo.”
“Nggak usah diperjelas deh, Far. Ya buat calon suami aku di masa depan lah.” Ara mengibaskan rambutnya. “Masa buat mantan!”
“Terserah kamu deh. Awas kalo ada bahan kimia yang berbahaya. Nyari yang alami aja sih, Ra.”
“Apaan? Mak erot?”