Refreshing

1353 Kata
Seminggu sudah setelah kejadian mengerikan itu, Alhamdulillah keluarga Bastian berangsur-angsur mulai pulih. Tubuhnya mulai pada sehat kembali, pikirannya dan juga hatinya. Kevin dan Mbok berhasil membuat mereka semua sadar, perlahan sembuh dan lepas dari jeratan perempuan durjana. Sudah dua minggu ini perempuan durjana itu belum kembali ke rumah keluarga Bastian. Baik keluarga Bastian dan keluarga Dedi tak ada salah satunya yang menanyakan kabar ataupun lainnya. Kevin tidak peduli akan hal itu, bahkan ia sempat ribut dengan abangnya karena menurutnya sangat lancang membawa istrinya pulang ke rumahnya. Tetapi, Kevin tidak peduli, tujuannya adalah untuk menyembuhkan keluarganya, menyadarkan keluarganya agar kembali seperti sediakala. Kevin sempat berpikir, kakak iparnya itu mungkin juga sedang berobat, namun entahlah. Perlahan namun pasti, Reno mulai sadar dan memahami sikap adiknya. Ia tak menyangka istrinya bisa berbuat seperti itu. Seorang perempuan yang dibela habis-habiskan bisa semudah itu menghujam belati berkali-kali pada dirinya, pikirannya, hatinya dan mentalnya. Papih dan Mamih juga tak menyangka dengan sikap menantunya itu. Mereka berpikir, menantunya itu sangatlah baik dan pengertian, tetapi ternyata semua itu salah dan justru sebaliknya. Reno sempat frustasi dan kehilangan arah, bingung harus melakukan apa tetapi Kevin menyakinkan dirinya untuk tetap tenang dan berdoa agar istrinya berubah menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Reno sedang melamun tak menentu, satu sisi dirinya merasa rindu dengan Sela namun sisi lain rasa kecewa masih menyelimuti dirinya. Sepertinya, ia butuh refreshing. Reno mengeluarkan benda pipih dari saku celananya, lalu menekan tombol telepon, ia merasa harus menelpon salah satu temannya. "Hallo, Bro." "Tam, ada dimana?" "Kantor. Kenapa? Memang lu dimana?" "Sama, dikantor juga haha." "Bangke! Ada apaan?" "Tam, gue butuh teman." "Iya gue tau! Lu telpon gue karena butuh teman. Bukankah lu selalu telpon gue dikala butuh sandaran? It's oke, Honey, aku akan selalu ada untukmu." "Najis, Tam!" "Haha, jangan najis-najis, Sayang. Bukankah kau butuh belaian dariku?" "Anjir! Semakin menjijikan, lu!" "Haha, ada apaan, sih?" "Touring, ayo." "Kemane?" "Terserah! Yang terpenting gue butuh pelampiasan! Gue butuh touring!" "Eh, ikut gue aja, mau gak?" "Kemana?" "Tasik." "Ngapain?" "Balik kampung, lah! Kali-kali aja lu nemu yang bening, ya 'kan?" "Bagus juga ide, lu!" "Iya pasti dong. Istri lu sendiri 'kan yang mempersilahkan lu poligami, so? Lakuin! Dari pada lu diinjak-injak!" "Tapi, gue gak sejahat itu, Tama!" "Lu gak jahat, Reno. Dia yang mempersilahkan. Lagi pula, gue yakin lu bisa adil kok. Allah itu memperbolehkan lelaki mempunyai istri lebih dari satu." "Iya memang benar, tapi 'kan tidak semata-mata memperbolehkan! Ada hal yang harus dipahami di dalamnya." "Ren, bini lu sudah jelas gak bisa menuruti keinginan, lu! Lagi pula, dia mempersilahkan dengan alasan tak sanggup mengurus lu, padahal apa sih yang dia urus? Cuman keperluan dan kebutuhan lu tapi dia merasa gak sanggup? Sayko memang!" "Sudah! Malas gue bahasnya! Jadi kapan lu mau balik ke Tasik?" "Lusa, lumayan long weekend refresh otak disana. Gimana?" "Oke, gue ikut!" "Sip." Mereka mengakhiri obrolan yang tak cukup penting. Begitulah pria, mereka hanya akan menghabiskan waktu untuk bertelpon ria apabila ada hal yang penting. Tidak seperti para wanita yang rela menghabiskan waktu bertelpon ria untuk ghibah. *** Akhir pekan tiba, ini adalah long weekend yang memang sangat ditunggu. Akhirnya, Reno bisa keluar lagi dari rumah untuk refreshing dan menenangkan hati juga pikirannya. Kali ini, ia bisa bebas pulang kapan saja karena tak akan ada yang melarang. Keluarganya justru mempersilahkan, sebab memang sepertinya anaknya itu butuh hiburan. "Rencana berapa lama, Nak?" "Entah, Mih. Yang penting Reno bisa refreshing, Mih." "Jangan kelamaan, Ren! Jangan bebankan Papih dengan pekerjaan kamu!" "Tenang saja, Pih. Papih hanya cukup mengontrol saja, selebihnya susah Sesil yang ngurus. Wanita itu bisa diandalkan kok, tenang saja." "Apa iya, Pih?" "Iya, Mih benar. Sesilia walaupun wanita, dia cukup sangat bisa diandalkan. Dari pada menantu kita, dia lebih bisa diandalkan, Mih. Sepertinya Reno memang mengajarkan dia dengan sangat ketat maka dari itu dia cerdas sekali." "Syukurlah. Setidaknya, Papih tidak harus menanggung beban berat ketika Reno tidak ada di kantor." Papih mengangguk setuju. Reno kembali membereskan barang-barang yang akan dibawa olehnya. Kali ini mereka tidak menyetir motor, tetapi mobil. Awalnya Reno marah, tetapi setelah dijelaskan oleh Tama akhirnya mengerti juga. Memang cuaca sangat lagi tidak mendukung, jadi lebih baik memakai mobil agar tak menghambat perjalanan mereka. Mereka bertiga keluar dari kamar Reno dan berjalan ke ruang tamu. Reno akan menunggu sahabatnya di ruang tamu, dan ternyata Kevin baru saja pulang dari sekolahnya. "Weh mau kemana, Bang?" "Touring, Dik!" "Lah? Kok bawa koper?" "Touringnya pakai mobil, Sayang," ucap Mamih terkekeh. "Tumben banget." "Tau tuh si Tama! Banyak gaya banget dah pokoknya!" "Ya sudah, itu lebih baik daripada kehujanan 'kan? Lagian ini lagi masuk musim penghujan, Bang. Mencegah penyakit lebih baik." "Iya, Dik." "Gue senang, Bang. Akhirnya … lu bisa semangat lagi kayak sekarang. Dan tentunya, bisa touring lagi. Gitu dong! Dari pada diam saja mengurung diri di kamar! Itu bukan Abang gue banget!" "Iya lu bener, Dik. Gue harus bangkit." "Pastilah!" Tiinn Tiinn "Tama datang tuh, Bang." "Iya, Mih." "Dik, gue titip Mamih dan Papih, ya." "Aman, lu senang-senang deh, ya." Reno mengangguk, ia mengayunkan kakinya keluar rumah menuju mobil Tama dan betapa terkejutnya ia saat membuka bagasi ternyata ada seorang wanita di kursi penumpang. Reno segera menyimpan kopernya di dalam bagasi, pamit pada orang tua dan naik ke kursi sebelah Tama. Reno belum berani melirik ke kursi penumpang di belakang, namun pikirannya berhenti pada beberapa waktu yang lalu saat berada di rumah Tama. Ia melihat ada sosok wanita yang meneduhkan hati dan juga pikirannya. Ia sempat memikirkan wanita itu namun semuanya segera ditepis karena kehadiran Sela dihatinya. *** "Tama," ucapnya berbisik. Sebelumnya, ia sudah melirik ke arah belakang, dan melihat wanita berhijab navy itu terlihat sedang terlelap. Sempat memandang walaupun hanya hitungan detik dan pandangan mata Reno benar-benar sangat teduh melihat wajah teduh itu. "Hm." "Lu ngapain bawa perempuan?" "Lah? Balik ke Tasik memang tujuannya anterin dia balik, Ren." "Oh begitu." "Kenapa? Cantik ya?" "I-iya. Eh, gak, biasa saja, kok." "Haha, kenapa gugup?" "Berisik lu, Tama!" "Puas-puasin dah pandangin Vivi." "Namanya Vivi, Tam?" "Vivian Laksminara, perempuan cantik, berkulit putih, sorot mata meneduhkan. Siapa lelaki yang tidak menyukainya? Banyak, Ren." "Termasuk lu?" "Gak. Gue punya tipe sendiri dan lagi sudah ada orangnya." "Masa?" "Yoi, Bro." "Dia siapa lu?" "Sepupu jauh, jadi Amih dia itu adiknya Amih gue." "Amih?" "Iya, Nenek, Bro." "Oohh …." "Terus? Ngapain dia ke tempat lu kemarin?" "Neneknya sakit, sempat dirawat kemarin di rumah sakit kota tapi sayangnya tidak selamat." "Innalillahi, turut berduka cita, Bro." "Santai, Ren. Lu terpana ya?" "Selama ini, gue belum pernah melihat sorot mata meneduhkan dan menenangkan kayak dia, Tam." "Termasuk bini lu?" "Jauhlah, Tam!" Tama terkekeh. Dia tau betul tabiat sahabatnya, Reno itu paling susah terpana bahkan jatuh cinta. Maka dari itu, ada rasa curiga saat Reno mengatakan bahwa dirinya jatuh cinta pada Sela dan akan menikah. Tanpa sepengetahuan sahabatnya yang sedang di mabuk cinta itu, Tama mencoba mencari tahu tentang Sela namun nihil, semuanya seakan tertutup rapat sekali. Dan baru terkuak beberapa waktu lalu, dari mulut Reno sendiri bahwa istrinya itu memakai susuk. Tama memang sudah curiga dari awal, tapi ia tak ingin membuat sahabatnya kecewa dan terluka. Maka, di biarkanlah lebih dulu sahabatnya itu dimabuk cinta, suatu saat pasti terbongkar. Dan ini hasilnya, kecewanya sangat luar biasa. Rasa cinta memang tak bisa dibohongi, ia benar-benar mencintai istrinya tetapi rasa kecewa juga menyeruak masuk ke dalam diri, hati dan juga pikirannya. Tama sungguh kasihan melihat sahabatnya yang hampir frustasi gara-gara Sela. Beberapa waktu ini, Tama yang selalu ada untuk Reno dalam keadaan apapun. Menghibur, menenangkan dan juga memberikan banyak wejangan agar sahabatnya bisa menerima semua ini kembali. Tama selalu berucap untuk bisa sabar, ikhlas dan memaafkan. Memang sulit, tetapi ya bagaimana lagi? Harus bisa saling memaafkan bukan? Terlebih lagi usia pernikahan mereka yang bisa dibilang masih seumur jagung, sayang sekali jika harus berakhir karena sebuah keegoisan dan juga ambisi. Bukankah lebih baik jika bisa saling memaafkan dan berubah lebih baik dari sebelumnya? Hidup akan sangat tenang apabila bisa saling memaafkan. Tak ada dendam yang menyelimuti diri, hati dan juga pikiran. Buang jauh-jauh pikiran negatif dan ciptakan pikiran positif dalam diri agar menghasilkan sesuatu yang positif juga dari hati dan pikiran. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN