Bab 10

2558 Kata
HAPPY READING *** “Di hadapan Tuhan, Imam, para orang tua, para saksi,  maka saya Maikel Timothy, dengan niat yang suci dan ikhlas hati telah memilihmu Rara Adora menjadi istri saya. Saya berjanji untuk selalu setia kepadamu dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat dan juga sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu. Saya akan selalu mencintai dan juga menghormatimu sepanjang hidupku. Saya bersedia menjadi orangtua yang baik bagi anak-anak  yang akan dipercayakan Tuhan kepada saya dan akan mendidik mereka secara Katolik. Demikian janji saya demi Allah dan Injil suci ini, semoga Tuhan selalu menolong saya.” Acara pemberkatan dilakukan secara intim di sorot semua media dan keluarga saja. Selama pemberkatan Rara hanya diam dan memandang tatapan Maikel. Pria itu terlihat sangat siap menikahinya. Lihatlah betapa tampannya pria itu mengenakan tuxedo hitam berdasi kupu-kupu. Jujur ada perasaan sangat terharu mendengar Maikel mengucapkan namanya di sana. Kini mereka sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Setelah janji suci imam lalu memanjatkan doa kepadanya. “Ya Allah, Engkau menciptakan segala sesuatu dengan kekuatan kuasaMu. Engkau menciptakan  manusiaa menurut citraMu. Engkau menciptakan pria dan wanita  supaya mereka dipadukan menjadi satu. Engkau mengajarkan bahwa perkawinan yang telah Kuteguhkan tak boleh diceraikan.” Maikel memandang Rara dia sangat cantik dengan gaun pengantin pilihannya. Ia tidak menyangka bahwa saat ini Rara sudah resmi menjadi istrinya. Dialah wanita yang akan mendampinginya beberapa bulan ke depan. Acara pemberkatan berjalan dengan lancar tanpa halangan apapun. Setelah itu, malamnya mereka mengadakan acara garden party di Platran Cilandak, itu merupakan menjadi hari sejarah mereka. Malam itu juga Rara dibawa Maikel ke tempat tinggalnya. Rara mengikuti langkah Maikel masuk ke dalam rumahnya. Dari awal kesepakatan bahwa mereka tidur terpisah. Kamar Rara berada di ujung dekat balkon. Memang letaknya bersebelahan dengan kamar Maikel. Maikel menatap Rara. Ia harus mengakui saat pemberkatan tadi, Rara sangat cantik mengenakan gaun pengantin putih menjuntai hingga ke bawah. Wajahnya sangat flawless dan sekarang  pakaian pengantin itu sudah berganti dengan dress berbahan satin lembut. Namun tidak mengurangi kecantikannya.  Maikel memandang koper LV milik Rara di depan pintu. “Ini kamar kamu,” ucap Maikel. Rara membuka hendel pintu, ia mengedarkan pandangannya kesegala penjuru ruangan yang di d******i warna putih. Kamar ini sama seperti kamar Maikel. Namun  perbedaan warnalah yang menonjol. Kamar maikel di d******i warna hitam abu-abu memiliki kesan misterius dan maskulin. Sedangkan kamar ini terlihat lebih luas semuanya berwarna putih dan sangat bersih. “Kamar ini sama seperti kamar saya. Hanya warna saja yang berbeda. Saya tidak tahu kamu suka warna apa. Desain interior saya memilihkan warna putih sebagai pilihannya,” ucap Maikel lalu masuk ke dalam. Rara menatap Maikel dan ia tersenyum, “Saya suka kamar ini. Desain interior kamu benar, saya sangat suka warna putih,” ucap Rara tenang. “Terima kasih kamarnya.” “Iya sama-sama Rara.” “Yang tinggal di rumah ini saya dan kamu saja. Kalau pekerjaan rumah ada bibi yang ngerjain, kamu tidak saya biarkan menyentuh sapu atau dapur. Untuk masalah dapur saya serahkan kepada bibi. Berhubung kamu menjadi istri saya dan tidak mendapat kecurigaan. Maka saya akan menyerahkan urusann rumah  ini sama kamu.” “Saya akan kasih uang belanja sama kamu.” “Berapa?” “Kamu mau berapa?”  “Kalau saya yang minta pasti kebanyakan. Apa uang belanja kebutuhan dapur itu campur dengan gaji security dan bibi?” “Enggak, gaji mereka semua masuk ke dalam accounting kantor, terhitung karyawan saya di perusahaan.” Rara mengangguk paham, “I see.” “Jadi kamu berapa?” “Saya terserah kamu.” “Selama kamu menjadi istri saya, apa kamu memasakan saya?” Tanya Maikel. “Ya tentu saja, saya akan membuatkan sarapan, makan siang dan makan malam setiap hari. Kalau kamu mau. Saya akan berperan menjadi istri yang baik beberapa bulan ke depan.” Maikel menyungging senyum, ia lalu berpikir, “Ok, saya kasih uang belanja kamu 40 juta sebulan. Apa cukup?” “Cukup.” Maikel merogoh dompet di saku celanya, ia menatap Rara. Rara sudah menjadi tanggung jawabnya dan menafkahi adalah tugasnya. Walau pernikahan mereka sementara ia harus menunaikan kewajibannya sebagai suami. Maikel mengeluarkan dompet  dan memberikan kartu kreditnya kepada Rara. “Ini untuk kebutuhan kamu sehari-hari. Jangan samakan uang kebutuhan dapur. Mereka dua hal yang terpisah.” “Nanti uang belanja saya transfer saja ke rekening kamu.” “Thank you.” “Di basement ada beberapa mobil, kamu tinggal pilih ingin memakai mobil yang mana.”   “Iya.” “Ada yang mau kamu tanya kan lagi?” “Enggak ada.” Inginnya mengecup kening Rara dan mengucapkan selamat tidur. Namun ia mengurungkan niat untuk melakukannya. “Selamat istirahat Rara.” “Kamu juga.” Maikel lalu meninggalkan Rara begitu saja di kamarnya. Biasanya  kegiatan pengantin setelah menikah tidur bersama atau honeymoon berdua. Betapa ia mendambakan lokasi honeymoon ke pantai seperti Lombok dan Bali. Kalau destinasi ke Eropa ia tentu saja akan ke Barcelona. Namun kegiatannya dengan Rara hanya sebagai formalitas saja. Mereka tidak melakukan apa-apa selain tidur di kamar masing-masing. Rara sepertinya tidak tahu bahwa kamar ini memiliki connecting door. Alasan Maikel tidak memberitahu agar Rara nyaman berada di rumah ini. Mungkin  Ia dan Rara bisa menyumbunyikan ini dari hadapan media, namun tidak dengan pembantu dan security yang bekerja di sini. Maikel tahu bahwa pembantu di rumah ini sangat loyal kepadanya karena sudah sudah ikut keluarganya belasan tahun lamanya. Sehingga mereka tidak ada yang berani membeberkan masalah ini ke media.   ***   Keesokan harinya, Rara  belum sepenuhnya memindahkan barang-barangnya di apartemen ke rumah Maikel. Selama beberapa bulan tinggal di sini. Resti lah yang menempati apartemennya selama ia di sini. Rara menatap penampilannya di cermin, ia mengenakan halter dress berwarna hijau muda. Rambut panjang terurai. Tadi malam ia melihat banyak sekali kado pemberian dari teman-teman artisnya dan hadiah dari teman-teman Maikel, klien dan beberbagai macam perusahaan di negri ini. Apalagi amplop yang ia yakin isinya uangnya tidak sedikit. Rara masih ingat kiriman karangan bunga juga  memenuhi lobby halaman di plataran Cilandak. Ia tidak tahu seberapa banyak karangan itu hingga mencapai tiga tingkat. Ia tahu bahwa Maikel bukan orang sembarangan. Sehingga orang-orang penting berbondong-bondong mengrimnya karangan bunga. Rara melirik jam digital pada ponselnya menunjukan pukul 07.20 menit. Ia tidak tahu Maikel sudah bangun apa tidak. Rara keluar dari kamar menatap pintu kamar Maikel yang tertutup. Ia melangkah menuju tangga dan ia turun ke bawah. Ia menatap pembantu Maikel tersenyum kepadanya. “Selamat pagi bu,” ucapnya ramah. “Selamat pagi juga,” ucap Rara. “Di tungguin bapak sarapan.” Alis Rara terangkat ia tidak menyangka bahwa Maikel bangun sepagi ini. Rara melangkah menuju ruang makan, ia memandang Maikel di sana. Pria itu mengenakan kaos putih dan celana pendek Adidas pendek berwarna hitam, sedang menyesap kopi sambil menekuri ponselnya. Jujur ini rekor terpagi ia bangun, biasa ia bangun jam sembilan pagi. Namun pria itu ternyata bangun lebih awal dari yang ia bayangkan sebelumnya.  Maikel menyadari kehadirannya, dan pria itu menyungging senyum.  Lihatlah betapa tampannya Maikel saat tersenyum seperti itu. Rara mendekati Maikel dan membalas senyum pria itu. Ia merasa canggung karena ini bukan rumahnya sendiri walau ia tahu bahwa Maikel membebaskannya seperti ratu di sini. “Selamat pagi,” ucap Rara. “Selamat pagi juga,” ucap Maikel, jujur ia terpana memandang Rara, dia mengenakan mini dress berwarna hijau muda. Dia terlihat sangat segar dan cantik. “Duduk lah, kita sarapan bersama,” ucap Maikel tenang. Rara mengangguk, “Iya.” Rara lalu duduk di samping Maikel, ia menatap sandwich, dan s**u segar. Ia tahu bahwa itu adalah sarapan untuknya. “Kamu sudah bangun lebih dulu,” Rara membuka topik pembicaraan. “Saya sudah terbiasa bangun jam enam pagi setiap hari, lalu saya olah raga dan sarapan.” “I see. Ini rekor terpagi yang saya bangun, biasa saya bangun jam sembilan. Tapi tetap saja saya bangun siang,” ucap Rara terkekeh. Maikel menyungging senyum, “Iya nggak apa-apa. Saya nggak melarang kamu bangun siang. Nggak ada siapa-siapa di sini, hanya kamu saya dan bibi. Anggap saja rumah sendiri.” “Tapi semalam saya berjanji sama kamu untuk nyiapin kamu sarapan.” “Ini malah saya yang nyiapin kamu sarapan.” “Masa,” Rara merasa tidak yakin dengan ucapan Maikel. “Serius. Tanya aja bibi.” “Kok kamu bisa buat sandwich.” “Bisalah, dulu kan saya lama di New Heven, jadi saya terbiasa masak sederhana, seperti membuat steak, spaghetti, mie instan yang tinggal masak ada takaran dan tata caranya. Walau enggak seahli kamu memasak,” Maikel ia memasukan sandwich itu ke dalam mulutnya. “Ini s**u apa?” tanya Rara. “s**u segar. Kamu suka nggak?” “Suka banget, ini sarapan saya setiap hari kalau di apartemen,” ucap Rara ia meraih gelas itu dan lalu meneguknya. Rara juga memakan sandwich hasil buatan Maikel, “Rasanya enak,” ucap Rara. “Thank you.” “Oiya, kamu nggak kerja hari ini?” Tanya Rara. “Enggak lah, saya libur sampai tiga hari ke depan. Kalau saya masuk hari ini, seluruh kantor  curiga sama saya kenapa saat-saat bahagia seperti ini saya kerja.” “Iya sih.” Maikel kembali menatap Rara, “Oiya, kita belum membuka kado pernikahan, mau buka nggak?” “Ada di mana?” “Ada di kamar saya, banyak sekali. Saya rencananya mau buka kado pernikahan itu sama kamu,” Maikel kembali memakan sarapannya. “Yaudah hayuk liat kadonya, saya jadi penasaran kado apa saja tamu-tamu  kasih.” “Habisin dulu sarapan kamu.” “Iya.” *** Beberapa menit berlalu, Maikel dan Rara sudah menyelesaikan sarapannya. Mereka menuju kamar Maikel. Rara menatap betapa banyaknya kado pernikahan mereka  di sana. Mungkin membongkar kado ini butuh waktu hingga sore hari. “Banyak banget.” “Iya, saya juga bingung mulai dari mana,” ucap Maikel lalu tertawa. Rara dan Maikel duduk bersila di lantai mereka membuka kado mulai dari yang terkecil. Rara menatap beberapa kartu nama mereka, sebagai ucapan terima kasih  kepada tamu yang sudah mengirim kado untuk mereka. Maikel mengambil satu kado yang berukuran kecil begitu juga dengan  Rara. “Ini dari Harvey,” ucap Rara memperlihatkan kepada Maikel. “Itu dari saudara saya.” Rara membuka kado tersebut,  ia memandang kotak beludru hitam bertulisan BMW pada bordiran depan. Rara memandang Maikel dan lalu membukanya. Ia menatap sebuah kunci mobil otomatis di sana. Ia tahu bahwa BMW sudah meninggalkan kunci konvensional. “Kunci mobil?” ucap Rara memperlihatkan kepada Maikel. Maikel menyungging senyum, “Iya Harvey, pasti ngasih kado saya mobil.” “I see.” “Saya yakin sebentar lagi mobil BMW itu akan di kirim ke sini.” “Ini serius ngasih mobil?” Tanya Rara hampir tidak percaya. “Iya bener Rara. Emang kamu nggak pernah dapat hadiah mobil sebelumnya.” Rara menggeleng, “Enggak pernah.” Maikel tertawa, “Ya ampun, kasihan banget. Emang fans kamu ngasih hadiah apa biasanya?” “Buket bunga, frame, makanan, cake, jam tangan, ya gitu-gitu aja sih, paling mentok ya tas, sepatu, gelas, mangkuk, mug, piring.” “Kamu biasanya sering dapat kado ginian?” Tanya Rara. Maikel lalu berpikir dan menatap Rara, “Biasa sih dari klien saya rata-rata mobil. Tapi ada  beberapa mobil yang saya beli dari uang saya sendiri, itu juga cuma dua,” ucap Maikel. “Mobil ini untuk saya boleh nggak?” Ucap Rara. Maikel “Iya boleh lah, itu kan hadiah pernikahan kita. Semuanya untuk kamu.” “Bener?” “Iya, bener,” ucap Maikel menahan tawa. “Asyik.” “Kamu tau nggak, saya tuh paling seneng kalau buka kado kayak gini,” Rara mengambil kotak kecil yang berada di dekatnya.  “Terus ini dari Tibra. Siapa?” Tanya Rara. “Rekan bisnis saya.” Rara membuka kertas kado itu, ia memandang sebuah kotak belubru berwarna merah yang terukir Cartier di tengahnya. Rara menatap  sebuah  kalung trinity necklace yang lagi hit sekarang,  kalung ini melambangkan persahabatan, cinta dan kesetiaan. Bahkan ia pernah membeli kalung ini. “OMG, ini kalung cartier asli?” Rara hampir memekik kegirangan. “Iya asli lah, Tibra nggak mungkin ngasih yang palsu,” Maikel lalu tertawa. “Ini kan mahal banget. Soalnya aku pernah beli juga.” “Berapa harganya?” “Sekita 8700 USD gitu. Mahal banget ini, beneran deh.” “Ada kartu ucapan juga nih. Mau saya bacain nggak.” “Apa katanya?” “Gak nyangka akhirnya temen gue yang satu ini nikah juga. Setelah ratusan wanita nolak lo, akhirnya salah satunya mau juga ya sama lo? Hahah. Semoga bahagia terus ya bro, semoga cepet dapet momongan yang gak bandel kaya lo." “Temen kamu kocak banget sih, ngasih kartu ucapan ginian.” “Aneh mereka tuh, padahal aslinya Tibra itu cool.” Maikel tertawa ia menulis nama Tibra di kartu ucapan itu. Nanti renacanya kartu nama tersebut dikirim  dengan buket mawar putih kepada pemberi kado, sebagai ucapan terima kasih. Rara mengambil kado lainnya, ia tidak percaya bahwa justru kado-kado kecil ini lah yang memiliki harga fantastis.  Rara mengambil kado yang berbentuk persegi itu dan membaca namnya. “Wiga Harrison, siapa?” “Sahabat saya.” “Sahabat dekat?” “Iya dia punya perusahaan retail motor.” “Wow,” Rara lalu membuka kotak itu dan lalu membukanya. Rara memandang sebuah kunci berbentuk persegi di sana. “Kunci apa? Motor?” Tanya Rara bingung. Maikel menatap itu dan lalu tersenyum, “Iya itu kunci motor Harley. Ada kartu namanya nggak?” Tanya Maikel. “Iya nih ada.” “Apa katanya?” "Aku hanya ingin berkata bahwa, sahabat yang paling jahat adalah sahabat yang tega meninggalkan temannya menikah dahulu. Namun, aku tetap sayang padamu, selamat menempuh hidup baru." Maikel dan Rara seketika tertawa mendengar kartu ucapan kocak itu. “Ini temen kamu masih jomblo?” “Iya, nanti kita ke tempat dia ya.” “Di mana rumahnya?” “Pondok Indah.” “Oke.” Rara mengambil kotak persegi itu dan menatap sebuah kotak hitam di sana. Rara memandang kotak bertulisan bertinta hitam. “Dari Damian.” “Sahabat saya juga.” Maikel penasaran ia mengambil alih kotak itu,  ia membuka dan memandang sebuah dua buah jam tangan couple berwarna hitam bertulisan Rolex Oyster. Ia tahu Damian seperti apa. “Wah Rolex asli ya.” “Iya.” “Pasti ini orang kaya banget.” “Pengusaha batu bara.” “Wow.” Maikel dan Rara membaca kartu ucapan itu. "Akhirnya temen gue yang satu ini gak sendiri lagi. Sekarang kalo makan udah gak akan kelaperan lagi karena ada yang masakin, tidur ada yang nemenin, makan ada yang masakin. Selalu bahagia ya bro! semoga cepet punya momongan biar gue punya keponakan hehehe." Maikel dan Rara lalu tertawa. “Sahabat kamu gila semua ya, ini kado mahal-mahal banget.” “Uang mereka sudah nggak ada artinya lagi,” ucap Maikel lalu tertawa. “Masih mau lanjut buka kado ini semua?” “Iya nih, nanggung juga. Buka semua ya.” “Iya, yaudah kalau gitu.” Kemarin saat mereka di wawancara wartawan mengatakan bulan madu di mana. Maikel mengatakan bahwa mereka tidak melakukan bulan madu dalam waktu dekat ini, karena banyak yang harus  mereka kerjakan sebelum berbulan madu. Mungkin jaman sekarang pengantin diluar sana banyak mengharapkan uang sebagai kado pernikahan mereka. Namun berbeda dengan pernikahan Maikel. Ratusan kado dari rekan bisnis Maikel, klien dan  berbagai macam perusahaan-perusahaan ternama di Jakarta mereka memilih kado sebagai hadiah pernikahan. Kado yang diberikan dengan harga fantastis yang membuat Rara speechlees.   ***    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN