25. BUKTI YANG WEEBY PEGANG

2321 Kata
Pada detik kelima, Weeby segera mengerutkan keningnya, sudut matanya semakin menyipit, lalu ujung bibirnya sedikit terangkat ke atas hingga sebuah senyum sinis tercetak dengan jelas. Bolehkah Weeby tertawa sekarang? Jika boleh, Weeby akan melakukan hal itu. Aneh, satu kata yang mewakili seluruh kalimatnya yang tertanam di benak Weeby. Ya, Resti sangatlah aneh jika berpikir dongkol seperti itu. Untuk apa Weeby mendekati Marcell? Biar eksis dan terkenal karena Marcell terkenal seantero sekolah? Cuih, Weeby hampir muntah memikirkannya, tanpa Marcell sekalipun, ia sendiri juga sudah terkenal lewat wajahnya yang kelewat cantik ini. Weeby ingin mengeluarkan unek-uneknya, ingin sekali tertawa dengan nyaring mendengar kalimat heboh yang terlontar dari mulut Resti. Tapi anehnya, kenapa cewek itu bisa berpikiran nggak logis seperti itu? Weeby bahkan sama sekali tidak pernah mendekati Marcell, justru cowok itu yang selalu menghampiri dan memberi bekas luka lewat tingkah menyebalkannya itu. Weeby berdecih singkat, mengedarkan pandangan ke arah sekitar sebelum akhirnya menatap dengan lamat ke arah Resti lagi. Namun, hanya dua detik berangsur, Weeby sudah kembali ke satu titik semula. "Resti, boleh gue ketawa?" Intonasi suara Weeby terdengar sinis, sampai-sampai garis-garis vertikal terbentuk dikening Resti. Tak perlu menunggu jawaban dari Resti, Weeby sudah mulai melanjutkan kalimatnya, "gue nggak ngerasa kalo gue deket-deket sama pacar lo itu, bukannya justru malah kebalikannya? Marcell yang deketin gue." Weeby lantas mengangkat satu alisnya ke atas, ia ingin sekali membantah perkataan yang terlontar dari mulut nyiyir milik Resti. "Justru gue yang harusnya ketawa, lo yang ganjen. Mulai detik ini juga, lo nggak usah gangguin pacar gue lagi, ngerti?" Resti menggebu, sengaja ia menekan kalimat terakhirnya, mengucapkannya dengan tegas agar Weeby paham. "Tanpa disuruh sekalipun, gue nggak bakal gangguin pacar lo itu, sebaiknya, lo nasihati tuh Marcell supaya nggak usah gangguin gue mulu." Resti menggeleng dengan cepat, "pokoknya lo harus menjauh dari pacar gue, ini peringatan terakhir Weeby, kalo perintah gue lo nggak jalani, gue pastikan lo pulang nggak selamat." Resti tersenyum remeh, diancam seperti itu sama sekali tidak mempan, Weeby tidak takut dengan hal itu. Menurut Weeby, dirinya tidak perlu merasa takut dengan ancaman itu, posisinya di sini memang tidak salah. "Menjauh dari Marcell? Oh dengan senang hati gue menerima tugas dari BAGINDA PUTERI!" Weeby berujar setegas mungkin, apalagi pada saat menyebut dua kata terakhir, sengaja ia menekan seluruh tenaganya untuk mengucapkan kata itu, serta pelototan matanya terus ia hunuskan. "Oke, gue pegang janji lo." Resti melipat kedua tangannya dengan kesal, sangat kentara senyum bahagia menyelubungi bibir merah mudanya. "Jadi, sekarang gue boleh pergi, kan?" "Ya udah sana, nggak ada yang mengharapkan elo di sini," ujarnya dengan ketus, sementara Weeby hanya menanggapi dengan gerakan bibir getirnya seraya menggelengkan kepalanya berulang kali. Lima langkah sudah menjauh dari hadapan Resti, Weeby tiba-tiba dikejutkan dengan perkataan Resti selanjutnya, napasnya tertahan sebentar dilubang hidung, lantas Weeby kembali berbalik badan dan berjalan dengan langkah panjang-panjang menghampiri Resti. "Eh, elo ngapain baik lagi ke sini, sana pergi!" sentak Resti sekali lagi karena tiba-tiba saja Weeby muncul lagi dihadapannya. "Lo ngomong apa tadi?" Alis tebal milik Weeby hampir menyatu, ia ingin memastikan bahwa dirinya tidak salah mendengar. Mendengkus sebal, Resti memutar bola matanya semalas mungkin, lalu kembali menancapkan bola matanya pada sorot mata Weeby. "Gue suruh lo pergi, kurang jelas, ha?" "Bukan yang itu, sebelumnya lo ngomong itu," sergah Weeby cepat. Tidak mungkin juga Resti tidak ingat dalam jangkauan waktu sedekat ini. Sempat berpikir sejenak, kemudian detik selanjutnya Resti sudah ingat dan paham, kemudian ia tersenyum remeh. "Nah memang benar, kan? Cewek kayak lo mana cocok sama Marcell?" Bukan masalah cocok atau tidaknya, pikiran Weeby sama sekali tidak menjurus dengan hal itu. Satu hal yang membuat dirinya kesal dan frustrasi adalah Weeby tidak suka dengan perkataan nyeleneh yang Resti ucapkan itu, Resti sendiri seolah tidak bercermin saat mengatakannya dengan lancang. Weeby tahu, dirinya memang tidak cocok jika bersanding dengan Marcell atau malah menjadi pacar cowok itu, pemikiran mereka tidak selaras, selalu beradu dalam satu pertengkaran kecil. Namun, kenapa Resti bilang seperti itu? Memangnya dia sendiri cocok sama Marcell? Sama sekali tidak setuju, Weeby bertentangan dengan penuturan Resti itu. Resti justru malah tidak ada cocok-cocoknya dengan Marcell. Mungin saja mereka menjadi pasangan yang terdengar manis dan serasi, namun Weeby meragukan hal itu karena dirinya sudah tahu bahwa ada noda yang tertancap pada diri Resti. Resti bahkan lebih tidak pantas untuk menjadi pacar Marcell karena ia tengah mengandung anak dari mantan pacarnya itu. Siapa namanya waktu itu. Ah, Weeby ingat. Gama adalah nama mantan Resti yang sudah menghamilinya. Bukannya itu terdengar sangat menjijikan? Weeby tersenyum hambar, "gue emang nggak cocok, gue nggak serasi sama dia." "Ya bagus kalo nyadar, Marcell itu cocoknya sam—" "Tapi lo lebih nggak cocok lagi!" Ucapan Resti langsung berhenti diujung lidah, Weeby langsung menyela dengan ucapannya yang lebih keras. Resti menggeram, tangannya kini terkepal, Weeby sudah membuat emosinya meluap. Dari pancaran sorot matanya, Weeby juga melihat kemarahan Resti. "Lo berani ngomong gitu ke gue?" "Buat apa gue takut?" sahut Weeby ringan. Sungguh, lama-lama ia muak dengan cewek dihadapannya ini. Weeby bergerak maju satu langkah ke depan, wajahnya ia condongkan di depan wajah Resti, mendadak Resti diam, mengatupkan rahang kecilnya. "Lo itu benar-benar bikin gu—" "APA?!" Weeby langsung menyentak Resti, kembali memotong ucapan cewek itu, ia sama sekali tidak takut dengan Resti, seluruh amarahnya sudah meluap, namun detik berikutnya ia kembali berucap sewaktu Resti hendak melayangkan pukulan ke arahnya. "Lo mau nampar gue? Silakan aja, gue nggak takut," ucap Weeby serius, ia melihat Resti perlahan menurunkan lengan tangannya yang semula menggantung di udara dan hendak menampar dirinya. "Cukup sampai di sini, sekarang lebih baik lo pergi aja sebelum amarah gue tambah besar, memang nyatanya lo nggak cocok sama Marcell, kenapa lo marah-marah kesetanan gitu? Jijik banget gue lihatnya." Resti memaparkan ekspresi bergidik, lalu ia bergidik geli sembari menatap Weeby ragu-ragu. "Sekali lagi lo ngomong gitu, gue lakban mulut lo juga ya!" Weeby mengancam, jiwa ketegaran dan kemarahannya sudah berkumpul dan bersatu diraganya, entah kenapa Weeby ia berkata emosi seperti itu. "Nggak mau ngalah lagi nih anak, lama-lama gue kesel sama elo, dasar nggak nerima kenyataan. Kalaupun Marcell lebih suruh milih gue atau elo. Ya udah pasti Marcell milih gue lah, mana mungkin Marcell milih cewek buluk kayak lo ini." Sejenak, Weeby membiarkan Resti berkata lebih dulu, ia menyimpan emosinya serapat mungkin agar tidak menyembur keluar, ia ingin mendengar ucapan Resti selanjutnya. "Gue cantik, tajir, putih, mulus, terkenal, badan goals, mana mungkin Marcell nolak itu semua? Cowok di sini juga suka sama gue. Terus, kelebihan lo apa? Nggak ada!" Resti lantas tertawa dengan terbahak. Terpingkal begitu heboh, baginya sangat menyenangkan merendahkan orang lain seperti itu. "TAPI LO UDAH NGGAK PERAWAN LAGI, ELO UDAH HAMIL!" Weeby menukas dengan tajam, membuat Resti langsung pucat pasti di tempat, tubuhnya menegang. Bumi ini seolah berhenti berputar, langit juga sepertinya runtuh begitu saja saat perkataan Weeby menyela dan masuk ke dalam indera pendengaran Resti. Cewek itu tercekat, begitu shock ketika menerima kenyataan itu, kenyataan bahwa rahasianya sudah terbongkar oleh Weeby. Resti membisu di tempat, menatap Weeby dengan geram, pikiran-pikiran buruk sudah menyerang dan bersarang di otaknya. Resti mendadak limbung, ia terheran bagaimana bisa Weeby tahu soal itu. Di tempatnya, Weeby berkacak pinggang, lalu kaki kecilnya perlahan mulai maju, mendekat ke arah Resti yang hanya menggenggam telapak tangannya dengan rapat. Tertawa begitu sinis, Weeby senang bisa mengalahkan Resti seperti ini. Seolah tidak punya mulut, cewek dihadapannya itu tidak berani mengangkat suaranya, bibirnya juga sudah bergetar. "Kenapa diem? Terkejut karena gue udah tahu semuanya? Lama-lama, gue muak sama tingkah lo." "Tahu dari mana lo?!" Nada suara Resti terdengar nyolot, sangat kentara jika kemarahan besar sudah menyelubungi raganya. "Lo nggak perlu tahu itu, dan gue juga nggak berhak kasih tahu ke lo, lo itu benar-benar nggak punya malu Resti!" Resti semakin geram, tapi ia tidak bisa menjawab perkataan Weeby, apa yang dikatakan Weeby sama sekali tidak salah. Menatap Resti lurus-lurus, Weeby kembali berucap, "gue mau lo putus sama Marcell, lo nggak kasihan sama dia?" "Lo minta gue putus sama pacar gue?" Terdengar tawa hambar yang menghiasi bibir Resti, lalu dilanjutkan dengan decihan singkat dan putaran bola matanya, selang dua detik, Resti kembali berkata, "gue nggak bisa ngelepasin dia gitu aja." Tak menduga akan berujung seperti ini, Weeby tidak percaya dengan perkataan yang Resti layangkan, jantungnya terasa diremas. Jika Resti berpikir bahwa Weeby menyukai Marcell, itu adalah salah satu kenyataan yang salah besar, Weeby hanya prihatin kepada cowok itu. "Lo nggak seharusnya begitu, kalo Marcell tau lo hamil, apa reaksi dia?" "Ya mana gue tau, selagi Marcell nggak tau masalah gue hamil, semuanya bakal aman-aman aja tuh," ucap Resti sambil memainkan jari kukunya. Tampak tidak peduli dengan obrolan ini. "Gue yang bakal kasih tau Marcell, gue bakal kasih tau semua orang bahwa lo hamil!" Weeby mengancam, intonasi suaranya naik satu oktaf, ucapannya pun terdengar sangat sarkas. Seiring detik berjalan, Resti sekarang tidak takut sama sekali, ia bahkan bersikap normal, seolah masalah itu hanya sepele dan bakalan hilang dalam sekejap. Senyuman sinis kemudian terbit dikedua ujung bibir Resti, "coba aja, gue juga nggak percaya kalo Marcell bakal percaya sama lo, kecuali lo punya bukti yang kuat buat meyakinkan cowok gue." "Gue nggak habis pikir sama lo, tampang doang yang cantik, tapi hatinya busuk kayak bangkai tikus." "Bagus kalo lo nyadar gue cantik, emangnya elo?" Resti tersenyum mengejek. Akibat kepalan tangannya yang kelewat kuat, buku-buku tangan Weeby tampak memutih, rahangnya mengeras, giginya bergemelutuk seirama dengan napasnya yang memburu. "Seandainya kalo Marcell tau lo hamil, Lo mau ngapain? Suruh dia tanggung jawab, ha?!" Emosi Weeby sudah meluap, letupan lava yang berada dipuncak kepalanya siap menyembur. "Rencananya sih gitu, dia mana tahu gue hamil karena cowok lain? Gue nggak nyesel kalo Marcell seandainya jadi suami gue, dia ganteng, most wanted di sekolah ini, siapa yang mau nolak?" Tercipta perasaan gembira yang masuk ke raga Resti, hatinya menghangat, kalaupun semua orang tahu tentang kehamilan dirinya, Resti juga akan melibatkan Marcell sebagai pacarnya. "Lo yakin Marcell mau tanggung jawab? Kalau kenyataannya dia bakal ninggalin lo pas tau lo hamil gimana? Lo nggak mikir sampai situ?" Weeby masih mencoba memberi pertanyaan pada Resti, ia juga penasaran apa respons dari cewek itu. "Nggak perlu diragukan lagi, Marcell pasti mau tanggung jawab, dia belum pernah pacaran, masih amatir, gue pastikan dia bakal nurut sama permintaan gue." Sekian kalinya, Resti tersenyum penuh arti, sementara Weeby sudah menggeram frustrasi. Baru kali ini Weeby dipertemukan dengan manusia selicik Resti. Tatapannya terus beradu dengan cewek itu, Resti membusungkan dadanya ke depan, ia merasa menang segalanya dari Weeby. "Dasar licik," desis Weeby, air mukanya melengos ke samping, berusaha menyimpan amarahnya agar tidak meletup. "Bukan licik, tapi cerdik. Asal lo tau, gue juga sayang sama Marcell, bukan semata-mata buat mancing dia masuk dalam perangkap gue aja. Awalnya sih iya, gue nggak tertarik sama tuh cowok, tapi gue rasa dia perhatian, sikapnya manis, terlebih lagi Marcell ganteng banget, Gama juga kalah sama dia," jelas Resti panjang lebar, seolah dialah manusia paling makmur dipijakan bumi ini. "Gue harap nasib s**l menimpa lo. Ingat, perbuatan licik akan dibalas sama hal yang sama. Jika lo memainkan permainan bodoh, lo bakal dapat hadiah lebih bodoh lagi. Gue bakal coba kasih tahu Marcell soal ini," ucap Weeby pada akhirnya. "Coba aja sana, gue pikir itu nggak bakalan mempan. Marcell nggak akan percaya sama lo, lebih baik lo simpan aja tenaga lo, itu saran gue. Lagian lo sama Marcell tuh musuh bebuyutan, mustahil Marcell percaya sama lo. Kalau lo punya bukti sekuat baja, mungkin aja Marcell baru percaya. Tapi sayang, lo nggak punya bukti apa-apa. Duh, kaciaan banget sih?" Pada akhir kalimatnya, Resti mencoba memasang ekspresi memelas bahwa tampilan mimik wajahnya itu cocok untuk Weeby. Tak masalah jika Resti terus mengolok seperti itu. Dua detik selanjutnya, senyum miring Weeby langsung terbentuk. Resti tidak tahu bahwa Weeby mempunyai bukti yang cukup kuat, bahkan bisa terbilang seperti baja, persis apa yang dikatakan Resti. Sekarang, Resti memang boleh tertawa sepuas mungkin, Weeby tidak ada berhak untuk melarangnya, sorot matanya terus menghujam pada cewek dihadapannya yang masih tak mau berhenti terbahak. "Udah ketawanya?" tanya Weeby sinis, menaikkan satu alisnya, lalu tangannya terlipat di depan dadanya. Ekspresi Resti seketika berubah sepenuhnya, alisnya hampir tertaut, ia heran dengan sikap Weeby. Tapi, sebisa mungkin Resti menampilkan tampang biasa, seolah keadaan saat ini baik- baik saja. Walaupun Weeby sudah tahu, dari air mukanya, Resti sudah terlihat berpikir dengan tingkah dirinya. "Iya udah, gue udah puas, banget malahan. Lo mau ngalahin gue? Mimpi dulu sana biar kesampean, emang di sini siapa yang mampu ngalahin gue? Nggak ada, kan?" Terserah Resti mau mengucapkan kata seperti apa, Weeby sama sekali tidak peduli, itu tidak penting bagi dirinya. Berlomba dalam kelicikan? Siapa yang mau? Hanya Resti satu-satunya cewek di sekolah ini yang berani berbuat hal seperti itu. Memang dasarnya cewek itu banyak tingkah, udah salah, malah ingin mencari mangsa untuk targetnya. Dan Weeby tidak terima jika Marcell yang menjadi sasaran empuk cewek macam Resti ini. "Terserah lo, yang penting gue punya bukti kuat buat melawan lo." Setelah kata itu muncul, Weeby tersenyum bahagia, senyum yang terlihat ada sesuatu menurut Resti. "Emang apaan?" Jujur saja, Resti ingin tahu sekaligus penasaran. Weeby punya bukti? Tidak mungkiri, perasan Resti sedikit kacau dan was-was apabila memang Weeby berkata jujur, terlebih lagi jika bukti itu memang kuat. Namun, bersikeras Resti bersikap seolah tidak terlalu peduli walaupun rasa penasarannya kian menggerogoti raganya. Ada jeda yang tercipta diantara keduanya, saling diam beberapa saat, namun pada detik ke sepuluh suara Weeby menginterupsi lamuan Resti. Cewek itu mendongak, menatap dengan raut wajah bingung. "Gue bakal tunjukan bukti gue sekarang," kata Weeby sarkastis, lalu tangannya mengambil sesuatu dari saku roknya. Kali ini, ekspresi Resti tidak bisa dikendalikan lagi, ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat Weeby mengangkat sesuatu yang berada ditangannya tinggi-tinggi ke udara. Sesaat, Resti tercekat, jantungnya seperti diremas dalam satu waktu, hatinya tercubit, perasannya mulai tidak karuan, dan untuk terakhir kalinya, Resti menelan salivanya dengan susah payah. Mengerjap beberapa kali, Resti memang tidak salah lihat apa yang Weeby tunjukkan. Mulutnya sudah kehabisan kata-kata. Bukti yang Weeby perlihatkan memang sangat kuat. Namun, Weeby dapat dari mana? Sebuah test pack kini berada ditangan Weeby.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN