chapter 6

1044 Kata
22 juni 2020                                                                                                   My lovely husband Episode 6             Pagi ini keluarga Netsu menjalani rutinitas paginya, yaitu  sarapan pagi bersama keluarga, mereka sarapan dengan tenang dan khidmat sebelum kedatangan wanita berusia 60 tahunan yang bergabung dalam acara sarapan pagi, perempuan itu ibu mendiang istri Merik yang sudah meninggal, ia memandang Kauri penuh kebencian pada Kauri yang duduk di kursi yang ada di sebelah Merik.             Kauri tidak menyadari kalau sedari tadi ada yang memberikan tatapan kebencian terhadap dirinya, dia terlalu asik menikmati hidangan yang sudah ada di piringnya dengan tenang tanpa merasa terganggu sedikit pun. Merik dan Revi tidak ada bedanya dengan gadis itu sama-sama tidak menyadari tatapan membunuh dari wanita 60 tahun itu.             “Kau!! Apa niatmu menikahi menantuku?!” wanita tua itu tiba-tiba saja bertanya dengan suara tinggi dan panuh kebencian. Suasana yang tadinya tenang mendadak berubah jadi sunyi dan menegangkan, Kauri, Merik dan Revi sampai terkejut, mereka reflek mendongakkan wajahnya dan memandang heran wanita tua itu. Ibu mendiang istri pertama Merik itu menatap tajam kauri, gadisnya merasa sama sekali tidak begitu mengenal wanita yang terlihat sangat marah bahkan membencinya, yang ia tau wanita itu adalah mantan mertuanya, jadi dia tidak merasa punya urusan atau membuat masalah dengannya.             Kauri tidak tau harus menjawab apa, menurutnya tidak penting sama sekali mengatakan sesuatu pada orang yang tidak ada hubungan dengan dirinya, wanita berumur itu semakin murka melihat sikap diam gadis itu, rasa tak terima menghinggapi d**a wanita tua tersebut,”Kenapa kau diam?! Kau tidak tuliu,’kan? Kau menikahi Merik karena kau pasti punya alas an tertentukan? Katakan dengan jujur apa tujuanmu menikahi Merik! Apa kau bertujuan mengambil harta Merik?!” tanyanya penuh selidik.             Kauri terkejut karena wanita tua itu ternyata mengetahui akal bulusnya, tapi dia tidak boleh panik atau semua rencananya akan terbongkar kecuali perasaan yang aneh yang akhir-akhir ini sering dia rasakan itu bukan bagian dari rencananya. Gadis cantic itu masih bisa mengendalikan sikap tenangnya, bibirnya menyunggingkan senyum lembut tanpa ada yang tau bahwa dirinya menyembunyikan sesuatu dibalik senyum itu.             “Maaf, ibu, aku hanya terkejut. Ibu benar, aku memang punya tujuan tersendiri kenapa aku menikahi Merik, seorang pengusaha kaya dan duda beranak satu,” jawabnya tenang. Suasana yang tadi tegang kini jadi semakin menegangkan khususnya bagi Merik, pria itu sangat ingin tau alasan sang istri bersedia menikah dengan dengannya, benarkah apa yang dikatakan oleh mantan mertuanya itu? Dia berharap tuduhan wanita tua itu tidaklah benar, ia sangat percaya pada sang istri bahwa gadis benar-benar tulus mencintainya.             “Alasannya adalah …karena aku … menginginkan … cintanya,” ucap Kauri di sertai dengan senyuman yang sangat manis. Setelah itu matanya beralih pada sang suami. Merik sungguh merasa lega dengan jawaban sang istri tercinta, tidak sia-sia dirinya sangat mempercayai gadis itu, dia bersukur tidak meragukannya kalau sang istri tau keraguan dalam hatinya mungkin akan bersedih, sukurlah semua itu tidak terjadi.             “Dan kalau urusan harta.” Kauri kembali menoleh pada mantan mertua sang suami, ia menatap wanita tua itu dengan tatapan meremehkan.             “Bukankankah itu hak seorang istri untuk menikmati harta suaminya, dan juga bukankah itu kewajiban seorang suami untuk memberikan nafkah kepada istrinya? Apa ibu puas dengan jawabanku?” tanya Kauri dengan senyum menyebalkan. Perempuan 60 tahun itu benar-benar tidak menduga kalau istri mantan menantunya itu sangat pandai bersilat lidah, dia bahkan membuat dirinya tidak bisa lagi membantah ucapannya karena memang benar adanya mengenai hak dan kewajiban seorang suami terhadap istrinya dan hak seorang istri terhadap suaminya. Sekarang pasti mantan menantunya semakin percaya pada istri kecilnya itu, tapi dia bersumpah akan membongkar semua kebohongan wanita licik itu. Brak… “Kau..” tunjuknya pada Kauri. Matanya semakin berkilat tajam, wajahnya merah padam bukan karena malu melainkan karena menahan amarah. Kauri terkejut, sekarang dia sudah tidak bisa lagi bersikap tenang, terlalu menakutkan untuk gadis seumuran dirinya mendapatkan bentakan, gertakan dari mantan mertua suaminya.             “Perempuan munafik,” hinanya. Tubuh kauri menegang mendengar kata-kata hinaan yang begitu menyakitkan dari wanita itu untuknya. Seumur hidup dia terlahir keduania ini, belum pernah sekali pun ada yang berani menghinanya sekejam itu, bahkan saat ayahnya masih hidup, pria itu selalu mengatakan dirinya anak yang baik, tapi sekarang setelah menikah seseorang mengatainya munafik. Gadis itu hanya ingin berbakti kepada ibunya, mengorbankan rasa cintanya pada pria yang paling dicintainya dan menikah dengan duda beranak, semua demi kebahgiaan ibunya, mungkin semua yang dilakukan salah, tapi dirinya hanya ingin menjadi anak yang baik untuk ibunya yang gila harta.             Kauri ingin sekali menangis, tapi ditahannya karena tidak ingin disebut lemah dan cengeng, andai saja ayahnya masih hidup mungkin nasibnya tidak akan begini, seandainya saja kakaknya masih bersamanya mungkin dia akan menampar mulut wanita tua itu, mungkin ia juga tidak akan membiarkan dirinya menikah hanya demi uang, kakaknya seorang pria yang baik dan selalu menyayanginya, mengutamakan dirinya di atas apapun bahkan akan mengorbankan nyawanya demi dirinya, meski beda ibu satu ayah tapi rasanya kasih sayang pria itu melebihi apapun.             Merik terkejut mantan mertuanya itu sampai hati mengeluarkan kata sekasar itu untuk gadis kecil yang sudah dia nikahi setahun yang lalu, matanya melirik sang istri yang terlihat seperti hamper menangis, mata istrinya berkaca-kaca genangan air mata mengembung di pelupuk matanya. Pria itu bisa merasakan kesedihan dan sakit hati yang dirasakan oleh istrinya, gadis itu masih sangat muda, tapi mantan ibu mertuanya sudah mengeluarkan kata yang sangat kasar dan melukai perasaannya, sebagai seorang suami dialah yang bertugas dan bertanggung jawab untuk melindungi jiwa raga gadis itu, tidak akan dibiarkan siapa saja menghinanya meski itu ibu mendiang istri pertamanya.             “Cukup! Dengan tidak mengurangi rasa hormatku pada ibu, jangan lagi membuat keributan di rumah ini! Dan jangan sekalipun ibu berani menghina istriku!” tegas Merik tak terima istrinya mendapatkan penghinaan sekecil apapun itu. Wanita 60 tahunan itu terkejut, tubuhnya bahkan gemetar karena ketakutan tapi dia juga merasa kesal pada mantan menantuanya itu. Pria yang begitu lembut saat masih menikah dengan putrinya, sosok yang begitu penyabar saat dimarahinya, sekarang hanya demi istri barunya sampai rela membentaknya, bahkan kilat matanya itu sangat tajam dan berbahaya.             “Me-Merik, kau membentakku? Kau berani melawanku Merik? Kau ingat Merik? Aku ini ibu mendiang istri pertamamu dan nenek dari putri kandungmu,” katanya seakan tidak percaya dengan yang dilihatnya.             “Aku tau, ibu. Tapi ibu juga tidak boleh melupakan fakta, bahwa orang yang ibu hina itu sekarang adalah istriku, dan aku tidak akan membiarkan siapapun menghina istriku. Termasuk ibu,” balas Merik dengan penuh penekanan disetiap katanya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN