Wanita gila mana yang merelakan masa mudanya demi menikahi duda kaya raya?
Wanita gila itu adalah Siena. Gadis berusia 23 tahun tersebut sudah satu tahun ini resmi menjadi nyonya besar di rumah megah kediaman keluarga Pradipta.
Siena di minta ke dua orang tuanya untuk menikahi duda beranak satu demi kepentingan jabatan sang ayah. Ayahnya sudah lama menjadi seorang karyawan biasa, hingga akhirnya pria tua tersebut memiliki cara lain supaya jabatannya naik jauh lebih tinggi tanpa sogokan. Hendra memperkenalkan putri tunggalnya pada sang CEO, Angga Putra Pradipta yang usianya cukup terlampau jauh dengan Siena, yaitu 35 tahun. Entah takdir atau hanya kebetulan semata, Angga jatuh hati pada sosok Siena dan berakhir di pernikahan walaupun Siena sempat menolak, mengamuk hingga kabur dari rumah.
Pagi buta Angga sudah beberes hendak pergi ke kantor, hanya alarm yang membangunkannya. Pria itu bahkan menyiapkan semuanya sendiri, dari mulai setelan kerja, berkas-berkas, hingga sarapan. Tidak ada pembantu yang menginap, tukang bersih-bersih rumah hanya akan datang satu kali dalam seminggu. Itu karena Angga tidak suka jika ada orang asing di dalam rumahnya, terlebih lagi jika dirinya ada di rumah.
Siena masih sibuk menjelajah alam mimpi, gadis itu lebih pantas di sebut beban bagi Angga dari pada statusnya sebagai seorang istri. Pekerjaan Siena setiap hari tidak berguna, hanya tidur seharian di rumah, memasak untuk dirinya sendiri, berbelanja sesuka hati, pergi ke salon untuk mempercantik diri dan masih banyak hal lain yang tidak berguna ia lakukan.
Ina, adalah anak semata wayang Angga dengan mantan istrinya. Usianya kini sudah 13 tahun, kelas 2 SMP, sosoknya sangat pendiam, dan lebih suka mengasingkan diri di kamar dari pada ikut bersenang-senang dengan ibu tirinya.
Hubungan Ina dan Angga sudah tidak lagi harmonis usai perceraian dan Angga memilih untuk menikah lagi. Sedangkan hubungan Ina dan Siena, seperti dua orang asing yang tinggal serumah, tidak pernah berbincang, bahkan bertemu saja hanya sekedar menatap tanpa berbicara sepatah katapun.
Keluarga mereka sangat aneh, bahkan Siena dan Angga saja belum pernah berhubungan suami istri selama usia pernikahan mereka yang sudah menginjak satu tahun. Mereka hanya tidur satu ranjang, tidak lebih. Tidak ada keharmonisan di dalam rumah itu.
"Akh!" Teriak Siena sembari menutup matanya rapat-rapat usai melihat tubuh Angga yang hanya terbalut handuk tengah memilih setelan jas yang akan ia gunakan pergi bekerja.
"Kan aku udah bilang Om, ganti bajunya di kamar mandi aja. Jangan di kamar, mata aku kan jadi ternodai." Tegur Siena sedikit sebal, baru saja ia bangun tidur sudah melihat hal-hal yang membuatnya menelan salivanya susah payah. Kalau nanti tiba-tiba dirinya tergoda kan, bisa bahaya.
"Memangnya kenapa kalau saya ganti di kamar? Ini kamar saya." Balas Angga tanpa menoleh ke arah sang istri, ia terlalu fokus memilih dasi mana yang akan ia gunakan.
"Ini juga kamar ku." Sahut Siena lalu memalingkan badannya supaya tidak melihat pemandangan tubuh berotot sang suami.
"Memangnya kenapa sih, kalau lihat saya begini? Banyak lho perempuan di luar sana yang mengagumi bentuk tubuh saya yang bagus ini. Berotot, perut kotak-kotak kayak roti sobek. Wajah saya juga masih terlihat tampan, mereka bilang saya seperti aktor Hollywood." Cerocos Angga yang sukses membuat Siena langsung menoleh ke arahnya dengan cepat.
"Ouh, jadi selama ini sering ngumpul sama cewek-cewek? Cewek-cewek mana?" Sewot Siena menggebu.
Angga membalas tatapannya sembari tersenyum kecil nyaris tak terlihat.
"Gak pernah kumpul sama cewek-cewek." Jawabnya dengan santai.
"Lha itu, perempuan yang kamu maksud muji-muji kamu kayak aktor Hollywood siapa?"
"Enggak tahu," balasnya dengan polos. "Mereka yang saya temui di gim." Lanjutnya dengan ekspresi datar.
Siena berdehem pelan lalu kembali membelakangi sang suami.
"Kenapa ngomel kayak gitu? Marah? Cemburu ya?" Goda Angga yang membuat rasa kesal Siena semakin menjadi.
"Kapan aku ngomel?" Serunya tak terima.
"Tadi barusan, pas nanya siapa cewek-ceweknya."
"Itu gak ngomel, cuma nanya."
"Kok nada bicaranya gitu? Sewot, kayak bercampur sama emosi gitu."
"Enggak emosi, kamu-nya aja yang ngerasa."
"Cemburu?" Tuding Angga sembari tersenyum lebar menatap punggung kecil Siena yang masih saja membelakanginya.
"Aku?" Pekik Siena kembali menghadap, matanya langsung bertemu dengan netra indah milik Angga dan saling menatap satu sama lain. "Cemburu?" Sambungnya lalu tertawa hambar. "Enggak akan pernah." Imbuhnya dengan sok jutek.
"Ok." Balas Angga dengan acuh, itu adalah jawaban yang tidak ingin ia dengar.
"Nanti saya akan pulang cukup larut, kunci saja pintu utama. Saya punya kunci cadangan." Tutur Angga sembari memakai kemeja.
"Ok."
"Besok siang, saya akan ke Singapura untuk mengurus bisnis di sana. Tidak lama, hanya tiga hari saja, saya titip Ina ke kamu."
"Baik."
"Saya tidak akan meminta yang aneh-aneh, dan tidak akan menuntut kamu memperlakukan Ina bagaimana. Saya hanya ingin, kamu memastikan bahwa dia pulang sebelum larut, dan tidak ada luka di wajah atau badannya. Itu saja, yang lainnya, Ina bisa mengurus dirinya sendiri. Jadi, lakukan apa saja yang biasanya kamu lakukan setiap harinya. Jangan merasa terbebani."
"Sama sekali tidak terbebani." Jawab Siena dengan pelan.
"Baiklah, aku pergi kerja dulu. Sarapan sudah saya sediakan di meja makan. Hanya roti panggang isi selai coklat dan kacang, jika tidak mau makan, bisa kamu buang." Pamit Angga sembari merapikan pakaiannya lalu keluar kamar sembari menenteng tas kerjanya. Penampilan pria itu benar-benar sangat berkharisma, Siena akui hal itu.
"Jam berapa sih?" Siena menoleh ke arah jam Beker yang berada di meja kecil samping tempat tidur.
"Baru jam setengah 7, buru-buru amat udah mau pergi kerja." Gumamnya mengomentari sang suami.
Siena beranjak, keluar dari kamar menuju ke meja makan. Ia melihat ada dua gelas s**u hangat dan dua potong roti isi selai coklat dan kacang. Selalu saja yang menyiapkan sarapan Angga, Siena bahkan tidak tahu kapan pria itu terbangun dari lelap. Sepertinya pagi buta.
"Sarapanmu." Seru Siena usai melihat Ina baru saja melewati ruang makan, dengan cepat Siena menyambar segelas s**u hangat dan sepotong roti panggang buatan Angga lalu keluar dari ruang makan untuk mengejar Ina.
"Ina!" Teriak Siena cukup keras, menghentikan langkah Ina yang sudah berada di ambang pintu.
"Ini sarapanmu." Ucapnya dengan lembut.
Ina hanya menoleh sebentar, tanpa menjawab gadis kecil itu langsung keluar dari rumah menghiraukan Siena yang masih mematung di tempat.
Selalu saja seperti ini, setiap pagi dirinya harus terburu-buru mengingatkan sarapan, tapi berakhir di acuhkan.
Siena meminum segelas s**u yang ada di tangannya, setelah kandas baru ia menyumpal mulutnya dengan roti bakar buatan sang suami.
"Sepertinya, dia tidak suka padaku." Gumamnya sembari berjalan kembali ke ruang makan.
"Memang seharusnya begitu, memangnya ada seorang anak yang suka sama ibu tiri?" Siena mulai berbicara sendiri.
"Ibu tiri kan terkenal jahat, kejam dan cerewet."
"Tapi aku tidak jahat, aku juga tidak kejam. Aku baik hati seperti ibu peri."