Bab 12

1135 Kata
Bab 12 "Ssstt! Jangan keras-keras, Rum! Saya tak mau tetangga tahu bahwa saya kerja ikut kamu!" bisikku. "Ealah, Mbak. Ya biar mereka tau, toh mereka juga nggak mau bantu kan? Yang penting kita nggak minta makan sama mereka!" "Saya malu, Rum! Dan saya nggak bisa lagi kerja ikut kamu, saya minta maaf," ucapku memohon. "Nggak bisa asal keluar gitu aja dong Mbak! Kalau Mbak Dewi asal keluar sama aja dengan Mbak mencoreng nama baik saya di depan mami. Yaa minimal sebulan lah, baru nanti Mbak Dewi pamit baik-baik sama mami." Ucapan Arum bak petir di siang hari. Tubuhku mendadak gemetar hebat. Keringat dingin mengucur dari kening dan tanganku. Tak pernah ku berpikir akan serumit ini jadinya. Sungguh tak terbayangkan olehku harus berada di ruangan seperti kemarin. Jika bernasib baik bisa bertemu dengan orang seperti Tuan Bram, namun jika bernasib buruk, maka aku harus bekerja sesuai dengan apa yang dilakukan Arum pada pelanggannya. Ya Allah cobaan apalagi ini? Aku berjalan dengan langkah gontai. Menyusuri jalanan dengan pandangan nanar dan perasaan berkecamuk. Sebulan itu bukan waktu yang sebentar, cukup lama untukku sanggup berada dalam lingkungan mengerikan seperti itu tiap malam. Tak terbayangkan bagaimana aku sanggup melalui hari-hari dengan bayangan mengerikan dalam gedung tersebut. Apa yang harus kulakukan agar aku bisa keluar dari belenggu yang mengerikan ini? Pada siapa aku harus memohon untuk bisa melepaskan diri ini dari jerat dunia malam? Lagi-lagi aku harus menelan cobaan ini sendiri. Kuhembuskan napas lebih dalam, membuang segala rasa yang menyesakkan d**a. Perlahan terbit keyakinan dalam diri bahwa pasti akan ada jalan keluar untuk lepas dari kemelut masalah ini. Semoga saja. "Mbak Dewi ...," panggil seseorang saat aku hendak masuk ke halaman rumah. Aku lantas berhenti, menunggu seseorang itu memangkas jarak dengan sedikit berlari ke arahku. Sambil menunggu jarak kami kian dekat, kuhirup udara sore hari ini yang sedikit terasa segar karena mendung menyelimuti langit. Cukup bisa membuat pikiran dan hatiku kembali merasa tenang. "Mbak Dewi makasih ya kemarin sudah bantu aku, alhamdulillah anak-anakku bisa makan berkat bantuan Mbak kemarin," ucap wanita di depanku yang tak lain adalah Feni. Ia berdiri di hadapanku di depan pagar rumah milikku. Rumah yang dibeli Mas Bima lima tahun yang lalu. Selarik senyum terkembang dari bibirku. Turut merasa bahagia atas apa yang diceritakan olehnya. Sungguh tiada yang membahagiakan selain melihat senyum yang terkembang dari bibir buah hati tercinta. Bisa kubayangkan pada keluargaku, saat anak-anakku makan dengan lahapnya dan setelahnya bermain dengan tenang karena perutnya sudah terisi penuh. "Alhamdulillah, Fen. Saya senang bisa bantu kamu," ungkapku tulus. "Iya, beruntung banget Mbak Dewi mau bantu aku. Oh iya, ini kubawakan makanan untuk Mbak," ucapnya sambil mengangsurkan rantang ke tanganku. "Waaah terima kasih ya? Kamu repot-repot bikin makanan buatku padahal aku tulus bantu kamu," jawabku sungkan. Meskipun begitu tetap kuterima pemberiannya untuk menghargai perasaannya. "Nggak apa-apa, Mbak. Ini adalah ungkapan terima kasihku pada Mbak Dewi." "Sekali lagi makasih ya, Fen." Lagi aku berucap. Lantas Feni pamit kembali pulang, menyelesaikan pekerjaan yang masih terbengkalai di rumahnya. Saat aku hendak kembali berjalan, kembali sebuah suara menghentikan langkahku. "Wi, gimana kabar anakmu?" tanya Mbak Sari, istri Mas Halim. Urung aku melangkah, sejenak meladeni obrolan mbak Sari yang sudah seperti saudara sendiri. "Alhamdulillah baik, Mbak. Sudah lebih baik dari kemarin. Doakan saja semoga segera diizinkan pulang oleh dokter," pintaku tulus. Mendengar apa yang ditanyakan oleh Mbak Sari membuatku kembali mengingat kekurangan biaya rumah sakit Rani. Ah tak Kau biarkan kah sejenak hatiku merasa bahagia wahai Sang Pemilik Kehidupan? "Alhamdulillah kalau sudah lebih baik. Insya Allah kalau Rani sudah pulang, tetangga sini mau jenguk," ungkap Mbak Sari. "Alhamdulillah, makasih, Mbak. Saya permisi dulu," pamitku. Aku lantas meninggalkan Mbak Sari untuk masuk ke rumah. Tenggorokanku sudah sangat kering, aku butuh air untuk melegakan dahaga ini juga untuk membuat kepala yang panas ini kembali terasa dingin. Aku masuk ke dalam rumah saat Danisa sedang menyapu. Rumah sederhana dengan dua kamar di dalamnya membuatnya tak berat membantuku menyelesaikan pekerjaan rumah saat aku sedang ada keperluan. Terbiasa membantu sehingga tanpa kuminta pun saat aku sedang sibuk ia pasti akan melakukannya. Sungguh cobaan hidup lebih banyak memberikan pelajaran untukku dan kedua anakku untuk menjadi lebih mandiri. "Bu, kapan adek boleh pulang?" tanya Danisa setelah selesai menyapu. Ia menghampiriku saat aku sedang menyiapkan makanan pemberian Feni di atas meja makan. "Insya Allah besok pulang, Mbak. Doakan saja semoga keadaan adikmu segera membaik." "Semoga segera diizinkan pulang oleh dokter. Rumah sepi tanpa adek," imbuhnya lagi. Danisa lantas duduk di ruang tengah, menyalakan televisi. "Mbak, hari ini nggak usah ikut nenek ke rumah sakit, Mbak bantu ibu di rumah aja ya, jaga ayah? Ibu harus kerja nanti setelah magrib," pintaku tanpa menghadapnya. Aku masih sibuk menyiapkan makanan untuk makan malam Danisa juga ayahnya. "Ibu kerja apa? Kenapa berangkatnya setelah magrib?" sahutnya. Ada nada penasaran dari ucapannya dan itu kuanggap sebagai pertanyaan yang wajar karena anak seusianya punya pemikiran yang kritis. Tak langsung kujawab, sejenak aku berpikir jawaban apa yang pas untuknya. Karena tak mungkin juga aku bilang bahwa ibunya adalah seorang pemandu karaoke sekaligus melayani tamunya. "Bu? Kok nggak jawab?" tanyanya lagi. "Eh iya. Itu ibu emm ... kerja di kafe, dan mendapat bagian shift malam," ujarku akhirnya. Ada sedikit nada khawatir setelah aku berhasil menjawab pertanyaan Danisa. Takut jika ia akan bertanya lebih banyak lagi. "Shift malam?" tanyanya memastikan. Selesai menata makanan, kuhampiri ia di tempatnya duduk. Agar obrolan kami tak terjadi salah paham, lebih baik dibicarakan dengan jarak dekat. "Ibu kerja seadanya Mbak, yang penting cepat mendapatkan uang agar bisa membayar biaya rumah sakit adekmu. Kita butuh uang cepat, Mbak," jelasku pelan. Usianya sudah hampir menginjak remaja, tak salah jika sedikit saja kuberi gambaran atas kesusahan yang menimpa keluarganya. Agar ia memiliki rasa prihatin terhadap keadaan orang tuanya. Meskipun ia sudah menunjukkan sikap pengertiannya selama ini. Tanpa menjawab lagi, Danisa hanya diam. Menyaksikan acara televisi yang menurutku hanya dinyalakan agar rumah terasa ramai, bukan karena ingin. "Setelah biaya rumah sakit adekmu terpenuhi, ibu akan mencari pekerjaan yang lebih baik. Yang nggak pakai sistem shift agar tiap malam bisa nemanin kamu dan adek." Kuraih tangannya dan kugenggam erat. Tak hanya Danisa yang butuh penjelasan, aku pun butuh seseorng yang bisa menjadi tempat berbagi duka. Dan tak elok jika anakku menjadi tempat berkeluh kesah ibunya atas permasalahan yang sedang dihadapi. Apalagi menyangkut pekerjaan yang menurutku jelas akan membuatnya malu jika ia mengetahuinya. "Baiklah, ibu hati-hati kerjanya." Danisa melepas pegangan tanganku dan pergi ke dalam kamarnya. Aku tahu hatinya sedang tidak baik saat ini. Entah ia merasa atau bagaimana yang jelas aku maklum. Kuabaikan sikap Danisa, berganti kembali merawat suamiku yang sedang terbaring tak berdaya. Kusiapkan sepiring makanan untuk kubawa ke kamarnya. Lelah sebenarnya, tapi aku sadar ini ibadah. Ibadah terpanjang dalam hidupku. "Mas," sapaku saat aku sudah berada di hadapannya. Kubangunkan ia dengan kuusap lembut pipinya. Perlahan mata itu terbuka, lalu kubantu ia untuk duduk di kursi roda yang kubeli dari Feni.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN