22. KESALAHAN BESAR MARCELL

2131 Kata
Marcell kesal setengah mati, ia malah tidak fokus pada jalan di depan sana, sorot matanya malah terus menerus menatap Weeby dengan hidung mancungnya yang kecil. Disaat mata sejuk itu terpejam, Weeby seringkali terlihat lebih cantik di mata Marcell. Langkah kakinya mulai melambat, sengaja ia melakukan hal seperti itu, ini hanya sebentar, Marcell ingin menatap Weeby lebih lama. Sekarang, wajah cantik Weeby seperti candu bagi Marcell, senyum yang tertahan, akhirnya perlahan mulai terbit, semakin lama, senyum tipis itu menjelma menjadi tarikan bibir yang indah. "Marcell!" Merasa namanya tengah disebut, Marcell memilih untuk mengedarkan pandangannya, menyapu suasana sekitar apakah yang tadi telinganya tangkap benar-benar nyata. Marcell kemudian tercekat, menatap Resti yang memanggilnya, sekarang pacarnya itu sedang berjalan menyusul dirinya. "Resti, lo ngapain ada di sini?" Marcell terjerembab, memandangi Resti penuh tanda tanya, rasa terkejutnya dengan kedatangan cewek itu belum kunjung hilang. Resti menyilangkan kedua tangannya di depan d**a, mulutnya tampak berdecak, dan bola matanya terlihat berputar. Seperkian detik setelahnya, Resti mulai angkat bicara. "Justru gue yang tanya kayak itu, lo ngapain di sini?" Nada suara Resti terdengar tidak bersahabat, Marcell langsung membuka mulutnya untuk menjawab, namun perkataan Resti langsung menyelanya, membungkam mulut Marcell lagi. "Gue harap lo punya alasan yang nggak klasik untuk menjelaskan situasi sekarang ini." "Res, gue mohon lo jangan omelin gue sekarang, gue harus bawa Weeby ke UKS dulu, dia pingsan. Habis itu, elo boleh marahin gue sepuasnya," ucap marcell, intonasi suaranya melemah. Baru saja mau melangkah maju, Resti langsung menghentikan langkah Marcell, ucapan yang meluncur dari bibirnya membuat Marcell seketika tertahan. Cowok itu kembali menoleh ke samping. "Udah gue bilang, jangan deket-deket sama Weeby, lo lupa atau gimana sih?" Omelan Resti membuat Marcell diam, lalu cewek itu kembali menghentakkan kakinya ke tanah lantaran kesal dengan Marcell yang tidak mendengar penuturannya. "Tapi Weeby habis pingsan, dan ini semua gara-gara gue. Please, kali ini aja gue bantuin Weeby." Marcell memohon, detik berikutnya ia menandingi wajah Weeby yang sedikit tertutup oleh rambutnya. Mendengkus sebal, Resti masih tidak mau kalah, apa yang diinginkan sama sekali tidak boleh goyah, Resti tidak mau mengijinkan Marcell begitu saja. "Lo lupa sama permintaan gue?" "Enggak Resti, gue ingat, bahkan sudah diluar kepala gue. Dan lo harus ngerti, kalo gue ninggalin Weeby di sini? Apa yang bakal terjadi sama dia? Sementara dia sendiri lagi pingsan." "Bodo amat, itu terserah lo. Sekarang gue punya pilihan yang baik buat lo, pilih Weeby atau gue!" Resti tersenyum kecut, menunggu jawaban yang keluar dari pacarnya, ia sudah tidak sabar mendengar. Sementara itu, Marcell tercekat, pilihan itu sangatlah sulit. Bahkan, Marcell ragu untuk menentukan pilihannya. "Gue pilih lo, karena lo pacar gue," ucap Marcell pada akhirnya. "Oke, kalo gitu tinggali Weeby di sini dan ayo ikut gue." "Tapi." "Nggak ada penolakan, ayo buruan!" Gigi Resti sudah bergemelutuk menahan geram, sampai lengan seragam Marcell juga ia tarik. Wajahnya sudah menyimpan amarah. Marcell tergagap di tempat. Meninggalkan Weeby di sini? Marcell hampir saja tertawa dengan sumbang, ia tidak setega itu, apalagi sekarang cewek yang berada pada gendongannya sedang tidak sadarkan diri. "Ayo buruan! Kok malah ngelamun sih?" paksa Resti lebih geram, lalu kakinya ia hentakkan ke tanah berulang kali. "Ikut gue atau kita putus sekarang!" Dengan terpaksa, Marcell menurut pada Resti karena pacarnya itu memberi ancaman kalau Marcell tidak menurut pada kemauannya, Resti akan segera meminta putus. Tentu saja Marcell tidak mau, rasa sayangnya sudah terlanjut dalam, rasa cintanya sudah terpupuk sedemikan rupa dihatinya. Ya, Marcell suka dengan Resti. Berat hati, Marcell menidurkan Weeby di lantai, lalu punggung kecil cewek itu Marcell sandarkan di dinding. Menahan napasnya sesaat, Marcell menandingi Weeby dengan perasaan kasihan, wajah Weeby yang masih terlihat pucat masih saja terlihat oleh Marcell walaupun sekarang Weeby tengah menundukkan kepalanya. "Maafin gue By!" ucap Marcell getir, tapi kata itu hanya menggema di hatinya, lalu Marcell lekas kembali berdiri, menandingi pacarnya yang tersenyum semringah penuh arti. "Nggak usah ngurusin dia lagi, ikut gue!" Resti memegangi rahang Marcell dan menyentakkan agar tidak lagi menoleh ke arah Weeby, kemudian ia mengambil tangan Marcell dan menggenggamnya penuh eratan, detik selanjutnya Marcell sudah dibawa pergi. Namun, walaupun kakinya terus saja melangkah menjauh, namun sorot mata Marcell masih terpaku ke satu titik, mengedarkan pandangan dan menatap Weeby penuh dengan rasa bersalah. Salivanya sudah Marcell telan dengan susah payah, dari kejauhan seperti ini, Weeby malah terlihat sangat kasihan. Entah berupa alasan seperti apa yang akan Marcell lontarkan untuk menyangkal pertanyaan dari Erza nanti. Pasti sahabatnya itu akan bertanya keadaan Weeby. Setelah penglihatannya sudah tidak menangkap sosok Weeby, Marcell segera memalingkan wajah, menatap pacarnya yang masih berjalan dengan tergesa, raut wajah terlihat serius, Marcell tidak ingin bicara saat ini, sekadar untuk bertanya pada Resti mau membawa dirinya kemana, rasanya Marcell juga tidak ingin tahu. Sedari tadi dia hanya membuang napasnya dengan kasar dan panjang. "Kalo terjadi apa-apa sama Weeby nanti gimana?" tanya Marcell, walaupun sudah tidak ada jarak dengan cewek itu, Marcell masih saja memikirkannya. "Marcell, Weeby nggak ada di sini, ngapain sih lo malah mikirin cewek kayak dia? Di sini cuma ada gue, dan lo berani-beraninya nanya kayak gitu," dengus Resti tak suka dengan perkataan Marcell beberapa detik yang lalu. Apabila mendengar ada kata "Weeby" yang ikut terucap dari bibir Marcell, itu cukup membuat jiwa cemburu Resti bergetar. Hanya dengkusan napas berat yang keluar dari lubang hidungnya, Marcell berniat tidak mengeluarkan kata-kata lagi. "Sekarang lo nggak usah ngomong lagi, cukup ikutin gue aja, oke?" Mengganguk lemas, Marcell mengiyakan. Walau rasanya sulit, namun dirinya tidak boleh bertindak kasar pada Resti, yang kini berstatus sudah menjadi pacarnya. "Kita ke taman?" Marcell mendongak, bertanya pada Resti karena sekarang mereka berdua sedang berada di sana, Marcell menatap Resti penuh tanda tanya, salah satunya kenapa pacarnya itu membawa dirinya ke tempat itu. Resti mengangguk penuh antusias, senyumannya mengembang dengan sempurna dan hampir saja terlihat sobek. Resti kembali berjalan dengan langkah panjang-panjang, dikuti oleh Marcell dari belakang. Resti masih betah memegang lengan tangan Marcell dengan kuat, mau tak mau cowok itu juga ikut terseret ke sana. "Marcell, ayo duduk." Marcell mengangguk dengan kikuk, lamunannya seketika terbuyar, dengan sigap, ia mendaratkan b****g tepat di samping Resti yang sebelumnya sudah ditepuk sebanyak dua kali oleh cewek itu, Resti menginterupsi agar Marcell segera duduk di sana. Setelah mengambil posisi senyaman mungkin, Marcell tidak langsung menoleh menatap Resti, otaknya malah menjelajah bagaimana keadaan Weeby sekarang, apakah cewek itu baik-baik saja? Marcell diselimuti perasaan gelisah yang mendalam, memikirkan itu membuat hatinya semakin berkecamuk tak karuan. "Marcell, kenapa lo diam aja, ada gue disamping lo kalo lupa," ucap Resti, menyentuh telapak tangan Marcell, tak lama kemudian ia menggenggamnya begitu erat. Sekarang, jari-jemari kedua remaja itu saling bertaut. Hanya Resti yang menggenggamnya dengan kuat, sementara Marcell hanya melemas, membiarkan Resti melakukan apa saja, yang pasti, cewek itu senang melakukannya. Marcell baru menoleh setelah tiga detik ucapan Resti menggema di udara, lalu Marcell tersenyum samar, tidak secerah biasanya. Resti hanya mengerucutkan bibir sembari memutar malas kedua bola matanya, Marcell sangat berbeda dari biasanya, dan dalam benak Resti, ini semua karena Weeby si biang keroknya, karena dia, sang pacar menjadi seperti ini. "Marcell, lo sayang sama gue nggak sih?" Pertanyaan itu meluncur tanpa sebab, Resti hanya ingin sekadar bertanya, sekaligus ingin mendengar apa respons dari Marcell. "Kenapa lo malah tanya gitu?" Alis Marcell segera langsung terangkat. "Tinggal jawab aja, nggak susah, kan?" "Lo udah tau jawabannya, jadi gue enggak perlu buat jawab pertanyaan lo itu." Setelah berucap, Marcell kembali melamun. Satu hal yang membuat emosi Resti kembali memuncak. "Ish!" Resti mencebikkan bibirnya, lalu ia memilih melupakan itu. Resti sedang tidak ingin berdebat dengan Marcell. Kemudian, bel masuk mengisyaratkan bahwa semua siswa harus segera pulang ke kelas masing-masing, begitupula dengan dua remaja yang kini tengah bertahan di taman belakang. Tanpa sadari, mereka sudah duduk terlalu lama di tempat itu. "Udah masuk? Perasaan bel istirahat baru bunyi tuh," celetuk Resti, ia lalu menatap Marcell, tak lama setelahnya dengusan napasnya terdengar gusar karena lagi dan lagi Resti mendapati Marcell yang melamun. Seratus persen Resti yakin bahwa pikiran Marcell tertuju pada Weeby. "Marcell ayo balik ke kelas, udah masuk tuh." Resti menekankan kalimatnya, berharap agar Marcell segera sadar. Sesuai ekspektasinya, Marcell langsung mengerjap, "yaudah yuk." ucapnya singkat, dilanjutkan bangkit dari duduknya dan langsung melenggang menjauh, tanpa menoleh ke belakang bahwa Resti masih duduk di bangku taman. Resti diam, bukan tanpa alasan yang utuh ia melakukan itu, Resti hanya memastikan apakah Marcell akan berbalik badan dan menghampirinya, namun seketika wajah Resti sudah berubah murung, lalu ia berdecak dengan mantap, Marcell sama sekali tidak menoleh. Sungguh keterlaluan. Mau tak mau, dengan segenap hatinya yang semakin berat dan dongkol, Resti mengangkat bokongnya dari kursi kayu dan lekas menyusul Marcell yang tampak sudah mengecil dipandangan Resti. Resti tidak berniat untuk berlari dan menyeimbangkan langkahnya dengan Marcell, ia memilih untuk berjalan melambat. Bagi Resti, percuma saja mengejar kalau pikiran Marcell terus saja pergi entah ke mana. Di taman tadi, Resti sudah menahan amarahnya karena Marcell hanya membalas singkat kalau dirinya bertanya. Resti terus berceloteh, sementara Marcell hanya mendengarkan, itupun Resti masih meragukannya apakah Marcell benar-benar memasang telinga saat dirinya bercerita. Pintu kelasnya sudah di depan mata, Marcell segera masuk, sebelumnya, ia sudah mengatur napasnya kembali. "Cell, mana Weeby? Bukannya gue suruh lo buat nuntun dia ke sini? Terus, lo juga lama nggak balik-balik." Erza langsung menyerbu Marcell dengan rentetan pertanyaan, sebelumnya Marcell juga menduga seperti itu. "Weeby pingsan, wajahnya pucet. Jadi gue bawa dia lagi ke UKS," ucap Marcell, kemudian ia langsung berlalu dari Erza dan segera menuju bangkunya. "Oke, sip kalo gitu." Erza mengacungkan jempolnya, yang hanya ditanggapi Marcell dengan senyum singkat sembari menganggukkan kepala. "Mantap bro, nah ini baru Marcell yang gue kenal, menolong orang lain dan mengakui kesalahannya." Jempol lain juga turut melayang di udara, kali ini berasal dari Novan. Cowok itu tersenyum begitu lebar. Siapa sangka, perkataan Novan barusan sungguh menyentil hatinya. Nyatanya, apa yang dikatakan sahabatnya barusan sangat bertolak belakang. Sekarang Marcell jadi menyesal telah meninggalkan Weeby di sana. "MARCELL, LO KOK TEGA BAGET SIH?!" teriak Uti dengan nada suara sumbang, air matanya lolos. Entah dari mana tiba-tiba cewek yang sudah menjadi sahabat Weeby itu sudah berada didekatnya, tidak hanya itu, Uti juga sempat memukul bahu Marcell berulang kali bersamaan dengan Novan dan Erza yang langsung menoleh ke arah sumber suara itu. Marcell mencoba menghalau, tapi kelihatannya Uti bak seperti orang yang kesetanan, sungguh kuat, sampai pada akhirnya Marcell berdiam diri. Membiarkan Uti melampiaskan kekesalannya pada dirinya. Marcell sudah tahu apa yang dimaksud Uti, dan Marcell juga tidak heran kenapa Uti menangis seperti itu. "Gue sempet dengar pembicaraan lo sama Erza bahwa lo mau bantu Weeby balik ke kelas, tapi." Uti tidak kuasa menahan isakannya, ia menjada kalimatnya seraya satu cairan bening baru saja lolos lagi dari pelupuk matanya, Erza dan Novan sempat bengong, mencerna ucapan Utu lebih dalam, "tapi kenapa lo malah ninggalin Weeby waktu saat dia pingsan, gue juga nggak habis pikir, kenapa lo tinggalin Weeby di situ, lo sadar nggak sih kalo perbuatan lo ini sangat kejam? Kalo lo malu mau bawa Weeby ke kelas, seenggaknya lo bawa Weeby kembali ke UKS, bukan di lantai seperti itu." Uti menangkup wajahnya, tidak mau semua orang melihat air matanya yang turun. Terlihat dari sorot mata teman kelasnya terus menatap Uti dengan ekspresi bingung, mereka menyimak apa yang tengah terjadi. Walaupun belum lama bersahabat, tapi Uti sangat senang berada di dekat Weeby. Weeby sangat baik kepada dirinya. "Lo jahat Marcell, jahat banget, gue nggak nyangka lo ngelakuin itu. Gue tau, lo sama Weeby memang sering berantem. Tapi, apa lo nggak punya rasa kasihan sedikitpun?" Suara Uti semakin bergetar, namun tidak seberapa dengan jantung Marcell yang lebih berpacu dengan cepat. "Lo punya hati nggak sih?!" Uti memilih melangkah mundur, masih dengan keadaan sedih, kemudian ia terduduk di bangkunya lagi. Marcell melihat dengan sorot mata teduh ke arah Uti, sekarang cewek bertubuh gemuk itu sedang menidurkan kepalanya di atas meja. Setelah kepergian Uti, Marcell tidak langsung terbebas, nyatanya, Erza dan Novan sudah menatap ke arahnya dengan ekor mata yang tajam, setajam silet. "Gue denger dari kata-kata Uti, dia tidak mungkin berbohong, ngelihat tuh cewek nangis sesenggukan kayak tadi juga nggak bisa dielakkan lagi. Lo mau jelasin ke gue?" Marcell mendesah, mengangkat kepalanya ke atas, kemudian kontak mata terjalin begitu tajam antara dirinya dan Erza. Marcell hanya mampu melakukan itu, selebihnya ia mengunci mulutnya rapat-rapat. Memberi peluang bagi Erza untuk angkat bicara. "Lo diam? Gue rasa lo nggak mampu menjawab. Kenapa lo ngelakuin ini? KENAPA?!" Erza sudah tersulut, emosinya sudah bergejolak di ubun-ubun kepalanya, siap meluncur dan memberi ledakan besar. Tangan kekarnya kemudian mencengkeram kerah seragam Marcell dengan kuat. "Gue suruh lo buat apa, ha? Gue nyuruh lo supaya bantu Weeby pergi ke kelas karena kaki dia lagi parah. Kalaupun dia tadi pingsan, seenggaknya lo baringkan lagi dia di brankar UKS, enggak semena-mena lo letakkan di sembarang tempat, elo kira Weeby barang?!" Erza kembali berkata dengan keras, kali ini tepat di depan wajah Marcell, tangannya masih betah berlama-lama mencengkeram kerah seragam Marcell itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN