Bab 10 Bimbang

1088 Kata
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 10 "Bu dipanggil Mbak Arum itu dibelakang," ucap Danisa. Ia sesekali menoleh ke belakang, melihat betapa Arum berusaha memanggilku. Sengaja aku tak mau menoleh, aku tak ingin Arum membahas masalah apapun di depan Danisa, terlebih soal pekerjaan. "Sudah biarkan saja. Kalau butuh sama ibu biar Mbak Arum datang ke rumah." Ku percepat langkah sambil terus menggandeng tangan Danisa hingga kami sampai di depan rumah. "Cepat siap-siap ke sekolah, Nak. Biar nggak kesiangan," ucapku setelah membuka pintu rumah yang ternyata tak dikunci. Mungkin Mas Halim baru saja melihat kondisi Mas Bima sehingga pintu rumah tak dikunci. Tanpa menjawab lagi, Danisa segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap untuk ke sekolah. Sementara aku pergi ke dapur untuk meletakkan nasi yang sudah kami beli setelah turun dari angkutan umum. Lalu menjarang air lebih dulu untuk menyeka tubuh Mas Bima sebelum aku melihat kondisinya di dalam kamar. Panci berisi air sudah duduk manis di atas kompor. Harus menunggu beberapa saat untuk membuatnya mendidih. Sejenak aku duduk di kursi ruang tengah. Menyandarkan kepala pada sandaran kursi yang sudah tipis. Merasai nyeri badan juga nyeri hati yang masih belum menemui ujungnya. Lelah. Kupejamkan mata sejenak, betapa tubuh ini rapuh. Hati ini hampa. Pikiran terasa penuh sesak memikirkan segala cara untuk menghadapi masalah ini. Sebenarnya tak cukup jika hanya bersandarkan sandaran kursi usang, hati dan pikiranku juga butuh sandaran untuk berbagi beban. Bisa saja kubagi rasa ini pada Mas Bima, namun aku tak mau membuatnya semakin terpuruk. Sebab rasa frustasi, kesal juga marah bisa saja semakin memperlambat kesembuhannya. Pada mertua pun tak mungkin aku berkeluh kesah. Ia hanya seorang janda yang tinggal bersama anak sulungnya, Mas Seno. Jika aku tak bisa memuliakan, tak mungkin aku menambah beban di pundaknya. Cukup baginya berbagi uang pensiunan kepada keluarga kecil kami juga membantuku menjaga Rani di rumah sakit. Sementara aku yang wira-wiri bekerja juga mengurus Mas Bima. Semoga Allah selalu menganugerahkan tubuh dan jiwa yang sehat padaku. Seandainya saja ada ibu dan bapak ku ada di sini, mungkin aku tak akan merasa semenderita ini. Mereka akan dengan senang hati membantu merawat juga memberikan solusi yang terbaik. Namun apa daya, jarak yang terbentang jauh juga alat komunikasi pun aku tak punya, apalagi pergi berkunjung ke sana. Tak ada jatah uang untuk kubagi juga untuk biaya perjalanan. "Bu Danisa berangkat," ucap Danisa mengagetkanku. Menyadarkanku dari buaian rasa sakit tak berujung yang sedang menimpa diri. Sungguh, nikmat Tuhan berupa ujian ini membuatku tak henti mengingat dan memohon ampunanNya. "Sarapan dulu, Nak." Aku bangkit untuk mengambil nasi yang kuletakkan di atas meja. "Baik, Bu." Tanpa banyak bicara Danisa menerima uluran piring dan sendok yang kusodorkan. Ia duduk di kursi yang ku tempati untuk menikmati sebungkus nasi dengan lauk sederhana. Jika kemarin aku hanya mampu membeli sebungkus nasi untuk makan berdua, maka kali ini aku sengaja membeli dua bungkus. Agar Danisa bisa makan dengan kenyang. Kubiarkan Danisa menikmati sarapannya sementara aku beranjak menuju kamar tempat Mas Bima beristirahat. Perlahan kubuka pintu kamar hingga memberi celah untukku melihat kondisi Mas Bima. Kasihan sekali kamu Mas. Harusnya kamu memiliki sebuah alat untuk memudahkan berpindah tempat agar tak jenuh berada dalam kamar seharian. Namun apalah daya jika belum ada yang bisa kugunakan untuk membeli. "Mas, aku sudah pulang." Kuusap pelan pipinya agar ia sadar dari tidur lelapnya. Tak butuh waktu lama, mata itu bergerak kemudian terbuka perlahan. Pelan namun pasti mata itu terbuka kemudian menatapku dalam. Ada sebuah rasa yang tersirat dari sorot mata cokelatnya dan kupahami bahwa itu adalah rasa khawatir atas apa yang menimpa keluarga kami. "Apa Mas? Rani sudah membaik, Mas Bima jangan khawatir," ujarku sambil duduk di sisi ranjang, tepat di sebelah tubuh Mas Bima. Kupaksakan wajahku yang letih untuk sekedar tersenyum di depan Mas Bima, agar ia mengira bahwa semua baik-baik saja. "Buu ... Danisa berangkat," ucap Danisa di luar ruangan yang membuatku segera bangkit dari sisi ranjang Mas Bima. Sesaat kemudian ia sudah sampai di hadapanku di dalam kamar ayahnya. "Hati-hati ya Nak," ucapku seraya mengulurkan tangan untuk diciumnya. Kemudian Danisa berganti meraih tangan ayahnya untuk diciumnya. Kuikuti tubuh Danisa hingga keluar kamar. Hendak menyaksikan putriku yang dulu kutimang dan kusayang sepenuh hati kini sudah beranjak dewasa berangkat ke sekolah. Lebih tepatnya terpaksa dewasa atas keadaan yang menimpa keluarga kami. Tak lupa kurogoh uang dalam kantong gamisku untuk kuberikan kepada Danisa. Kapan lagi aku bisa memberinya uang saku jika bukan saat aku sedang memegang uang sendiri seperti ini. Abaikan asal muasal kudapatkan uang ini, karena sungguh uang ini murni atas bantuan Tuan Bram, buka upah karena ia menyentuhku. "Ibu tak usah repot memberiku uang saku jika sedang tak punya uang," ucap Danisa saat kusodorkan uang ke arahnya. Ah anakku, aku tercekat mendengar jawaban Danisa yang bijak ini. Sungguh keadaan telah mengajarinya untuk belajar menjadi pribadi yang bersyukur dan tak banyak meminta. "Tidak, Nak. Bawalah uang ini, ibu dapat sedikit rejeki kemarin," jawabku seraya tersenyum sambil menyelipkan uang ke dalam tangannya. Danisa akhirnya menerima uang pemberianku. Tampak binar bahagia tersirat dari matanya saat uang itu ku paksakan untuk menerimanya. Aku paham bagaimana perasaannya, sebab anak seusia Danisa sejatinya masih senang bermain dan senang membeli jajan. Sayangnya keadaan memaksanya untuk lebih sering berdiam diri di rumah, tak jarang pula ia membantuku merawat adiknya saat aku sedang ada keperluan. Seiring kepergian Danisa, tampak Feni-tetangga jauh- berjalan menuju arah rumahku. Kutatap punggung Danisa hingga ia menghilang dari pandanganku dan berganti dengan tubuh Feni yang kian mendekat ke arahku. "Assalamu'alaikum Mbak Dewi," ucapnya seraya mendorong sebuah kursi roda ke arahku. "Waalaikumsalam Fen, ada apa? Kenapa dengan kursi rodanya?" tanyaku penasaran. "Maaf saya pagi-pagi sudah datang kemari," ucapnya ragu. Namun aku menangkap rasa sungkan dari ucapannya. "Mari masuk dahulu, bicara di dalam saja," ucapku seraya menggandeng lengannya untuk masuk ke ruang tamu. "Maaf saya pagi-pagi datang kemari. Saya mau jual kursi roda milik almarhum ayah saya ke Mbak Dewi, barangkali butuh buat suami Mbak. Saya butuh uang buat beli beras, Mbak," ucapnya pelan dengan wajah menunduk. Mendengar keluh kesah Feni, membuatku seperti melihat diri dalam cermin. Betapa Allah mudah membalik keadaan seseorang. Jika kemarin aku yang harus memohon pada mbak Darmi agar bersedia menghutangiku berupa bahan pokok untuk makan keluargaku, kini ada Feni yang datang memohon bantuanbantuan dengan membeli sebuah barang miliknya. Aku faham betul bagaimana perasaan Feni. Bagaimana mungkin seorang ibu tega melihat anak dan keluarganya tak memiliki sesuatu untuk dimakan. Sekuat tenaga pasti si ibu akan berusaha mencari bantuan atau apapun usaha untuk membuat asap dapur kembali mengepul. Namun jika uang pemberian Tuan Bram kugunakan untuk membeli kursi roda milik Feni, bagaimana dengan biaya rumah sakit Rani?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN