Walaupun terasa sulit dan menyakitkan batin dan pikiran, Weeby akhirnya bisa melalui tantangan itu. Ini sudah tiga hari, dan Weeby telah memakan obat sesuai perintah ayahnya tepat waktu.
Memang sangat menyiksa tubuhnya, tapi mau bagaimana lagi? Weeby sendiri takut jika tidak menurut pada ayahnya.
Weeby menghela napas frustrasi, mengatupkan kelopak matanya untuk merilekskan sebentar. Hentakan kaki di tanah terdengar, menciptakan suara yang menenangkan, saat bertepatan melakukan kegiatan itu, seseorang yang Weeby tunggu sejak sepuluh menit yang lalu akhirnya datang.
Weeby menangkap gestur tinggi cowok yang tengah berjalan. Cara dia melangkahkan kaki saja Weeby sudah bisa menebak dengan benar. Weeby memilih meredam emosinya, ia tidak mau terus menerus meluapkan api kemarahan, untuk sejenak Weeby kembali merapatkan matanya, berniat agar napasnya teratur seperti sedia kala, serta mendinginkan suhu kepalanya yang sekarang sudah sangat panas.
"Woy, gue di sini, lo malah enak-enakan tidur, dasar cewek aneh!"
Cowok itu berteriak, menampol pipi Weeby dengan sarkas, seketika Weeby kembali menelanjangi bola matanya, ia terkejut, cowok dihadapannya ini sungguh membuat jantungnya bergoyang heboh, padahal yang terakhir kali Weeby lihat sebelum memejamkan mata, cowok itu masih terpaut jarak yang cukup jauh dengannya.
Dan sekarang, detik ini juga, cowok itu sudah sampai dihadapan Weeby. Satu hal lagi yang membuat kepala Weeby kembali memanas adalah teriakan cowok itu yang sungguh diluar batas, keras dan menyakitkan telinga, apalagi ketika ditambah dengan tampolan pipi dengan tangan lebarnya, benar-benar nggak tahu diri. Udah terlambat, bentak-bentak pula.
"Gue nggak tidur anjir!" sanggah Weeby cepat, lalu ia mengisyaratkan cowok dihadapannya untuk duduk disampingnya karena ada yang mau Weeby bahas. Dan ini hal yang sangat penting.
"Terserah lo lah, cepetan lo mau ngomong apa, gue nggak ada waktu," bentaknya lagi, tak lama setelah kalimat itu lolos dari bibirnya, dia duduk disamping Weeby.
Weeby menggeleng cepat, "kenapa lo terlat? Lo udah janji bakalan tepat waktu, tapi apa buktinya? Molor sepuluh menit, kan?" Weeby mencibir, menatap cowok disampingnya ini lamat-lamat. Separuh gondok..
"Ya gue kan pacaran dulu sama Resti, cuma sepuluh menit, jarang loh orang pacaran cuma sebentar, mungkin gue rekor terbaru di dunia," ucap cowok itu, menyeringai senang, menunjukkan giginya yang berderet dengan rapi.
Weeby mengeluarkan napasnya dengan pelan, tidak habis pikir dengan cowok itu yang terkadang sangat aneh, sifatnya kadang nyeleneh, tapi tak lama kemudian balik lagi ke sifat aslinya. Menyebalkan!
"Terserah lo, yang penting gue mau ngomong sama lo, dan ini sangat penting!"
"Apaan? Palingan lo mau marah-marah gaje, kan? Basi By!" Marcell menjawab cepat, menyandarkan punggungnya di kursi, lalu menatap Weeby dengan pandangan remeh. Tidak lupa pula, lipatan tangannya didada sudah ia lakukan.
Lagi dan lagi Weeby menggeleng sesaat, "bukan itu, ini menyangkut tentang elo," jawab Weeby mulai serius, guratan wajahnya sungguh meyakinkan.
"Masalah utang tadi pagi, lo pikun atau hilang ingatan sih, gue udah bayar utang-utang gue, ya?!" Marcell berbicara dengan nada ketus dan setengah membentak, matanya melotot penuh wanti-wanti.
Memang kadang semenyebalkan seperti ini jika sudah berbicara dengan cowok ini, selalu saja menyerbu tanpa pikir panjang. Weeby selalu menyemburkan emosi kemarahan jika berhadapan dengan Marcell.
"Lo dengerin gue ngomong dulu bisa nggak sih? Dari tadi nyerocos mulu. Gue nggak bahas tentang utang lo maupun mau marah-marah sama lo," jelas Weeby setengah kesal, malas sebenarnya bicara dengan Marcell, Weeby hanya kasihan kepada cowok itu, tapi ketika menerima balasan dengan ucapan menyebalkan seperti itu mendadak Weeby menjadi sebal.
"Terus apaan yang mau lo omongin itu?" tanya Marcell.
"Makanya dengerin gue dulu."
"Lah iya apaan, orang lo-nya nggak mulai-mulai jelasin," dengus Marcell mulai kesal dengan Weeby.
Sesaat, Weeby memompa paru-parunya untuk mengambil udara sebanyak-banyaknya, tak butuh waktu lama, ia kemudian membuangnya dengan lega.
"Gue mau—" Entah kenapa bibir Weeby tampak susah untuk mengucapkan kata-kata, seolah sudah beku dan butuh lama untuk mencairkannya. Weeby memilin bibir tipisnya, menyapu wajah Marcell yang terlihat menunjukkan garis-garis vertikal dikeningnya, bingung.
"Mau apa?" Desak Marcell tak sabar, ia memperbaiki posisinya, kali ini lebih condong ke arah Weeby, entah apa yang akan dikatakan cewek itu, tapi Marcell sangat penasaran.
Weeby memejamkan matanya, kenapa jadi susah begini? Padahal ia sudah merencanakan semuanya agar tidak gugup. Apalagi melihat Marcell yang terus mendesak supaya Weeby segera melepas kata-katanya yang masih tertahan di lidah.
Namun, tidak segampang yang dipikirkan, Weeby sedang mengontrol detak jantungnya, rasanya sungguh sulit mengucapkan kata itu.
Setelah beradu monolog dalam benaknya, Weeby akhirnya mulai mengangkat suara.
"Cell, gue mau lo putus sama Resti," ucap Weeby, suaranya melemah.
Ada jeda diantara mereka, Weeby memilih memejamkan matanya sembari menggigit bibir bawahnya, sementara itu, Marcell terbengong akan ucapan Weeby, mulutnya sedikit terbuka, menciptakan gurat wajah yang sedang bingung.
Sedetik kemudian, Weeby mengangkat wajahnya, menatap penuh curiga pada Marcell, cowok itu sedang tertawa lepas. Weeby semakin dibuat bingung akan Marcell, padahal apa yang dikatakan Weeby sama sekali tidak ada unsur komedinya.
"Lo mau gue sama Resti putus?" Marcell memastikan, tetapi gestur wajahnya masih menyimpan gelak tawa seolah-olah apa yang dikatakan Weeby sangat tidak berfaedah.
Perkataan Marcell memang tak sepenuhnya salah, tentu saja Marcell melakukan hal seperti itu, bagaimana tidak tertawa kalau badai maupun petir disiang bolong tidak ada tanda-tanda untuk muncul, namun tiba-tiba saja Weeby menyuruhnya putus dengan Resti, terdengar aneh dan ambigu, bukan?
Weeby kemudian mengangguk sebanyak dua kali, pandangannya menatap sepatunya lurus-lurus.
"Kenapa tiba-tiba lo nyuruh gue putus dari Resti? Elo nggak ada berhak sama sekali buat nyuruh gue melakukan itu." Marcell berkata dengan nada suara remeh, lalu mengangkat alisnya ke atas, memandangi raut wajah Weeby lekat-lekat.
"Gue cuma ma—"
"Oh gue tahu, lo minta gue putus sama Resti karena lo naksir sama gue, ya? Lo nyuruh gue jadi pacar lo, gitu?"
Belum juga ucapan Weeby kelar, Marcell langsung menerjang begitu saja.
Dengan percaya diri, Marcell berbicara dengan lantang, seolah apa yang dikatakannya tadi adalah fakta sesungguhnya.
Mendengar itu, tentu saja Weeby tidak terima, ia mendengkus sebal seraya merotasikan bola matanya. Malas. Siapa juga yang mau pacaran dengan Marcell? Memang sejatinya Marcell terbilang memiliki muka diatas rata- rata daripada cowok pada umumnya, namun sifatnya itu kadang membuat jantung Weeby terasa seperti diremas.
"Bukan itu, gue cuma mau kasih tau ke lo kalo sebenarnya itu."
Sontak saja Weeby menelan kembali kata-katanya yang akan meluncur dengan bebas diudara, ia kembali menelan salivanya, menatap terheran ke arah Resti yang tiba-tiba datang dari depan.
Weeby menahan napasnya, ia tidak jadi mengucapkan kalimat yang sangat penting itu. Jika ia kembali melanjutkan kata-katanya, sudah pasti Resti akan menyela dan memaki dirinya.
Resti benar-benar pembuat kacau, sekarang Weeby jadi urung mengutarakan fakta itu, fakta yang sangat menarik untuk dibicarakan.
"Resti, kenapa lo di sini? Nggak pulang?" Marcell langsung menyerbu, lalu ia menatap Resti penuh tanda tanya.
Pandangan horor masih Weeby dapatkan dari Resti, seakan-akan Weeby adalah mangsa yang patut dimusnahkan hidup-hidup. Namun, dua detik kemudian Resti menoleh, dan berakhir pada wajah Marcell.
"Lo nggak pa-pa, kan?" Marcell bertanya lagi, kali ini terlihat ia sedang mengecek tubuh Resti dari atas sampai bawah. Setelah itu, helaan napas lega keluar dari lubang hidungnya.
Weeby yang melihat adegan drama dihadapannya itu lantas mendengkus sebal, bagi dirinya, Marcell terlalu berlebihan pada pacarnya. Oke, Weeby tidak berniat menggurui, namun tindakan Marcell itu sungguh membuat matanya sakit.
"Gue nggak pa-pa," Resti segera menepis tangan Marcell yang sedang memegang pundaknya, "seharusnya gue yang nanya gitu, lo kenapa ada di sini?" Sungut Resti dengan gertakan yang memekakkan telinga, bola matanya terlihat hampir keluar dari tempatnya. "Kenapa sama Weeby?"
Sejenak, Marcell menoleh pada Weeby, "Weeby yang nyuruh gue buat ketemuan," jawab Marcell jujur, jarinya menunjuk ke arah Weeby dan tepat ke arah wajah Weeby.
Resti tersenyum samar, tanpa bertanya sekalipun, Resti sudah tahu apa yang akan Weeby katakan pada Marcell.
"Berduaan? Emang mau ngomong hal apa?" tanya Resti seraya menunjukan mimik wajah polosnya, terlalu dibuat-buat hingga Weeby berdecak sebal.
Kepura-puraan Resti itu sungguh menyita perhatian Weeby, lantas dalam waktu bersamaan, ia tersenyum getir.
"Tau nih, tiba-tiba nyuruh gue putus sama lo, ya kali gue nurut," jawab Marcell sejelas-jelasnya, bola matanya menancap pada mata Weeby, senyumannya yang memperlihatkan ejekan juga turut ia keluarkan.
Sudah Resti duga sebelumnya, tidak mungkin juga jika Weeby meminta Marcell menemuinya tanpa ada maksud terselubung didalamnya, itu tidak mungkin terjadi.
"Dasar cewek ganjen, lo nyuruh Marcell putus sama gue biar lo bisa pacaran sama Marcell? Lo cemburu? Kalo cemburu itu bilang aja, jangan main kayak gini." Dalam satu tarikan napas, Resti berbicara berapi-api, sangat semangat dalam mengeluarkan kata-kata pedas seperti itu.
Merasa terhina dan jantungnya seperti diremas kuat-kuat, Weeby segera menyahut, "siapa juga yang mau rebut pacar lo, kalo nuduh biar ada buktinya, kalo tanpa bukti, bisa berujung fitnah," tegas Weeby diakhir kalimatnya. Sengaja ia tekankan agar Resti bisa tahu maksud dari Weeby melakukan itu semua.
Resti diam. Tidak bisa berkomentar, otaknya sudah kehabisan stok kata-kata, yang dilakukannya hanya mendengkus sebal sembari menyilangkan tangannya di depan dadanya.
"Marcell, lo harus percaya sama gue, dia ini nggak baik buat lo," pinta Weeby sambil menunjuk Resti, suaranya terdengar lantang. Resti langsung tersentak, menegakkan badannya, ekor matanya menghujam Weeby dengan gurat wajah yang siap menyemburkan lava panas.
"Emang lo lebih baik dan cantik dari gue? Nggak ngaca atau emang enggak punya kaca? Mikir pake otak!" teriak Resti dengan sarkas.
"Gue tau lo lebih cantik, tapi setidaknya hati gue jauh lebih baik daripada hati lo." Weeby tersenyum samar setelah ucapan itu meluncur bebas dari bibirnya.
"Cukup!" Marcell menyentak dengan tegas, jiwa tegarnya langsung keluar, seketika kedua cewek yang asik beradu ucapan itu langsung memutar kepalanya, menatap Marcell dengan kepala bingung.
Tatapan Marcell berkilat api, emosinya membludak akan tingkah kedua cewek dihadapannya ini, telinga Marcell sampai berdengung menangkap suara cempreng itu.
"Sekarang gue tanya sama elo By, apa tabiat lo nyuruh gue sama Resti putus?" Nada suaranya terkesan tidak main-main, pupil matanya membesar, rasanya tidak ada kata sabar dalam situasi kali ini. Marcell ingin segera menimbang jawaban Weeby
"Dia udah hamil, lo harus putus sama Resti, walaupun gue benci banget sama lo, tapi gue cuma kasihan sama lo, gue nggak mau lo diminta tanggung jawab dari cewek ini. Resti itu licik Marcell, lo harus percaya sama gue!"
Napas Weeby tampak ngos-ngosan setelah kata itu meluncur, wajahnya murung agar Marcell percaya pada perkataan. Weeby kali ini memang ingin baik pada Marcell.
Lagi dan lagi, telinga Weeby hanya menangkap suara tawa hambar yang berasal dari Marcell, sejurus kemudian tatapan mereka berdua kembali bertabtakan.
"Jelas itu, karena lo benci sama gue, lo minta gue putus sama Resti biar lo bahagia, kan? Kalau gue putus, lo yang seneng," ucap Marcell dengan lantang setelah tawa renyah itu lenyap dimakan angin. Ucapan Marcell itu juga dihadiahi Resti dengan anggukan kepala meyakinkan.
Lelah rasanya, namun Weeby masih mencoba bertahan, kini ia hanya mau membuka mata Marcell.
"Gue punya sesuatu buat lo, mungkin benda ini mampu membuat lo terperangah." Weeby kini beralih pada tas dipunggungnya, lalu mulai mencari benda itu untuk ia tunjukkan pada Marcell, ya walaupun ini bukanlah waktu yang tepat, namun kesabaran Weeby sudah habis.
Kini Resti yang terperenjak kaget, ia sudah tahu Weeby mau menunjukkan benda apa, pasti test pack miliknya, tatapannya kini langsung menoleh pada Marcell yang tampak penasaran apa yang akan Weeby tunjukkan.
"Udah mulai gelap nih, Marcell ayo anterin gue pulang, mama tadi udah nelpon, katanya nggak bisa jemput gue."
Resti memecah keheningan yang tercipta beberapa detik, Marcell terperangah akan ucapan sang pacar, lalu ia mendongakkan kepalanya ke atas. Benar saja, langit sudah mulai gelap.
Pergerakan Weeby juga terhenti oleh kata-kata Resti, Weeby tahu tipikal cewek itu, sudah bisa ditebak bahwa Resti mencoba menghalau Marcell agar tidak melihat barang yang akan diberinya ini. Tak kuasa, Weeby mencibir, niatan menunjukkan test pack itu ia urungkan, memasukan kembali ke dalam tas.
"Sori, gue nggak bisa lihat apa yang akan lo tunjukin itu, gue harus nganter Resti pulang."
Gestur raut wajah Weeby tampak datar, tidak mengangguk maupun berucap, ia hanya diam seraya menatap gerak-gerik kedua remaja dihadapannya ini yang mulai menjauh darinya.
Weeby kembali mendesah berat, ia sangat menyayangkan sikap Marcell kepada Resti, sangat berlebihan. Apalagi ketika terlihat Marcell sedang mengenakan jaket miliknya ke tubuh Resti yang kecil.
Ini bukan cemburu, melainkan Marcell terlalu terperdaya dengan Resti. Cewek itu terlalu pandai memainkan Marcell.
"Cepat atau lambat, rahasia lo bakal terbongkar Resti, gue bakal nunjukin test pack ini secepatnya."
Kata-kata sarkas itu hanya menggema bersama langkah kaki Weeby yang mulai beranjak dari taman itu. Langkahnya semakin cepat, bukan karena takut pada malam hari di sekolah, melainkan tiba-tiba saja Weeby teringat akan sosok ayahnya yang sangat benci kalau anaknya pulang terlambat, terlebih lagi sampai malam.