Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 2
Mataku tak jua terlelap. Pikiranku penuh sesak tentang cara bagaimana lagi agar bisa bertahan hidup setelah ini. Tak mungkin jika terus mengandalkan pemberian mertua saja sementara kami hanya berpangku tangan.
Kutatap tubuh suamiku yang tengah terlelap. Seandainya kamu tak sakit begini, Mas, mungkin aku tak perlu bersusah payah memikirkan cara untuk kita bisa bertahan hidup. Kamu akan tetap giat bekerja seperti biasa sedang aku menunggumu bersama anak-anak di rumah dengan sajian lengkap di atas meja makan.
"Cepat sembuh, Mas," ucapku mengusap lembut wajahnya dengan jemariku. Jika dulu kami selalu menghabiskan malam dengan bertukar pikiran sebelum terlelap, maka sudah enam bulan ini kuhabiskan malam hanya dengan menatap wajahmu.
"Kita akan berjuang sama-sama, Mas," ucapku kemudian yang menimbulkan pergerakan dari bulu matanya.
Tanpa aba-aba mata itu terbuka. Ia menatapku dalam yang sedang beruraian air mata. Tatapannya tajam ke arah wajahku, dan menunjukkan bahwa ia sangat merasa bersalah atas keadaannya kini.
Aku yang menyadari arti tatapan mata itu segera tersenyum.
"Aku baik-baik saja, Mas. Cepatlah sembuh agar kita bisa jalan-jalan seperti dulu lagi," pintaku dengan suara parau. Menutupi isakan dengan lengkungan bibir yang kupaksakan.
Mata itu mengerjap beberapa kali, kufahami bahwa itu adalah respon ketika ia kuajak berbicara. Sejurus kemudian bibirnya seperti hendak digerakkan, namun tetap tak bisa bergerak, kaku.
"Jangan dipaksakan Mas, santai aja agar otot Mas Bima tidak kaku," ucapku sambil tetap mengusap wajahnya. Wajah tampannya kini berubah menjadi lebih tirus. Namun tetap tak mengurangi kesan tampan dari wajahnya. Warna tubuh yang dulu kecoklatan, kini berubah menjadi lebih putih dan bersih. Bagaimana tidak, ia hanya menghabiskan tiap harinya di dalam ruangan. Berbeda dengan dulu yang masih bekerja sebagai pegawai pabrik.
"Sudah, Mas Bima tidur saja," ucapku dengan tangan yang melingkar di atas perutnya. Merasai hangat tubuh yang dulu menjadi candu bagiku. Sekarang hanya mampu memberi kehangatan saja tanpa mampu membalas pelukanku.
Mata itu mengerjap kembali sebagai isyarat bahwa ia setuju dengan ucapanku, lalu kembali tertutup. Kupaksa juga mataku untuk terlelap agar esok bisa berpikir dengan jernih mengenai cara kami bertahan hidup selanjutnya.
Pagi telah kembali datang. Segala rutinitas kembali memaksa diri untuk bangkit dari peraduan ternyaman. Setelah salat subuh aku sudah berkutat dengan kepulan asap dari atas kompor yang mungkin sebentar lagi gasnya akan habis. Dan aku tak tahu harus kemana mencari pinjaman sementara aku belum mendapatkan pekerjaan.
Sebutir telur yang kusulap menjadi beberapa bagian siap disantap oleh kedua putriku, sebagai pengganjal perut sebelum ia berangkat menimba ilmu. Nasi yang kubuat seperti bubur tak menjadi alasan mereka menolak makanan yang kusajikan.
"Bu, kakak berangkat dulu, ya?" pamit Danisa setelah menyelesaikan sarapannya.
"Iya, tunggu sebentar Kak, ibu ambilkan uang saku dulu," ucapku menghentikan langkahnya.
Aku segera berbalik menuju kamar tidur untuk mengambil beberapa lembar uang untuk bekal Danisa. Namun aku tercekat saat mendapati uang dalam dompetku hanya tersisa sepuluh ribu saja. Segera kuambil uang itu lalu kutunjukkan pada Danisa.
"Kak, Ibu hanya ada uang sepuluh ribu saja, tunggu sebentar ya biar Ibu tukarkan di warung?"
"Nggak usah, Bu. Danisa nggak bawa uang saku nggak apa-apa, biar buat pegangan ibu saja."
"Sungguh Kakak nggak apa-apa tak bawa uang saku?" tanyaku tak percaya.
"Tak apa, Bu. Danisa sudah kenyang, tak perlu jajan di sekolah," jawabnya seraya meraih tanganku untuk diciumnya.
Setelah berpamitan padaku, Danisa masuk ke kamar ayahnya. Ia juga meraih tangan lemas ayahnya untuk diciumnya.
"Yah Danisa berangkat dulu, ya? Assalamu'alaikum."
Tanpa melihat reaksi ayahnya, Danisa balik keluar pintu untuk berangkat ke sekolah, sedang aku hanya terpaku melihat sikapnya yang tak pernah berubah semenjak ayahnya terbaring. Ia selalu memperlakukan ayahnya layaknya sang ayah masih sehat, selalu berpamitan ketika akan berangkat ke sekolah. Ah anakku, terharu aku dibuatnya.
Sementata Kirani masih asik dengan buku gambar dan pensil warnanya. Sebaiknya kutinggal memandikan ayahnya lebih dulu.
Segera kuambil air hangat yang sudah kudidihkan sejak tadi, lalu kutuang dalam ember kecil dengan waslap didalamnya.
Kuhampiri Mas Bima dalam kamar kami, perlahan kubuka bajunya dengan hati-hati. Sebenarnya tubuh Mas Bima terlalu berat untukku jungkir sendiri, namun aku tak berhenti berusaha dan terbukti walau harus mengeluarkan semua tenaga yang kumiliki, aku mampu melepas bajunya setiap hari.
"Mandi dulu, ya Mas."
Dengan pelan kuseka tubuhnya agar segar dan bersih. Lalu kubaluri dengan handuk agar tubuhnya kering sempurna. Aku yakin dengan memberikan perawatan seperti ini, keadaannya akan semakin membaik. Setelah kami berusaha cukup keras untuk membawanya berobat kesana kemari, kini saatnya kami berdoa agar kesembuhan segera datang menghampiri.
"Mbak Darmi, saya cuma punya uang sepuluh ribu saja, apa boleh minta beras sama mie goreng, juga tepung? Nanti kurangnya saya bayar saat sudah ada uangnya." Kubuang rasa maluku agar asap dapurku tetap mengepul. Bayangan keceriaan dua gadis kecilku terbayang dipelupuk mata manakala ego lebih tinggi dari kebutuhan.
"Kapan kamu punya uangnya? Kalo ngga kerja gitu?" jawab Mbak Darmi sinis.
Aku hanya mampu menunduk, sebab apa yang ia bilang memang benar adanya. Hendak menjanjikan waktu namun aku sendiri tak tahu pasti kapan rejeki itu datang menghampiri.
"Saya akan cari kerjaan Mbak," jawabku akhirnya.
"Mau kerja dimana Mbak Dewi?" tanya Arum yang sedari tadi duduk bersama Mbak Darmi, tetangga depan rumahnya.
"Belum tahu, Rum. Mungkin nanti setelah Danisa pulang sekolah aku baru cari kerjaan."
"Memangnya mertuamu nggak ngasih jatah lagi?" tanya Mbak Darmi penuh selidik. Sudah seperti presenter gosip saja, mau tau segala urusan orang lain.
Tak ada niatan untukku menjawab pertanyaan Mbak Darmi. Biarlah hal itu menjadi urusan pribadi kami saja, toh aku sendiri tak tahu kapan ibu mertua akan memberi kami uang lagi. Aku juga tak mungkin datang untuk meminta.
"Mbak Dewi bener mau kerja?" tanya Arum lagi.
"Iya, Mbak."
"Mau ikut kerja sama saya?"
"Kerja apa, Rum?"
"Enak kerjanya, ngga bikin capek tapi uang cepat mengalir asal kamu mau saja membantu mereka," jawab Arum ambigu.
"Melayani? Maksudnya?" Keningku berkerut, sulit mencerna apa yang dikatakan oleh Arum.
"Halah kamu itu kayak nggak tahu saja, Arum ini kerjanya di kafe, nemeni om-om yang lagi j****y itu." Mbak Darmi mencebik sambil menatapku. Mungkin ia faham bahwa aku tak mungkin menerima tawaran Arum.
"Kalau nggak mau ya sudah, nggak apa-apa. Tapi kalau mau kamu bisa datang ke rumah nanti malam."
"Makasih Rum, tapi saya nggak bisa kerja yang begituan."
"Halah Mbak Dewi, kalau lagi kepepet kebutuhan yo nggak apa-apa, daripada anaknya nggak makan!" Arum pun turut mencebik menatapku.
"Wi! Dewi!!"
Ada seseorang yang memanggilku. Segera kuikuti arah suara itu berasal. Seorang laki-laki tergesa-gesa berlari menuju tempatku berdiri.
"Ada apa Mas Halim?" tanyaku penasaran. Seperti ada sesuatu yang penting hingga ia lari sambil berteriak.
"Anakmu Wi!"