HAPPY READING
***
Maikel melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 09.20 menit. Mobilnya kini berhenti tepat di depan lobby apartemen Senopaty. Ia baru tahu ternyata Rara tinggal di sini. Tepat jam 10.00 mereka akan mengadakan jumpa pers di Hotel Four Season kawasan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Mungkin bagi Rara jumpa pers seperti ini hal biasa, karena inilah dunia wanita itu. Namun untuk Maikel sangat jarang, kecuali dulu beberapa kali pernah pacaran dengan Raisa dan Pevita.
Hari ini mereka sudah siap muncul di hadapan publik tentang skandal video syur yang menyeret namanya. Gosip-gosip tentang dirinya dan Rara masih panas di media. Bahkan ada yang memperjual belikan video itu secara personal. Mereka yakin para wartawan pasti sudah menunggu mereka di sana sejak pagi.
Maikel memandang Rara, wanita itu mengenakan kemeja putih dan celana jins sama seperti dirinya. Mereka memang sepakat bahwa mengenakan pakaian yang sama di hadapan media, agar menunjukan bahwa mereka adalah sepasang kekasih.
Rara menatap mobil Jeep milik Maikel terparkir di lobby apartemenya. Pria itu keluar dari mobil dan menyungging senyum. Lihatlah betapa kerennya pria itu apalagi ktika tersenyum, kaca mata hitam bertengger di hidung mancungnya membuat pria itu terlihat lebih kuat.
Rara meneruskan langkahnya mendekati Maikel, pria itu membuka pintu mobil untuk dirinya. Mereka saling berpandangan beberapa detik. Walau pria itu mengenakan kaca mata, namun ia tahu sorot mata tajam itu memandangnya secaraintens. Rara lalu mendaratkan pantatnya di kursi dan ia memasang sabuk pengaman.
Rara menatap Maikel duduk di depan kemudi setir. Maikel membuka kaca matanya dan lalu pria simpak kaca mata itu di dasbor. Mereka saling berpandangan satu sama lain.
“Saya ada sesuatu buat kamu,” ucap Maikel.
“Apa?”
Maikel merogoh sesuatu di balik saku celananya, ia memperlihatkan sebuah kotak cincin cartier kepada Rara.
“Cincin?”
“Iya, kita harus mengenakan cincin yang sama, agar media percaya bahwa kita memang sepasang kekasih,” Maikel membuka kotak cincin itu dan memperlihatkan kepada Rara.
Rara memadang sepasang cincin Juste un Clou dari Cartier. Cincin itu dirancang oleh seorang jenius bernama Aldo Cipullo, yang memiliki arti sebuah paku. Perhiasan itu mencerminkan gaya yang berani dan non-konvensional. Cincin itu tidak terlihat mewah namun sangat manis membuat siapapun yang mengenakannya menjadi percaya diri. Pilihan Maikel sangat keren menurutnya, seleranya tetap maskulin.
Mereka saling berpandangan satu sama lain. Maikel menarik nafas, ia meraih jemari Rara. Kini ia merasakan lagi jemari lentik itu, terakhir ia memegang jemari ini di Ancol, permukaan tangan Rara yang lembut dan kulitnya yang putih. Seketika hatinya bergetar ketika ia memasukan cincin itu dijari Rara.
Cincin silver dan kulit putih Rara perpaduan yang sempurna. Walau tidak ada satu batu permatapun di cincin itu, namun tetap bersinar di jari Rara.
“Kamu cantik mengenakan cincin ini,” ucap Maikel pelan.
“Thank you,” Rara melihat cincin itu melingkar di jari manisnya.
Maikel mengambil cincin silver yang sama dan ia mengenakan itu di jari manisnya juga. Maikel menyimpan kotak cincin di dasbor. Ia memasang sabuk pengaman dan meninggalkan area tower apartemen. Rara melirik Maikel memanuver mobil, tubuhnya bersandar di sisi kursi, tangan kanannya di setir dan tangan kirinya di parceling. Dia mengawasi mobil dan motor di hadapannya.
“Apa kamu siap dengan pertanyaan-pertanyaan wartawan?” Ucap Maikel.
“Iya saya siap. Bagaimana dengan kamu?” Ucap Rara.
“Tergantung pertanyaan sih.”
“Kita saling membantu saja. Saya akan menyesuaikan jawab. Yang penting kita harus tetap senyum apapun pertanyaanya. Intinya kita meminta maaf atas apa yang telah kita lakukan. Bagaimanapun kita harus hadapi sama-sama situasi ini.”
“Pertanggal ini wajah kita akan terpampang di seluruh media,” ucap Rara.
“Iya kamu benar.”
“Intinya saya pacaran sama kamu setelah kamu putus dari Bimo.”
Rara melirik Maikel pria itu menyungging senyum, “Seketika hidup saya berubah begitu saja,” ucap Maikel.
“Saya seperti mimpi,” gumam Rara.
“Kalau mikirin ini nggak ada habisnya, saya pusing,” Maikel terkekeh.
Maikel memandang Rara, “Oiya habis dari jumpa pers, ke rumah orang tua saya ya. Orang tua saya mau kenalan sama kamu,” Maikel memandang lurus ke dapan.
“Iya.”
“Orang tua kamu kapan ke Jakarta?” Maikel membuka topik pertanyaan agar membuat Rara nyaman berada di dekatnya.
“Mungkin dua hari sebelum kita menikah. Orang tua saya nggak terlalu suka hidup di Jakarta, kurang cocok.”
Alis Maikel terangkat, “Owh ya?”
“Iya, biasa lah orang tua. Lebih nyaman di kampung sendiri, walaupun Surabaya itu kota besar juga.”
“Orang tua kamu kerja apa?”
Rara menarik nafas, “Orang tua saya dulunya cuma buruh lepas saja. Semenjak saya merantau ke Jakarta, perlahan kehidupan kami berubah. Uang hasil kerja saya, buat modal orang tua saya, untuk buka toko sembako di sana.”
“Bagaimana perkembangan toko nya?”
“Berjalan dengan baik, sekarang kabarnya papa sudah bisa buka cabang lagi. Intinya papa dan mama saya punya kesibukan sih dan menikmati masa tua.”
“Kamu berapa saudara?”
“Dua, adik saya Olaf masih SMA”
“Jarak kalian lumayan jauh juga ya.”
“Iya. Kalau kamu?”
Maikel menyungging senyum, “Saya tiga bersaudara, Armand, Harvey dan terakhir saya. Kita cuma jarak satu tahun saja.”
“Jadi kamu anak terakhir?”
“Iya.”
“Di manja dong.”
Maikel lalu tertawa, “Enggak sih, biasa flat aja. Soalnya kita seumuran, cowok semua. Kalau ada anak cewek ya mungkin dia akan di manja.”
“Iya sih bener.”
“Pengusaha semua seperti kamu?”
“Iya.”
“Dari lahir kalian emang dari keluarga terpandang.”
Maikel menyungging senyum, “Bisa dikatakan begitu, privilege saya cukup bagus dan saya sangat bersyukur memilikinya. Papa menjadikan kami seperti ini.”
“Kalau pengusaha lain mulainya dari nol penuh tanjakan. Ya kami jalannya lurus-lurus saja.”
“Saya jujur dari nol juga, cuma saya, Harvey dan Armand menggunakannya lewat pesawat bukan tol lagi.”
Rara seketika tertawa, “Papa kamu dulu kerja apa?”
“Kamu mau tau?”
“Mantan pejabat,” bisik Maikel.
“Oh God, pantas saja, jalannya mulus-mulus.”
“Makanya saya jaga betul nama orang tua saya. Jangan sampai bocor di media.”
Maikel menghidupkan audio agar suasana mobil tidak terlalu sepi. Rara menyandarkan punggungnya di kursi. Ia memandang cincin yang melingkar di jari manisnya. Alunan lagu Ada Band – Nyawa Hidupku terdengar. Tidak ada yang memulai percakapan hingga mereka tiba di Hotel Four Season.
Maikel memarkir mobilnya di basement, ia melihat ada mobilnya di sana. Ia yakin Resti sudah ada di ballroom. Maikel memandang Rara, ia membuka sabuk pengaman.
“Kamu udah siap?” Tanya Maikel.
“Iya sudah.”
“Yakin bisa jawab semua pertanyaan?”
“Iya bisa.”
Rara melihat ke arah jendela ia melihat ada beberapa orang berjaga di sana. Ia tidak kenal siapa mereka, namun Rara yakin bahwa pria itu adalah orang-orang Maikel.
“Mereka siapa?”
“Mereka, orang-orang saya.”
Dugaanya benar bahwa itu adalah orang-orang Maikel. Rara mencoba menganalisis sepertinya Maikel lebih berani dan siap menghadapi media dari pada dia yang beneran artis. Rara mengambil kaca mata di dalam tas ia melihat Maikel menyungging senyum. Pria itu melakukan hal yang sama, dia mengenakan kaca mata juga. Rara membuka hendel pintu, ia menatap Maikel yang memandangnya.
Rara melihat uluran tangan Maikel sebelum mereka masuk ke dalam lift. Rara meraih jemari itu, lalu ia merasakan tangan hangat Maikel yang menjalar ke tubuhnya. Sepertinya ia sedikit trauma dengan namanya hotel, karena hotel lah yang membuatnya mendapatkan skandal.
Harusnya ia tidak mengenak Maikel dan harusnya juga ia mengabaikan pria itu ketika di bar kemarin. Andai saja ia berada di apartemen saja, ia tidak akan terlibat sekandal seperti ini. Hidupnya akan damai dan tentram.
***
Maikel dan Rara kini sudah berada di kursi yang telah di sediakan. Ia harus menyampaikan steatment dan penjelasan masalah video syur yang berada di media. Banyak sekali lampu sorot, mic-mic di atas meja dan beberapa wartawan duduk di kursi yang telah di sediakan.
Ada beberapa alasan ia mengadakan konferensi pers ini pertama menjawab secara tuntas atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh wartawan dan menjelaskan apa yang terjadi. Maikel dan Rara membuka kaca mata mereka. Maikel mengumumkan kepada media, tidak adanya blitz pada jumpa pers ini.
Rara melirik Maikel, Maikel memandangnya balik. Ia merasakan tangan Maikel berada di bahunya. Ia akan membuka suara untuk pertama kalinya.
“Saya mengucapkan terima kasih pertama-tama kepada teman-teman wartawan dan media yang sudah meluangkan waktunya untuk hadir di sini dan juga sudah bersedia menunggu kami.”
“Di sini saya dan Maikel akan menjelaskan apa yang terjadi atas video yang beredar. Di dalam video 20 detik itu, memang itu adalah saya dan Maikel.”
“Kami tahu bahwa tindakan kami merupakan tindakan yang tidak terpuji dan tidak layak untuk di contoh.”
“Kami berdua sudah mengecewakan banyak hati, terutama orang tua kami, anak-anak dan teman-teman. Saya mohon maaf atas kerendahan hati saya dan Maikel.”
“Saya dan Maikel tidak tahu kenapa video itu beredar, dan sekarang kasus itu sudah diurus dengan pengacara kami. Kami berdua minta maaf sekali lagi kepada pihak terkait, keluarga besar saya, sahabat, teman-teman, partner kerja, dan semua pihak yang menaruh kepernyaan terhadap saya, atas apa yang telah saya lakukan. Bukan menjadi contoh terpuji terutama orang tua saya, dan orang tuanya Maikel. Perbuatan kami memang butuh pengampuan dosa dari Tuhan.”
Seketika suasa hening, dan masuk ke sesi tanya jawab kepada media.
“Terima kasih kepada ibu Rara sudah menjelaskan tentang kasus video yang terkait. Yang saya tanyakan kepada bapak Maikel dan ibu Rara adalah, apakah bapak Maikel dan ibu Rara berpacaran?” Tanya wartawan.
Rara menoleh memandang Maikel, kali ini Maikel mengambil alih menjawab pertanyaan wartawan.
“Iya, saya dan Rara berpacaran,” ucap Maikel tenang.
“Kapan pacarannya?” Tanya wartawan lagi.
“Saya pacaran dengan Rara sejak Rara putus dengan mantan kekasihnya bernama Bimo.”
“Apa ada rencana untuk menikah sama Rara?”
“Iya, saya akan menikah dengan Rara Minggu ini.”
“Jadi masalah kasus itu memang karena bapak Maikel dan ibu Rara mau menikah?”
“Iya benar, kami melakukannya dalam keadaan sadar. Kami khilaf, karena sudah tidak menunggu hari H untuk melakukannya.”
“Apa pernikahan bapak dan ibu Rara mengundang media?”
“Awalnya saya dan Rara tidak ingin mengundang. Ingin privacy saja. Dengan adanya kejadian ini, kita akan mengundang media.”
“Terima kasih bapak.”
“Ini undangan untuk media. Kita akan menikah Minggu ini Pelataran Cilandak.”
“Jadi konferensi pers sekarang sekalian ngumumin pernikahan bapak Maikel?”
“Bisa dibilang begitu.”
“Bisa diceritain nggak pak, awal yakin ingin menikah dengan ibu Rara bagaimana?”
“Rara itu cantik, dia baik hati, sabar, keibuan dan yang paling saya suka dari Rara itu matanya. Saya terus terang kepada Rara, saya punya ketertarikan lebih sama dia. Terus to the point, saya langsung lamar dia, kamu mau nggak jadi istri saya?”
“Ya saya nggak nyangka Rara terima saya. Yaudah akhirnya kita jalani ini, dan kita menikah.”
“Kenapa bapak dan ibu Rara nggak ngomong langsung ke publik soal hubungan ini.”
“Ini sebenarnya privasi hubungan saya dan Rara. Karena kita agak sedikit trauma dengan hubungan masa lalu, gembar-gembor lalu nggak jadi. Apalagi saya bukan orang entertainment, jadi ingin lebih intimed.”
“Baik pak pertanyaan terakhir.”
“Bagaimana tanggapan bapak dengan mantan-mantan bapak sebelumnya.”
“Saya anggap masa lalu biarlah berlalu. Yang penting saat ini saya hidup di masa depan, saat ini saya menjalani kehidupan saya dan Rara.”
“Jika sudah menikah nanti apakah ibu Rara tetap menjadi artis?” Tanya wartawan.
“Kalau boleh jujur, saya ingin Rara di rumah saja. Biar saya yang bekerja, kalau masalah passion dia sebagai penyanyi, saya tetap mengijinkan Rara bernyanyi, tapi tidak melebihi batas saya bekerja.”
“Ingin menunda punya anak atau langsung punya momongan pak?”
Maikel menatap Rara, ia pandangi wajah cantik itu, “Saya terserah Rara, dia yang punya tubuh. Saya menghargai keputusan Rara. Saya menunggu hingga Rara siap punya anak. Saya tidak mempermasalahkan itu.”
“Kalau bapak sendiri bagaimana?”
Maikel lalu tertawa, “Kalau saya tentu saja ingin mempunyai anak sebanyak mungkin. Saya bahkan ingin punya group kecil di keluarga saya. Namun tinjau lagi badan itu milik Rara dan saya menyerahkan keputusan itu kepada Rara.”
“Kamu mau punya anka berapa sayang?” Tanya Maikel.
Rara hanya menyungging senyum dan Maikel lalu tertawa, “Sepertinya Rara mau ingin punya tiga anak,” ucap Maikel.
“Terima kasih bapak atas tanya jawabnya.”
“Kita yang terima kasih. Dengan kejadian ini sepertinya seluruh Indonesia tahu bahwa saya dan Rara akan menikah. Padahal sejak awal kita akan merahasiakannya. Tapi nggak apa-apa, saya tidak mempermasalahkannya.”
Rara dan Maikel akhirnya menutup jumpa pers dengan perasaan lega luar biasa. Ia yakin seluruh Indonesia mendengar steatment mereka.
Dalam hitungan detik berita Rara dan Maikel tersebar di seluruh stasiun TV dan beberapa platform media. Penjelasan tentang video syur kini tertutupi dengan pengumuman pernikahan mereka.
“Bagaimana perasaan kamu?” Tanya Maikel, meninggalkan area gedung hotel.
“Saya lega luar biasa.”
“Saya yakin skandal video syur itu tertutupi dengan pengumuman kita menikah.”
“Iya, saya pikir juga begitu.”
“Apa saya terlihat natural menjawab pertanyaan wartawan tadi?” Tanya Maikel.
“Natural banget, kayak udah pacaran dua tahun.”
Seketika Maikel tertawa, “Semoga saja enggak ada pakar-pakar sok tau, yang menyelidiki kebohongan saya.”
“Semoga saja.”
***